Megamendung

ADA rindu yang bergulung-gulung. Bukan kepada seseorang, tetapi ke sebuah kota. Tempat aku tumbuh, tempat aku merasakan cinta untuk pertama kalinya. Kota yang hangat dengan angin beraroma garam, yang menawarkan sejuta pesona hanya dalam sekejap pandang. Namun, yang terpenting, pada jantungnya, bersemayam secuil jiwaku.

Aku tahu, sejak beberapa bulan lalu, aku ingin sekali pergi. Kukatakan kepada Nug, aku seperti tidak sabar menjejakkan kaki ke kota itu. Akan tetapi, beberapa kali pula Nug berkata, “Bersabarlah sedikit lagi, Bunga. Kita tuntaskan dulu pekerjaan yang sudah kita terima ini.”

Nug benar. Kami harus menyelesaikan tanggung jawab terhadap sebuah pekerjaan. Bukan apa-apa, ini hanya pekerjaan gabungan yang sudah sering kami buat. Aku menulis, Nug menggambar. Hasilnya adalah buku kumpulan kisah dengan ilustrasi buatan Nug di dalamnya. Yang kami kerjakan sekarang hanya menunggu hasil uji cetak dari penerbit. Ya, kami harus bersabar sedikit lagi.

Kalau ingat bagaimana dulu aku mengenal Nug, tentu aku tidak akan percaya. Ini seperti sang waktu sengaja mempermainkan aku dan Nug. Perlu lebih dari dua puluh tahun sampai akhirnya kami bisa bersatu.

“Kalau dulu kita sudah saling kenal, mungkin ceritanya akan lain, Bunga,” kata Nug suatu hari saat kami duduk di berhadapan di meja makan. “Bisa jadi, masing-masing dari kita malah berakhir dengan orang lain.”

Ketika belajar seni di bangku sekolah, aku ingat seorang guru tamu menjelaskan filosofi motif batik. Dari sekian banyak motif, yang paling menempel di ingatanku adalah megamendung. Ketika usiaku sembilan atau sepuluh, aku sering menggambar awan lebar-lebar di atas kertas gambar hanya karena tidak ingin cepat-cepat kehabisan warna biru gara-gara harus mewarnai langit. Bergulung-gulung awan itu, seperti hendak menutupi sesuatu di bawahnya. Barulah setelah guru tamu itu menjelaskan, aku paham sepenuhnya kenapa aku senang sekali menggambar awan lebar-lebar. Ini bukan lagi soal tidak ingin kehabisan warna biru. Luasnya awan akan memberi perlindungan dan rasa nyaman dari terik matahari, sementara uap air yang terkandung di dalamnya akan memberi penghidupan untuk makhluk hidup di permukaan. Dan, tujuh gradasi warnanya mewakili lapis-lapis langit—lapis kesadaran manusia.

“Aku memperhatikanmu saat itu,” kata Nug. “Aku tidak mendengar guru tamu itu menerangkan. Aku hanya melihat raut wajahmu yang begitu serius menyimak kisah di balik megamendung.”

Aku tersipu. “Seharusnya kamu sapa aku sejak dulu, Nug.”

Nug mendekat, meraih tanganku, menggenggamnya, lalu berkata, “Bagaimana aku bisa menyapa keindahan kalau aku belum punya cukup pengetahuan untuk merawatnya kelak?”

Maka, mengalirlah waktu, sepanjang dua puluh tahun, menempa dua remaja polos menerjang brutalnya kehidupan. Aku mungkin tidak memelihara monster dalam diriku. Tidak ada yang menyala ketika ada yang menyulutku dengan mesiu. Akan tetapi, aku agak kepayahan mengendalikan langkah kaki di setapak yang sempit. Berkali-kali jatuh dan dibangkitkan keadaan hingga aku memilih pulang. Namun, rumah pun seakan-akan tidak mengizinkan aku untuk tenang sebentar.

