Ingatan Para Peziarah



Tamsil Sunyi

tatapanmu gemerlap cahaya
redup di kening malam
mengayuh ombak di gelombang langit
tersingkir didera murka angin
dan engkau melukisnya
dalam sempitnya pikiran
kemudian jatuh, mengalir puisi
aku terkurung dalam bait sajakmu
sepi, tanpa doa

(2021)




Padang Tandus

di padang tandus
tempat ragaku mengembara
jalan terasa sempit
langit berwajah pekat
awan hitam murka
matahari tak lagi bermata
hanya ada secuil cahaya mengintip
lantunkan gema kematian
menguntit di balik tirai halimun
puting jendela kata hanyalah kuburan
sepi dan gelap
kuingin semua puisiku bertasbih
Allahu Akbar!

Malang, 2021




Kuburan Masa lalu

mulut-mulut yang ‘kau satukan
dalam keranjang tidur
tak lagi menyapa senjasumbang, tertelungkup awan
menua, mendekap langit
menjelma sajak di tangan para pendosa aksara

berganti musim tangan penaku retak
merajam diksi di sudut waktu
sajak-sajak kita berselimut salju
menggigil dingin, mulut kita makin bisu
sebutir kata pun tak menuai makna
jatuh bergelimpangan di tumpukan jasad

ada bunyian tertadah di tembikarpenuh aksara,
yang belum kita tulis
tubuhnya mulai terpajang kusam
menanti lisan-lisan doa, berganti rupa
dan sajak kita kehilangan napas
tertatih berjalan merundung gelisah
meraba bunyian baru, menggali tanah
mata kita kian samar
memaknai pusara, tempat peninggalan harta karun
kilau tulang-belulang pun kita jadikan morfem
menelisik zaman terbaca purbakala
hingga kuburan berbusana mantra dan mistik
: kita semua adalah pemburu mimpi
gerabah menjelma seperti emas
menggali tanah semakin dalam

apakah tanah-tanah telah membutakan kita
atau hembusan angin senantiasa membisik
engkau, aku terjerat kisah absurd dan arkais

pusara tak pernah membangkitkan masa lalu
adalah kita menghidupkan sajak
di penggalan zaman setelah firaun abadi
menjadi morfem di kitab-kitab bersih
dan kita menunggu keabadian
di kitab nisan yang belum tertulis

Malang, 2021




Ta’aruf

senja merapuh
tergulung digegas magrib
hanya tersisa tetesan duka
terus menguliti rerimbun raga
jasad pun khilaf pada ketidak-sempurnaannya
terseok-seok, mencari peradaban taaruf

sesal pikiran bagai bayangan ingkar
mengejar jejak gundah hati
sesungguhnya jiwa merindumembasuh diri untuk bermunajat

biarkanlah bait-bait sajakku
menyesali diri dalam doa
penatku tak mampu lagi
memaknai kesucian kalam ilahi

Malang, 2021




Serupa Lafal

kita adalah sefana-fananya api
meringkuk batin di lisan dunia

kita adalah keabadian nafsu
meranggas musim di jejak sesat

kita adalah seruncing dusta
di sinar matahari, yang tak pernah ingkar

bumi dan langit adalah jarak
perjalanan singkat pikiran kita
tak pernah mampu kita satukan

adalah doa senantiasa kita lantunkan
tetapi lisan kita tak pernah serupa lafal
kering tak terbasuh

seharusnya kita tuangkan
semua aksara ke dalam bejana cinta
yang mengagungkan di atas segalanya
pemilik kalam kekal
hingga tuhan tersenyum
meski mata kita selalu saja samar
dengan segala makna yang tak berwujud

Malang, 2021




Sajak Suluk

setelah engkau pergi
entah kapan giliranku tiba
meski diam, langit senantiasa mengintai
di kakinya, kabut mengalir
terjerumus di penghentian angin
dan persetubuhan yang melaknati
segala kerinduan

langkah kakimu
serupa bunga kamboja
menggores ingatan para peziarah
menjulur di akar-akar tanah
dan sepasang angin menghembuskan aroma
menusuk dan menyengat lubang sajakku
tubuhku merapuh, linglung

percakapan kita telah tuntas
malam telah menggelar sepi
berbisik lembut di daun telinga
: kematian menjemput
Kita kibarkan kekalahan abadi

jiwaku berontak
aku ingin menggugatnya
di dadaku masih tersisa dua larik puisi
yang belum dibacakan malaikat

biarkan jiwaku pergi
menyisakan hidup ragaku
disitu, lantunan shalawat pernah kutangisi
tatkala semesta jiwaku kehilangan suluk

Malang, 2021




Penghentian Malam

: engkau yang merindukan Jalaludin Rumi

dalam tidur, tidaklah selalu diam
pikiran mengembara, mendendangkan puisi
merangkai bait-bait menuangkan dalam bejana mimpi

kawanku,
apakah seorang Rumi pernah datang
mengetuk pintumu
lalu meminjamkan jiwanya
untuk menghidupkan ranjang tidurmu
yang engkau sebut tempat membaringkan segala penatmu!?

adalah angin yang selalu beranjak
mengitari sudut-sudut matamu
hingga bayangan putih nan suci
telah mengingkari tatapanmu

betapa baitku bergetar
saat aku menyebutnya sinar putih
dan itu mungkin membuatnya terjungkal jatuh
jiwanya merintih tersayat
adalah dirinya lebih tersanjung
ketika aku memanggilnya, hamba sahaja

malam basah dan rapuh
di antara dingin yang menguap
kunyalakan lentera, membangkitkan hangat
walau gelap begitu pekat
menyelimuti langit-langit kamar

satu kata, ingin kupaku di tembok langit
kuberikan padamu sebelum fajar tiba
seorang Rumi ingin hidup dalam sajak-sajakmu

Malang – 2021 




Menuju Sunyi

aku takut ketika waktu berjalan lambat
datang menghentak dan menakutkan
membisikkan kematian
ketika sajakku belum sempurna
menuliskan doa
dan lisanku hanya mampu berdiam diri
kemana lagi waktu harus kutuangkan
jika semua jejak detik
tak lagi menyisakan catatan dan jalan bagi nafasku

Malang, 2021










Bagikan:

Penulis →

Vito Prasetyo 

Dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964. Menulis cerpen, puisi, esai, Tulisan-tulisannya dimuat di beberapa media, antara lain: Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Republika, Suara Karya, Lombok Post, Magrib.id, Haluan, Travesia.co.id, dan Harian Ekspres Malaysia. Termaktub dalam Buku Apa Dan Siapa Penyair Indonesia (2017). Penyair yang pernah kuliah di IKIP Makassar, ini kini menetap di Malang, Jawa Tengah. Buku Kumpulan Puisinya yang telah terbit, Biarkanlah Langit Berbicara  (2017), dan Sajak Kematian (2017).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *