Tentang Deay, Ri, dan Rindu yang Belasan Musim Menghantu Tanpa Orang Tahu


AKU menatap parasnya, mencoba menerjemahkan mendung yang bergelayut di antara sepasang pipinya yang lembut. Mendung dan kabut, atau entah apa lagi yang harus aku lukiskan untuk memasuki ruang di tubuhnya yang menahan beban rindu yang begitu menghantu. Aku memang merasa mampu untuk memasuki ruang itu. Tubuhku sendiri penuh dengan gumpalan-gumpalan serupa itu.

Keheningan suasana malam di teras depan rumahnya terasa sedikit mencekam. Nyala lampu yang remang serupa muram yang sedang menenggelamkan kami ke dalam kenangan-kenangan silam yang hingga kini masih berdiam di batin kami yang terdalam. Hujan terasa akan mengguyur malam, dan ia seperti hari-hari dan malam-malam sebelumnya, mendadak tersengat saat langit malam mengirim kilat.

Ya, sudah belasan malam ini aku dan Masari saling dekat. Kesendirian dan kesunyian yang begitu panjang yang kami rasakan seperti ikatan yang mempertemukan. Selama dua bulan sebelumnya aku sering memperhatikan Masari duduk sendirian di teras depan rumahnya, menatap langit yang penuh dengan hujan dan petir dengan penuh kerinduan. Lalu senyumnya lepas, seolah tak ada lagi kesunyian yang ia rasakan.   

“Aku rasa Deay mungkin seperti dirinya di perjalanan hidupku, Kang,” ucap Masari dengan suara lirih namun terdengar jelas di telingaku. Masari mengucap itu mungkin sebagai prolog untuk aku bisa lebih memahaminya, memahami sunyi dan rindunya.

“Iya, Ri. Sembilan belas musim, ah… tepatnya sembilas belas tahun, Deay menghantu dalam rinduku tanpa ada orang tahu.” Aku baru menceritakan sosok Deay padanya setelah sekian malam aku sering menghabiskan waktu bersama dalam bisu. Kata yang sering kami ucapkan hanya kata “rindu”, selebihnya kami hanya banyak diam, tenggelam dalam ingatan masa silam. Itulah kenapa aku harus mengakhiri keganjilan yang kami lakukan.

Aku hidup hanya untuk menunggu. Ah… begitu dungu, dan aku menikmati kedunguan itu dengan sepenuh kalbu. Aku sendiri tentu tak setuju jika yang kulakukan adalah perbuatan dungu. Jiwaku justru tetap hidup dan begitu bersemangat menjalani kehidupan meski mungkin orang-orang melihatku sebagai sosok dengan keanehan. Hidupku dalam kesendirian dan kesunyian. Itu pandangan dan komentar orang dan beberapa teman yang kadang tak sengaja aku dengar, bahkan saudara-saudaraku juga menganggap begitu, aneh. Jika saja mereka tahu, rindu itulah yang membuatku bertahan. Rindu itu justru bagiku adalah harapan dan masa depan.

“Setelah kuceritakan padamu tentang Deay, sekarang, ceritakan padaku tentangnya, Ri,” desahku padanya tanpa rasa ingin memaksa. Aku rasa ini memang sudah saatnya bagi Masari bercerita. Aku yakin sosok Deay yang kuceritakan padanya akan membuat Masari tak ragu lagi bercerita.  

***

“Tujuh belas tahun lalu aku dekat dengan seorang lelaki bernama Dammad. Saat itu musim penghujan.” Masari mengawali ceritanya. Betapa bahagia hati Masari saat bersama lelaki itu. Ia memang jatuh cinta pada lelaki itu. Masari tak pernah berani mengungkap rasa itu. Tentu tak elok rasanya jika ada seorang perempuan mengungkapkan perasaan cintanya pada lelaki terlebih dahulu. Ia menunggu lelaki itu mengucapkan perasaannya, meski hati dan pikirannya sering gelisah tak menentu.

Selama musim penghujan, mereka selalu menghabiskan waktu berdua. Menikmati langit hujan yang sering mengirim kilat dan petir bersahutan di teras depan rumah kontrakannya. Saat itu Masari tinggal di sebuah kota tempat ia menimba ilmu sebagai seorang mahasiswi.

