Serenada
seperti di kota lain
jalan gelap
tapi di langit ada
bintang
aku berjalan
tanpa jaket dan sarung tangan
menuju tempatmu
menghayati kesunyian
kurang dari 1 kilometer
di halte penyeberangan
aku berhenti
lampu dan trotoar pendar
satu demi satu
aku periksa
kepala, pundak, dada dan perut
tangan, kaki, jemari, lidah dan gigi
semua lengkap
tapi di sebelah kiri
tepat di samping lengan
ada rusuk yang absen
barangkali tertinggal di sana
di atas meja makan
tunggulah sejenak
kucari tangkai mawar
di tempatmu menghayati kesunyian
untuk rongga
dada yang hampa ini
samarinda, juni 2021
Lima Haiku
mengenang Ikram Al-Qadrie
1.
yang tiba waktu
saling memejam mata
di gigir liang
2.
dua telinga
satu lantunan doa
menyapa kafan
3.
rerimbun lepas
garis cahaya misah
membuka barzah
4.
tanah berserak
sedih tak kunjung sudah
pusara tegak
5.
kematian pun
seperti daun jatuh
melayang ringan
samarinda, juni 2021
Takada Lagi Kunangkunang di Tepian
untuk Lydia Apriliani
takada lagi kunangkunang di tepian dan aku lantas berdiri memanggil-manggil selembar angin untuk melayang-layangkan rindu.
tapi rindu takpernah sesederhana itu. tongkang terus mengambang berlayar membawa serpihan legam jejak leluhur kita di masa lalu, pergi ke sebuah negeri yang dingin dan kaku. lalu membakarnya demi hidup yang pantas dan berkepanjangan di depan perapian. mereka takpernah mau tahu. di sini, ada yang berulang kali mengubur ingatan.
sementara kita hanya menikmati sisa temaram lampu sepanjang sungai dan bintik-bintik cahaya menjadi tarian mistis di atas gelombang. tapi itu bukanlah kunang-kunang. mataku yang mulai rabun, tak awas lagi menatap gesekan daun, garis-garis angka di meja kasir sebuah cafe, duka, atau sekadar melihat lekuk alis mata dan tahi lalat pada parasmu dalam pertemuan singkat itu.
bukankah aku masih bisa mengenali parasmu, mengenali peta harta karun pada garis-garis jejak usia yang misterius, atau aroma lavender pada lehermu? bukankah aku juga masih bisa melihat langit membiru dan awan pucat seperti kehilangan penyangga di antara bayang-bayang jembatan kuning tua di kejauhan?
kenyataannya, di seberang sana, para lelaki bercanda dengan perahu kecil yang ditambatkan, keranjang ikan di tangannya separuh penuh. begitu pun nasibnya yang tambah membisu. di teras rumah, para bini hanya berdiri, menanti matang bubur sebentar lagi, dan berpura-pura tenang seolah kartu kesehatan dan simpanan dapur akan bersaldo kembali. tapi, siapakah nanti yang akan menangis di tubir pintu, ketika air susu taklagi terbeli?
kau pun menahan tawa. tanganmu bercakap-cakap dengan sebatang rokok. kakimu meliuk-liuk dengan tarian nyamuk. tapi matamu seperti genangan bendungan selepas hujan.
aku taklagi mampu membacanya. dan kau merasa hidup makin praktis di atas meja seperti menebar merica pada semangkuk sup.
parasmu tenang, setenang kesedihan yang diam-diam menetes dan bersemayam di sungai terdalam. teh yang kaupesan, singkong dan keju yang takkunjung datang, adalah percakapan lain di antara lilin dan asbak. lalu suaramu selembut bisikan sungai di telingaku, “ini Juni yang kangen. tapi kau berulang membunuh kunang-kunang. aku tak pernah rindu padanya.”
samarinda, Juni 2021
Perempuan yang kemudian bergetar
FRK
perempuan yang kemudian bergetar di tepi pantai, takdilihatnya patahan dahan, akar-akar kering, daun yang mengambang, sebagai isyarat perpisahan.
angin menyisakan titik-titik air pada wajah yang lelah, musim yang cepat berganti, dan umang-umang yang tak lagi cerewet dengan ombak dan dusta.
di antara jejak pada pasir, garis-garis kaki hujan, atau pohon-pohon yang berbaris, adalah semacam alamat untuk menitipkan rindu.
tapi ini bukan tentang cinta yang banal atau sebuah ingatan yang terendam. ini tentang satu dua ikan yang berenang-renang pada matanya.
samarinda, juni 2021
One Response
Sukaaaaa…