“Aku pulang. Sekarang di rumah,” katamu.
“Untuk apa?”
Kau putus panggilan, seketika, tak sampai sedetik setelah pertanyaanku itu. Kuduga kau marah sebab tak pernah dalam percakapan kita sebelumnya kau putus sambungan telepon sebegitu cepatnya.
___
Kita pernah habiskan dua puluh menit lamanya untuk menentukan yang lebih dahulu mematikan telepon—setelah kita bicara-saling diam-bersilang suara ratusan menit; kita perlu berhitung bersama agar mematikan telepon di waktu yang sama: hitungan ketiga ya…, satu, dua, tiga (lalu tertawa bersama beberapa menit lamanya sebab tak ada yang berani menjadi yang pertama memutus percakapan).
Setengah jam berlalu dan seperti bertahun-tahun. Bukan. Bermusim-musim. Kemarau, rindu, biru, hujan yang basah, gairah, resah, pindah. Kau, dulu, pergi tanpa kata sedang aku ingin dengar dari mulutmu sebuah tanya: Apa yang kau lakukan selama aku pergi?
***
“Aku sudah menikah,” katamu.
“KENAPA?”
Kau putus panggilanmu seketika. Aku marah. Tentu saja. Setelah tak mendengar pertanyaan darimu—padahal jawabannya masih kusimpan—kau tiba-tiba menelepon dan membawa kabar sepotong. Benar-benar sepotong.
Kita memang tak pernah lagi bicara. Kau pergi, dan aku tinggal di kota kecil ini memeluk sesal sebab tak nekat saja menghampirimu lebih dalam pada sebuah gairah yang hampir binal di belakang Gua Maria Golo Curu agar bertahun-tahun setelahnya bersama-sama tertawa memandangi anak-anak kita bermain dengan nakal.
Setengah jam berlalu, seperti bermusim-musim. Aku menyesalkan pertanyaan yang baru saja melesapkan kesempatan mendengar suara yang kurindu sekian lama; merindukan pertanyaanmu, tentu saja, agar aku boleh menumpahkan jawaban yang sepanjang ini penuh di kepala. Aku melihat wajahku sendiri pada suatu tempat. Pias sebab tak sempat mengatakan ini: menunggumu kembali!
___
“Ada sopi, Om?” Tanyaku. “Stok selalu ada,” katanya, “tapi harus minum di sini.” Aku setuju sebab untuk itulah aku datang ke tempat itu setelah pertanyaanku tentang alasanmu datang dengan kabar telah menikah melenyapkan suaramu dari percakapan yang kurindu puluhan purnama.
Namanya Om Frans Yosep, seperti legenda di kalangan penikmat sopi; kalau tidak ada teman minum tapi mau minum dengan seseorang yang siap mengantarmu pulang kalau semaput, kios Fryos tempatnya.
Kukira aku butuh tempat membunuh luka dan aku tahu kios itu. Setengah jam berlalu, seperti baru sebentar. Sopi sebotol sudah tandas dan dompetku cukup untuk berbotol-botol. Lagi. Kami minum berdua. Kuceritakan tentang pengalaman memelukmu erat di belakang Gua Maria Golo Curu sebab telah lebih dahulu kukatakan padanya: “Dulu kami beli lilin di sini waktu mau ke gua.”
Entah apa lagi yang kuceritakan malam itu.
Dan pada banyak malam setelahnya.
Tentang kita.
Kepada lelaki yang dulu menepuk-nepuk pundakku ketika memberi lilin dan uang kembalian: Saya senang lihat anak muda senang berdoa!
Suatu malam dia menepuk-nepuk pundakku lagi. “Kau harus merantau. Pergilah. Tidak bisa terus begini. Setiap sudut kota ini hanya membuatmu tak bisa menghapus kenangan-kenangan.” Dia katakan itu ketika aku melepas peluk di pinggangnya dan turun dari jok sepeda motornya yang sebagian telah penuh muntah, juga di punggung jaketnya.
“Oke, baik. Kalau aku pergi merantau,” kataku sambil mengelap bekas muntah di mulut dan daguku, “Om buat apa?”
“Menunggumu kembali.”