Orang-orang bergunjing. Mereka memberi label gagal kepadaku, juga menaruh cap di dahi Ayah dan Ibu. Dalam satu masa, aku tidak berani menampakkan batang hidungku bahkan kepada beberapa teman yang dulu memang dekat. Oh, aku tetap memberi diriku perhatian. Aku tidak mogok makan atau menangis berhari-hari di sudut kamar. Aku hanya tidak ingin bertemu orang-orang, tidak ingin melihat langit, tidak sudi dibanjiri cahaya matahari sore.

“Tadi Rika datang,” kata Ibu suatu hari saat aku duduk di tepi kolam ikan. “Ia ingin bertemu denganmu, Bunga, ingin mendengar seluruh ceritamu, ingin membantumu.”

Aku yang sedang mencuil-cuil roti untuk para ikan koi, mendadak menghentikan gerakanku. Seseorang sudah membuat label lagi kepadaku. Dan, jika itu Rika, berarti aku sudah dianggap terlalu parah. Siapa yang meragukan diagnosis seorang ahli jiwa?

“Rika hanya ingin mengobrol, Bunga,” kata Ibu lagi saat aku tidak juga bereaksi, “bukan ingin memasukkanmu ke kliniknya.”

Yang selanjutnya aku lakukan mungkin yang selama ini ditakuti semua orang, terutama Ibu. Aku mengurung diri di kamar dan hanya keluar jika perlu ke kamar mandi. Aku hanya memakan sedikit dari yang disediakan Ibu. Sudut kamarku, tempat satu sofa pendek yang kuatur dekat jendela, adalah sarangku nyaris dua puluh empat jam. Di sudut itu, aku membiarkan air mata keluar tanpa peduli menghentikannya. Di sudut itu, ada nyeri yang perlahan tumbuh. Di sudut itu, ada ingatan yang mencoba melayang-layang lagi. Di sudut itu, aku merasa seseorang memanggilku dari titik terjauh yang dapat tertangkap mataku.

Rika betul-betul datang seminggu kemudian. Aku membiarkannya duduk di sudut tempat tidurku sementara aku di sofa. Kubiarkan juga ia bicara. Ia memandangiku dengan iba. Aku tidak peduli. Sesekali aku menjawab pertanyaannya jika memang perlu. Seperti ketika ia menanyakan apakah aku punya seseorang yang berarti dalam hidupku selama ini, kujawab tidak ada. Atau, saat ia bertanya soal keinginanku untuk kembali bekerja, kujawab belum ingin.

Rika menyerah pada pertemuan kedua, saat aku benar-benar menolak bicara, saat aku bahkan memilih menyumpal telingaku dengan suara musik. Terakhir yang kudengar dari Rika sebelum aku benar-benar tenggelam dalam kesendirianku adalah, “Beri dirimu kesempatan, Bunga. Buka hatimu untuk cinta.”

Ucapan Rika terus saja berkelindan di benakku. Konsentrasiku selalu terpecah saat aku mendengarkan musik atau membaca buku. Sampai akhirnya aku tidak tahan dan benar-benar keluar dari rumah. Aku berkendara sendirian, meniti jalanan kota, berhenti hanya ketika aku ingin berhenti. Kuambil sebanyak mungkin gambar, kuhirup sebanyak mungkin kehidupan di sekelilingku.

Dari alun-alun kota, aku berakhir di Trusmi. Mataku bertubrukan dengan macam-macam motif yang dulu pernah kupelajari di bangku sekolah. Entah mengapa, aku mulai membenarkan ucapan Rika. Tidak baik membiarkan diriku terus tenggelam. Warna-warni yang terserap retina telah membawaku kembali ke permukaan. Sampai pada suatu titik, mataku mengenali sebentuk wajah. Ia tersenyum.

“Aku mendengar dari teman-teman bahwa kamu pulang, Bunga.”

Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku terlalu sibuk bernapas, berusaha meredakan gemuruh aneh yang tiba-tiba saja hadir.

“Kamu masih ingat aku, kan?”

“Masih,” jawabku tanpa melihatnya. “Kamu Nug. Kita tidak pernah sekelas, tetapi aku tahu namamu,” kuberanikan diri menatapnya dan gelombang sejuk itu hadir, “dari teman-teman.”