Masari sesungguhnya takut kilat dan petir sejak dari kecil. Sewaktu SD hingga SMP, ketika hari hujan dengan mengeluarkan suara petir yang menggelegar, Masari akan lari memeluk ayahnya yang kemudian akan menenangkan dirinya sambil berkata, “Tak perlu takut sayang, tak apa,” dan setelah itu Masari merasa aman dan nyaman. Setelah SMA, saat hari dan malam sedang hujan, ia akan lebih senang berdiam di kamar sambil mendengarkan musik tetapi lebih sering menutupi telinganya dengan sesuatu semisal kapas, pengorek kotoran telinga, atau kadang bantal, agar suara petir yang menakutkan itu tak mengganggu. Ayahnya telah berkata, “Engkau sudah besar, Ri. Kau harus bisa mandiri, melawan rasa takutmu pada petir itu sendiri, terlebih suatu ketika kau pasti akan pergi dan jauh dari kami.” Namun sejak ia dekat dengan Dammad – dan lelaki itu sering datang ke kontrakan – Masari merasa tak enak hati jika mengajak Dammad di dalam, di ruang tamu, karena Masari tinggal dengan beberapa teman di rumah kontrakan itu. Teman-teman Masari sering berkumpul dan berbincang di ruang tamu. Tak mungkin lagi baginya mengajak Dammad masuk ke dalam kamar. Ia dengan terpaksa namun penuh rasa bahagia berbincang dengan Dammad di depan.

“Duarrrrrrrr……..duarrrrrrrr….duarrrrrrr!” Suara petir membuat Masari menjerit ketakutan. Spontan Dammad memeluknya sambil menenangkan. Beberapa kali peristiwa seperti itu terjadi. Perlahan tapi pasti, Masari kini tak takut petir lagi, ia bahkan merasakan kehangatan suatu pelukan. Perasaan bahagia di hatinya begitu menggelora ketika langit dan hujan mengirim cahaya. Petir adalah pelukan spontan seseorang yang begitu menenangkan. Meski mereka dekat, Masari dan Dammad tak pernah berbuat macam-macam. Ya, kedekatan mereka tetap dalam batasan, kecuali saat petir mengirim pesan.

Beberapa bulan kemudian, Dammad pulang kampung halaman. Ia telah lebih dahulu menyelesaikan pendidikan, tepat saat berakhir musim penghujan, meninggalkan Masari tanpa perkataan dan ucapan tentang perasaannya. Tapi Masari sedikit lega karena lelaki itu berkata akan kembali lagi tahun berikutnya.

Setelah kepulangan lelaki itu, Masari sering diselimuti rindu. Tak ada kabar berita darinya. Masari pernah sekadar bertanya kabar melalui pesan pendek, namun nomor ponsel Dammad sudah tak aktif lagi. Beberapa bulan kemudian, saat musim penghujan datang, Dammad muncul di kontrakannya. Betapa bahagia tak terkira hati Masari. Dammad telah bekerja di kampung halamannya. Lebih menggembirakan lagi, Dammad sedang ditugaskan beberapa bulan di kota tempat Masari tinggal, kota di mana Dammad juga pernah menyelesaikan pendidikan sarjananya.

Mereka menikmati musim penghujan bersama di teras depan. Memang tak ada lagi pelukan hangat saat kilat dan petir berkelebat. Ah… tidak, sempat sekali dekapan hangat itu terjadi. Waktu itu petir berdentum hebat dan Masari sangat terperanjat, dan spontan lelaki itu mendekap Masari kuat. “Kau tak perlu takut petir lagi,” kata lelaki itu singkat, dan Masari hanya mengangguk dengan sedikit rasa malu. Pipinya tersipu. Ia sangat mengharap Dammad mengucapkan kalimat lebih dari itu.

Beberapa bulan kemudian Dammad pulang kembali ke kampung halaman saat musim hujan masih menyisakan beberapa pekan. Tak meninggalkan ucapan seperti yang Masari harapkan. Beberapa pekan Masari akhirnya hanya menghabiskan waktu di teras depan dengan penuh kerinduan. Saat hujan dan petir menggelegar, Masari tersenyum lebar, seakan ia sedang mendapat kabar, dadanya kencang berdebar, di tubuhnya memenuh rindu yang membuatnya terbakar.

Satu tahun kemudian, Masari menyelesaikan pendidikan. Orangtuanya mengharapkan Masari pulang kampung halaman, di sebuah pulau lain yang jauh dari tempat Dammad. Masari sesungguhnya ingin bertahan, berharap lelaki itu datang dan mereka bisa menghabiskan waktu bersama, terlebih ketika musim penghujan tiba. Tapi entahlah, kenapa lelaki itu tak lagi tiba, padahal musim penghujan tahun itu telah berakhir.