“Hei! Itu saya punya dialog, Bau Mayat!”
Lelaki tua itu terkekeh mendengarku memanggilnya Bau Mayat—usianya sudah uzur dan jatah hidupnya barangkali tidak akan lama lagi—dan senang sebab berhasil mengejek dengan kalimat yang tak sempat kusampaikan padamu; aku masih menunggu pertanyaan itu dari mulutmu.
Entah telah berapa purnama arak dari sadapan pohon aren itu menyelamatkan hidupku. Bukan. Membunuh patah hatiku. Sebentar… Entahlah. Tak pasti apakah sopi melakukan salah satu di antaranya, atau Om Frans Yosep melakukan dua-duanya, atau tidak ada yang melakukan apa-apa sebab sepanjang masa itu aku seperti tidak melakukan apa-apa.
___
Nona… Kuketik di ponselku. Dan selamanya di sana. Tak kukirim padamu. Semoga suatu saat bisa mengatakannya.
***
“Masih marah?” Tanyamu.
“Padamu?”
Kudengar desah tertahan. Kau seperti hendak menangis. Atau tertawa? Sambungan telepon tidak banyak menjelaskan tentang tanda dan sebab tafsir atasnya adalah sesuatu yang sangat pribadi. Kuputuskan saja bahwa kau sedang menahan sesak tangis. Aku menunggu. Kau juga, ternyata.
“Sudah berapa tahun?”
“Berabad-abad?”
“Om dan Tanta?”
“Mereka sehat. Dan masih seperti dulu.”
“Masih?”
“Sepertinya tak satu pun hal yang kulakukan yang mereka anggap benar.”
“Tetapi kau akan baik-baik saja. Hotel kalian masih jalan kan? Kemarin kulihat, dapat banyak bintang dari yang pernah nginap di sana. Review yang bagus. Kau akan dapat hotel itu setelah menikah, kan?”
“Tapi kau sudah menikah, Nona.”
Dan semua mengalir deras sejak malam itu. Kau ceritakan tentang kita—seolah lupa bahwa kau baru saja mengatakan kau telah bersuami; aku ceritakan juga tentang Om Frans Yosep—sebab kupikir hanya itu yang aku punya setelah kau pergi. Kita (seperti) jatuh cinta lagi.
___
“Peluk aku!” Kudengar desah tertahan.
“Kau kenapa?”
“Suamiku…” Kau hendak menangis, kutahu pasti, sebab telah beberapa bulan ini kita sering bicara tanpa membawa siapa-siapa lagi di antara kita; suamimu dan kios Fryos-ku.
Kau mulai memikirkan lagi hubungan yang telah kalian jalani sekian lama dan merasa tak banyak berarti. Kau ingin bekerja, suamimu ingin kau menjadi ‘istri yang baik’—kutahu itu artinya kau di rumah saja, kalian bertengkar, suamimu mencintai seorang yang lain.
Aku sudah lama mulai memikirkan lagi hubunganku dengan Om Frans Yosep karena dia menjadi marah ketika kuceritakan bahwa kita (seperti) jatuh cinta lagi. Itu istri orang. Kau menjijikkan sekali, katanya. Sejak itu, aku hanya sesekali ke kiosnya, pada malam-malam kita tak sempat saling bicara sebab suamimu bersamamu sepanjang waktu; aku benci pikiranku setiap kali itu terjadi dan sopi Frans Om Yosep membunuhnya dengan baik. Kau harus merantau. Pergilah! Om Frans Yosep mengatakan itu lagi.
***
“Aku pulang. Sekarang di rumah.”
“Untuk apa?” Tanyaku.
Kau putus panggilan, seketika, tak sampai sedetik setelah pertanyaanku itu. Lalu menelepon lagi setengah jam kemudian. Dan tak sedikitpun dari percakapan kita malam itu yang membuatku bisa mengatakan kalimat yang telah kusimpan sekian lama: menunggumu kembali.
Nona…, kuketik di ponselku, aku ini siapa?
Tak ada balasan.
___
“Dia sudah pergi,” Om Frans Yosep mengatakan itu dengan datar. Kau menangis. (*)
One Response
Selalu sukses Om Armyn…