“Ya, aku juga begitu. Aku tahu namamu karena kamu pernah masuk ke kelasku, membawakan buku untuk guru bahasa Indonesia. Ketika Ibu Rahma menyebut namamu, itu melekat di ingatanku.”

Nug memberiku salah satu buku sketsanya. Bukan buku baru, tampak dari wujudnya yang tidak lagi segar. Aku menerimanya dengan sebuah pertanyaan, “Untuk apa?”

Nug tersenyum. “Buku itu selalu kubawa ke mana pun. Singgah di beberapa kota yang menerima, lalu menolakku. Sebagian besar objek di buku itu adalah perempuan. Satu perempuan.”

Tanganku menelusuri halaman demi halaman. Nug benar, nyaris tiap sketsa adalah tentang perempuan. Aku serasa mengenali setiap rautnya, meskipun yang tergambar tidak satu usia.

“Ini …?” Aku tidak sanggup meneruskan pertanyaanku.

Nug lalu meremas tanganku. “Kita akan menggambar megamendung bersama-sama, Bunga.”

Aku dan Nug benar-benar mengunjungi kota itu selepas urusan kami dengan pekerjaan. Nug sampai geli sendiri melihat antusiasme dalam diriku saat melihat pemandangan dari balik jendela kereta. Kami sudah punya agenda yang cukup padat. Satu minggu di Cirebon harus bisa menuntaskan gulungan-gulungan rindu yang membadai di hatiku. Ah, dan juga di hati Nug.

Perburuan makanan sudah seperti pencarian harta karun bajak laut. Kami bertanya ke banyak teman yang masih tinggal di Cirebon. Kami tidak ingin membuang uang untuk rasa makanan yang biasa saja. Dan, cukup berhasil. Setidaknya, hanya urusan membeli cumi asin yang gagal karena Nug sungguh tak tahan aromanya. Padahal, aku sudah membayangkan memasaknya dengan cabai hijau besar banyak-banyak.

Puncak dari perjalanan kami adalah mengunjungi almamater putih-biru. Sengaja kami pilih hari sekolah sebab ingin menyerap suasana sekaligus mengambil beberapa gambar untuk keperluan artikelku. Nug juga tak mau kalah. Ia sengaja membawa buku sketsa untuk mengabadikan momen.

Membaur di antara ratusan remaja tanggung membuat kami diliputi jenis kebahagiaan yang berbeda. Beberapa siswi merubungiku, ingin melihat foto-foto yang berhasil aku ambil selama sekian hari menjelajah kota. Sementara Nug juga tak kalah sibuk meladeni beberapa siswa—tentu beberapa siswi juga, wajah Nug terlalu memesona untuk diabaikan begitu saja—melihat sketsa yang jumlahnya sudah belasan. Mungkin, bagi mereka, aku dan Nug adalah bayangan masa depan mereka. Bagi kami, mereka adalah pecahan memori yang berusaha mencari tempat untuk menetap. Mereka layaknya keping-keping cahaya yang berusaha kembali ke asal.

Seperti aku dan Nug.

Tiba-tiba ada desir lembut mengajak aku dan Nug berhenti sebentar dari apa pun yang kami lakukan, memejamkan mata beberapa jenak, dan menerima pemandangan lain setelahnya. Aku mendapati tubuhku seperti saat aku berumur lima belas—dengan kawat gigi dan rambut panjang tergerai melewati bahu. Aku menyadari diriku sedang berada di aula sekolah, memperhatikan Ibu Yuningsih—ahli batik yang didatangkan pihak sekolah sebagai guru tamu—sedang menjelaskan motif-motif batik Indonesia. Lalu, seperti ada yang membisiki, aku menoleh ke samping, tertuju kepada ujung terjauh deret tempat dudukku. Saat itulah aku melihat megamendungku. Ia tersenyum kepadaku. []


Bagikan:

Penulis →

Sekar Mayang

Editor, penulis, pengulas buku. Bermukim di Bali

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *