Ilusi

MIMPI tersebut pertama kali hadir di malam Lisa pergi. Begitu jelas, seakan aku ada di sana. Rumah tingkat beratap sirap. Pergola menaungi teras dari kayu. Permukaan air sungai di belakang rumah berkilauan tertimpa cahaya matahari sore. Seorang wanita berdiri di tengah-tengah halaman. Dari sikap perempuan itu, aku yakin ia sedang menunggu.

***

Diriku pulang usai membenamkan diri ke rutinitas pekerjaan. Kegelapan menyambut saat kubuka pintu apartemen. Jari menekan saklar lampu sebelum berjalan ke dapur untuk memasak makan malam. Aku tinggal seorang diri setelah Lisa meninggal lima bulan lalu. Tanpa keturunan meski kami telah berumah tangga hampir sepuluh tahun.

Seperti malam-malam sebelumnya, kenangan tentang Lisa muncul begitu aku berbaring di  tempat tidur. Istriku yang cantik. Kepribadiannya adalah daya pikat utama. Dia tetap memesona sampai hari penyakit itu merenggutnya dari hidupku. Aku tidur ditemani senyum istriku serta impian kami yang tak pernah terwujud.

Asap menyesakkan napas dan memerihkan mata. Terdengar derak kayu terbakar. Api menjilati rumah di tepi sungai. Laksana bayang-bayang, perempuan yang selama ini aku lihat menunggu ada di pelukan wanita lain. Pipinya basah oleh air mata yang tak berhenti mengalir. Sekelompok orang merubung dekat keduanya. Ucapan-ucapan menenangkan berhamburan dari mulut mereka.   

Terjadi kehebohan. Orang-orang berteriak seraya menuding ke atas. Mataku mengikuti arah telunjuk mereka. Sesosok anak kecil terlihat di jendela lantai atas. Yang terjadi berikutnya berlangsung sekejap mata. Si wanita melepaskan diri dari pelukan, seruan terkejut campur ngeri menggema. Masih kulihat kelebat bajunya menghilang di balik api ….

Aku bangun. Detak jantung meningkat. Masih tercium bau sangit meski tak lagi bermimpi. Aku bangkit, meraih ponsel di atas meja setelah cukup menenangkan diri. Tanpa mempedulikan jarum jam yang menunjukkan pukul 02.35, kutekan sebuah nomer. Suara menggerutu menyahut setelah lama menunggu.

“Kau menganggu tidurku.”

“Maaf, Tom,” jawabku, “Aku perlu bantuan.”   

Kujelaskan apa yang kuinginkan.

Beberapa hari kemudian Tom menghubungi, bertanya di mana bisa bertemu. Kusebutkan alamat tempat aku sedang makan siang. Map merah mendarat di samping piring sepuluh menit berselang. Yang kutunggu duduk di seberang meja. Kuraih benda itu dan membaca isinya.

“Sejauh ini?” gumamku ragu.

“Hanya tempat itu yang cocok dengan deskripsimu.”

Tom membalik kertas yang kupegang lalu menunjuk dengan jarinya yang kurus panjang.

“Ini dia sebelum terbakar.”

Aku membisu. Mata tak berkedip menatap foto yang ditunjuk Tom. Detik berikutnya aku berdiri.

“Terima kasih, Tom. Pesanlah apa saja yang kau inginkan. Masukkan tagihannya ke rekeningku.”

Tom mendengus.

“Bayaranku lebih dari sekadar makan siang gratis.”

Tertawa kecil, kulambaikan tangan sebagai pengganti salam. Aku pulang ke rumah lalu berkemas untuk sebuah perjalanan.

Di akhir pekan aku berangkat ke negara tujuan. Setelah menaruh barang-barang di hotel dan beristirahat sejenak, aku mengemudikan mobil sewaan ke lokasi. Turun dari mobil, menatap permukaan air sungai yang berkilauan tertimpa sinar matahari sore persis seperti dalam mimpi membuatku merasa telah mengenal tempat ini. Halaman di mana si wanita berdiri menunggu ditumbuhi rumput liar.

Kudekati bangunan pengganti rumah kayu bertingkat yang terbakar. Sebelum mengetuk, aku mengintip ke dalam. Kosong. Pintu depan kudorong perlahan. Cahaya matahari menerobos masuk. Aku memeriksa semua ruangan meski tak tahu apa yang dicari.

Langit di luar semburat jingga tanda sang surya segera terbenam. Kuputuskan memeriksa tingkat atas sebelum gelap datang. Aku menuju tangga. Suara kasar dari belakang menghentikan langkah di undakan pertama.

“Siapa kau? Ini property pribadi.”

Aku berpaling. Di ambang pintu berdiri sesosok pria.

“Maaf,” jawabku.

Sosok tersebut melangkah maju. Laki-laki tua dengan tulang pipi menonjol menatap diriku lekat. Topi kusam menutupi puncak kepalanya.

“Ikut aku,” perintahnya.

Aku menurut. Kami berjalan beriringan menuju bangunan kecil di luar pagar. Rumah itu hanya terdiri dari ruangan luas tanpa sekat. Kasur tipis digelar di lantai. Api menyala di bawah kuali besar. Asapnya memenuhi seisi ruangan.

“Seharusnya aku melaporkanmu pada polisi karena masuk tanpa izin. Aku dibayar untuk itu. Tapi sudahlah. Pergi dari sini dan semua masalah selesai.”

Tuan rumah duduk di satu-satunya kursi yang ada. Tangannya meraih sendok kemudian mengaduk isi kuali.