“Bang Dammad sudah benar-benar tak ada kabar, Kang. Bahkan aku yakin nomor ponselnya telah berganti.” Aku memilih berdiam diri. Apa saja bisa terjadi. Sungguh aku tak mau berasumsi tentang lelaki yang begitu berarti dalam hidup Masari. Lelaki yang ia rindu seperti sosok Deay dalam hidupku.

Setelah itu Masari pulang kampung halaman. Ia masih menanti dengan penuh kerinduan. Meski ia memang tak tahu kenapa ia harus menunggu, kecuali karena rindu yang benar-benar menghantu dan di kampung halamannya tak ada orang tahu tentang itu.

Empat tahun kemudian, orangtua Masari mendorongnya untuk menikah. Betapa ayah dan ibu Masari telah begitu gelisah karena anak perempuannya asyik dengan kesendirian dan kesibukan tanpa berpikir tentang pernikahan, meski mereka juga memiliki keheranan bahwa anaknya mengalami perubahan, tak lagi takut petir dan hujan. Orangtua Masari justru sering melihat Masari duduk di teras depan saat hujan dan petir bersahutan. Masari menjalani pernikahan dengan kerinduan pada hujan, petir, dan pelukan hangat seseorang lain. Pernikahan itu tak berjalan lama meski lahir seorang anak dari rahimnya. Masari sesungguhnya merasa berdosa, tapi itu lebih baik daripada mereka saling tersiksa.

Masari memutuskan pergi jauh dari kampung halamannya dengan membawa anak perempuannya yang masih belia. Ia ingin menikmati cinta dan rindu dengan caranya, sambil membuka usaha. Ia pindah kembali ke kota di mana ia pernah menghabiskan waktu indahnya bersama lelaki itu, berharap saat musim penghujan datang, lelaki itu muncul di teras depan. Ya, Masari tinggal di dekat tak jauh dari rumah kontrakannya yang lama, saat orang-orang yang tinggal di sana telah berubah wajah dan nama.

Beberapa tahun menanti lelaki itu tiba, tak ada juga. Tapi Masari merasa tak ada yang sia-sia. Hujan dan petir adalah rindu dan semangatnya yang menyala. Seorang lelaki lain yang begitu tergila-gila padanya, membuat Masari merasa kasihan juga. Tapi ia tak ingin kembali hidup tersiksa dalam kehidupan rumah tangga karena ia telah menemukan sendiri cara membuatnya bahagia.

“Itulah, Kang, kenapa akhirnya aku harus pindah tempat lagi, dan aku menemukan tempat ini. Tak kusangka juga aku bisa bertemu Akang, seorang yang hidup dengan kerinduan yang bahkan lebih panjang. Aku kini tak lagi merasa sendirian.” Tak ada yang bisa kukatakan padanya. Kisah kami memang hampir serupa. Dammad dan Deay telah sama-sama menjelma rindu yang selama belasan musim menghantu di sepanjang hidup kami. Aku dan Masari sendiri yang mengerti. Aku sendiri pernah bermimpi Deay telah pindah ke kotaku ini, sementara Masari seakan telah menemukan rindu dan cintanya di teras depan, meski yang kubayangkan mungkin hanya saat-saat musim penghujan.

Hujan malam lalu turun deras, Masari menatap langit gelap luas, rasa rindunya lepas. Suara petir menggelegar seolah kalap, dan sungguh, aku membayangkan tubuh Masari sedang kudekap, meski tetap saja sosok Deay yang kutangkap. ***





Bagikan:

Penulis →

Mahan Jamil Hudani

Nama pena dari Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO). Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia Tangerang Selatan (KSI Tangsel) sebagai ketua. Kini juga sebagai kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), serta sebagai Redpel di portal sastra Litera.co.id. Karyanya tersiar di sejumlah media massa seperti Fajar Makassar, Batam Pos, Riau Pos, Sumut Pos, Lampung Pos, Bangka Pos, Solopos, Medan Pos, Pontianak Pos, Tanjungpinang Pos, SKH Amanah, Bhirawa Surabaya, Haluan Padang, Palembang Ekspress, Magelang Ekspress, Padang Ekspress, Rakyat Sumbar, Rakyat Aceh, Rakyat Sultra, Kabar Priangan, Analisa Medan, Majalah Semesta, Majalah Mutiara Banten, Majalah Kandaga, maarifnujateng.or.id, kareba.id, labrak.co, gadanama.my.id, lensasastra.id, Dinamika News, Cakra Bangsa, Lampung News, Radar Bromo, Radar Malang, dan Radar Mojokerto. Karyanya juga tersiar dalam sejumlah antologi bersama. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019), dan Bidadari dalam Secangkir Kopi (2021)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *