Menyala Merah
kita dua bunga
dengan warna-aroma berbeda
namun bermekaran di pot yang sama
kita harus tetap mekar
setelah ulat datang
menghabisi daun-daun kita
tapi wanita yang merawat
dua bunga itu
menjualnya ke seorang ibu
yang ditinggal oleh suaminya
setiap malam ia menyiram
dua bunga itu
dengan air matanya
air mata
yang menyala merah
(15-21)
Arwah Jingga
jingga telah meninggalkan langit
arwahnya
mendengarkan suaramu
yang berencana akhir pekan
pergi ziarah
ke pekuburan
kemudian ke palung
yang akan dikenang
dengan sebutan liang
gerbang bagi jiwamu yang telah
meninggalkan langit sebagai jingga
(16-21)
Melayat
ibu, aku terbuat dari hujan deras
maka, pakailah pelanginya untukmu
karena aku ingin menuju telapak kakimu
ibu, aku dibentuk oleh angin panas
maka, larilah dariku
biar aku menuju telapak kakimu
pagi-pagi sekali
gelombang bersunyi
tangis orang-orang jatuh
saat kau dimandikan
dan akan disholatkan
ibumu mematung di lancip ruang
gaun yang ia pakai berwarna-warni
sesekali bergerak terkena angin
seakan berlari dari kejaran
tapi telapak kakinya telah tertutup
oleh sesuatu yang bernama dendam
dan kau coba untuk menghapusnya,
percuma
(16-21)
Perihal Angin
Masih terlalu pagi.
Tapi, kenapa kau telah memudar?
Belum sempat terik cahayamu.
Dan kakimu angin membawamu
tidak jadi diri sendiri.
Sudah siang.
Tapi, kenapa kau perlu disembuhkan?
Kau tidak sakit, bukan?
Warna hijau masih melekat di kulitmu.
Agak sore.
Apa yang akan dikosongkan?
Langit yang serentak ditatap
sepasang cinta yang sengaja direkatkan,
telah lama berpigura.
Sedang matamu angin, tidak mengizinkanmu
melihat wujud pribadi.
Tiba-tiba malam.
Kau masih mampu berdiri, bukan?
Untuk kendalikan mimpi tentang hari,
di mana tanganmu angin
membantingmu menjauh dari badanmu.
(16-21)
Di Dalam Mobil
setelah mati
aku bertemu dengan pohon
rencananya parang berkarat ini
akan kugunakan untuk menebangnya
tapi ia lebih dulu tumbang
bersama nyawa
yang terbang seperti balon udara
di atas taman kota
sambil membawa surat kematian
yang terjatuh
dan melayang-layang seperti daun
untuk akhirnya tergeletak di aspal
saat ban mobil ayahku menggilasnya
bersamaan dengan terguncangnya kami
aku pun terbangun
dan sadar sedang dalam perjalanan
menuju kubur ibu
di dalam hati ayah
(16-21)