“Siapa pemilik rumah itu?” tanyaku.

Mata lelaki tua itu menyipit. Diacungnya sendok ke arahku.

“Hati-hati dengan rasa ingin tahu, anak muda. Kau bisa celaka. Pergi. Jangan kembali lagi ke sini.”

***

Larangannya tidak kuacuhkan. Aku sudah bertekad menemukan jawaban mengapa rumah itu selalu hadir dalam mimpi. Tak mungkin kubatalkan hanya karena ucapan seorang penjaga tua. Sengaja mobil aku parkir sedikit jauh malam itu. Kususuri jalan berbekal senter di tangan. Setelah memastikan tidak ada yang melihat, aku masuk ke rumah. Senter kunyalakan. Tanpa membuang waktu aku naik tangga.

Bunyi itu terdengar begitu kakiku menginjak lantai atas. Kusorotkan sinar senter ke segala arah. Tak ada yang bergerak. Bunyi derit menuntunku ke sebuah kamar. Aku terpaku di ambang pintu. Plafon kamar itu sudah rusak. Hanya ada dua benda di tempat itu; cermin besar berpigura dan sebuah kursi goyang dekat jendela. Kursi berayun seirama gerak tubuh anak laki-laki yang mendudukinya.  

“Kau datang,” seru si bocah.

Ditinggalkannya kursi goyang, lari menghampiri dengan paras berseri gembira. Aku masih membisu. Mataku menelusuri sosok si bocah. Ia mengenakan atasan jas model lama dan celana selutut. Rambutnya hitam legam, berkilau diterangi sinar bulan yang masuk melalui jendela. Aku membuka mulut.

“Kau menungguku?”

“Tentu. Kita sudah janji kan?”

“Janji?”

Si anak mengangguk lalu mulai berceloteh. Suaranya menghanyutkan. Aku terbuai, aku terpesona, aku terbius. Tidak ada yang berarti di dunia ini, selain diriku dan bocah lelaki yang tak kutahu namanya.

“Pegang tanganku,” ucapnya, “Akan kubawa kau ke tempat Ibu.”

“Ibu?” ulangku setengah sadar.

“Ya, Ibu. Ayo, pegang tanganku.”

“Ibu …, Ibu …, bawa aku ke tempat Ibu,” ceracauku.

Tanganku terulur, begitu juga tangannya. Sesaat sebelum jari kami bersentuhan, dengan kesadaran yang tersisa, aku rasakan ada yang mendekat dari belakang. Hantaman keras di kepala. Seketika semua gelap.

***

Aku mengerang. Kepala berdenyut-denyut seperti mau pecah. Dengan susah payah aku bangun. Kusangga kepala dengan tangan sambil duduk di tepi kasur. Pandangan mulai fokus. Ini kediaman si penjaga. Mataku bertemu dengan mata pemilik rumah. Orang tua itu menyeringai.

“Kau sudah sadar.”

 Lebih mirip pemberitahuan daripada sapaan.

 “Apa … apa yang terjadi?” tanyaku terbata.

 “Keras kepala,” decaknya, “Sudah kuperingatkan untuk menjauhi rumah itu. Untung saja putraku memergoki sebelum terlambat. Dia juga yang membawamu ke sini.”

“Dia memukulku,” ringisku.

Lawan bicaraku mengangkat bahu.

“Dia harus melepaskanmu dari pengaruhnya. Itu satu-satunya cara.”

Disodorkannya baskom padaku.

“Kompres dengan ini.”

Aku mengikuti kata-katanya. Kuperas kain yang terendam lalu menempelkannya di bagian yang memar.

“Aku bertemu anak laki-laki di sana. Dia mengajakku ke tempat Ibu tepat sebelum putra Anda memukulku.”

Aku tatap pak tua itu.

“Siapa dia?”

Yang ditatap bergeming.

“Aku tak tahu apa yang kau lihat. Tidak ada siapa pun di sana.”

Tangannya mengambil baskom di depanku.

“Pergilah. Jangan tanya-tanya lagi.”

Kuputuskan berterus terang setelah menimbang-nimbang.

“Aku memimpikan tempat ini.”

Di depanku, tuan rumah berhenti melangkah. Dengan gerakan lambat ditaruhnya baskom dan memandangku tanpa sepatah kata.

“Semula yang kuimpikan adalah rumah kayu di tepi sungai dengan seorang wanita yang berdiri menunggu di tengah halaman. Belakangan mimpi itu berubah. Rumah tersebut terbakar dan seorang bocah laki-laki terjebak di dalam. Wanita di mimpiku, kemungkinan besar ibu anak itu, menerobos masuk begitu melihatnya. Siapa mereka?”

Selama bicara kuamati wajah orang tua itu. Ekspresinya berubah sekilas.

“Mana aku tahu?” sergahnya kasar, “Aku hanya penjaga.”

Aku menggeleng.

“Anda tahu. Itu sebabnya Anda menyuruh putra Anda mengawasi yang masuk ke rumah dan menyelamatkannya. Menyelamatkan dari apa? ‘melepaskanmu dari pengaruhnya’, itu kan yang Anda bilang tadi?”

“Terserah anggapanmu,” tukas si lelaki tua. Dipunggunginya aku dan tidak diacuhkannya lagi.  Merasa tak akan bisa memaksanya berubah pikiran, aku melangkah pergi.

Kubuka pintu depan. Pemandangan yang terlihat mencengangkan. Bulan di langit berwarna merah, tersaput darah.





Bagikan:

Penulis →

Daisy Rahmi

kelahiran Manado. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa. Kini tinggal di Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *