OLEHNYA aku sengaja diarahkan tiba di tempat asing. Seperti prakondisi mimpi yang tak pernah diketahui, tiba-tiba lungsur pasrah tubuh ini sekencang batu Sisifus yang menggelinding ke sebuah lubang namun tak membikinku retak, pecah, kemudian tamat. Mataku perlahan-lahan meraba gelap. Secercah cahaya menampakkan satu benda aneh yang menarik perhatian. Saat itu kuelus, sebongkah asap menyembulkan sewujud makhluk.
“Sebutkan tiga permintaanmu?” sesosok danawa menyilangkan tangannya di dada. Perutnya bulat gentong. Tubuhnya biru samudra. Pernak-pernik giwang dan gelang menyusutkan raut angker.
“Aku tak punya keinginan.”
“Mana bisa! Setiap manusia pasti mengangankan sesuatu.”
“Kok maksa? Kalau pun ada, mustahil kau bisa membantu.”
“Kau tak sadar sekarang ada di mana, Anak Muda Kurang Bergairah?”
“Dalam mimpi?”
“Sebuah gua. Tempat orang-orang lampau biasa cari wangsit atau pencerahan.”
“Terdengar mirip Google.”
“Baiklah, tepatnya di negeri dongeng. Banyak keajaiban dapat terjadi. Namun selayaknya dongeng, keajaiban akan datang setelah kau tertungkus lumus dalam nestapa.”
“Jadi mesti menderita dulu? Aku lupa kapan terakhir menderita kecuali saat ini, terperosok dan terjebak di tempat asing bersama lelembut sepertimu.”
“Baru kini kutemui pemuda songong.”
“Kenapa menawarkan keajaiban? Kenapa harus tiga? Semacam mengejar setoran atau target penjualankah?”
“Supaya kalian percaya keajaiban.”
“Keajaiban yang nyata itu sains, Mbah. O iya, kita belum kenalan, siapa namamu?”
“Ah, tak penting. Lupakan saja. Sekarang pergilah! Aku tunjukkan padamu jalan keluar, sekadar membayar rasa terima kasih telah membebaskanku,” cetusnya dongkol.
“Omong-omong, berapa lama kau terkurung di sana?” tanyaku merujuk sesuatu menyerupai cerek.
“Selama tidurnya tujuh pemuda dari kejaran raja zalim, pernah dengar kisah itu?”
“Apa sebab?”
“Seorang pemuda mendepakku tanpa perasaan setelah aku menariknya dari jurang kemiskinan dengan menikahi anak sultan. Hanya mereka yang membebaskan yang dapat menjorokkanku lagi ke dalam benda sialan itu. Dia lupa daratan.”
“Turut prihatin. Baiklah, kita sama impas. Tak ada utang rasa. Sekarang tunjukkan padaku jalannya.”
Danawa biru geleng-geleng kepala. Getaran bibirnya seperti merutuk. Sekali menjentik, seisi gua perlahan dirayapi cahaya, menuntunku jalan keluar. Aku hendak melangkah dari mulut gua, menatap gelimang dunia luas yang gemerlap bukan kepalang ketika tangan dan tubuhku tiba-tiba berubah wujud, berbuku-buku kecokelatan dengan sayap-sayap pipih, sungut, dan bau yang paling membuatku mual. Pandanganku bercabang.
Seketika aku teringat Kafka.
***
Ella menatap cermin bagai menatap orang asing. Ia membayangkan cermin itu puas terpingkal bahkan sebelum pangkal pertanyaan narsistik macam ‘duhai cermin ajaib, siapakah perempuan tercantik di dunia ini?’ terlontar.
Ia mendekat ke jendela. Bulan sintal unjuk diri. Bundar penuh, seluruh. Selamanya teguh.
Lima tahun berlalu sejak malam sayembara dan ia telah kehilangan dirinya yang pernah terpilih—gadis berhidung bangir dari dusun terpencil dengan kehidupan, mimpi, dan tungkai-tungkai mungil. Tungkai yang berjodoh dengan sepasang sepatu berkilauan, kini mesti kuat-kuat menjaga hati tak serapuh kaca. Pangeran kaya dan baik hati itu hanya bunga cerita: pernikahan menguaknya.
Serangga malam di luar mericau, ditingkahi kerlip kunang-kunang menyambut gelap bagai tak memedulikan sepinya. Ia menggumam lemah, “Andaikan aku seekor serangga…”
Belum tuntas sempurna ia menghela napas, sekelebat bayangan terbang serabutan, lalu hinggap di kelambu.
“Jangan sudi jadi serangga. Mampus kau dikoyak moyak alas sepatu.” Binatang busuk menyelonong ke kamar istana mestinya subversi. Namun Ella tertarik menghampiri. Ia merasa takjub.
“Kau bisa bicara?”
“Memang terdengar aneh, Nona. Ini namanya keajaiban. Aku pun tak memercayainya sebelum kemudian dikutuk.”
“Siapa yang tega mengutukmu?”
“Hanya sesosok lelembut perasa. Tak penting kuceritakan.”
“Sudah berapa orang yang kau temui dan ajak bicara?”
“Hanya Nona seorang. Siapa pula yang sudi mendekati kecoa, kecuali buru-buru aku bakal dibasmi.”
“Mengapa kau yakin padaku?”
“Karena Nona ingin jadi serangga. Sebagai praktisi, aku sarankan sebaiknya cari hewan lain yang lebih lucu dan layak disayang.”
Ella tertawa—hanya untuk sekejap. Rautnya kemudian berubah murung.
“Apa aku layak untuk disayang?”
“Mungkin tidak. Kecuali Nona mengerat, berekor, dan berbulu lebat.”
Bibir Ella seketika mengembang; rekah dafodil; nyala berseri-seri. Mekar pertama untuk waktu-waktu sunyi sejak malam sayembara.
***
Ella mengajukan permintaan aneh sebagai syarat ketika pangeran Dom berniat mencari istri ketiga lewat sayembara ketiga, dikarenakan istri keduanya hanya mampu melahirkan anak-anak perempuan, sedang Dom sangat menginginkan anak laki-laki sebagai penerus takhta, dan ia sebagai istri pertama tak dapat memberinya seorang pun keturunan. Ia ingin Dom mengizinkannya memelihara seekor serangga di kamarnya.
“Kecoa?!” Dom tak habis pikir.
“Namanya Kafka.”
“Nama yang indah untuk seekor kecoa. Terserah kau sajalah. Pastikan ia tak sok-sok latah mencetuskan revolusi.” Hanya kekuasaan satu-satunya kekhawatiran Dom di dunia ini.
Maka sejak saat itu Kafka selalu hadir di samping Ella setiap hari, setiap jam, setiap menit hingga tak ada waktu yang kembali. Kafka kerap menemaninya membaca dan bercakap-cakap hingga larut malam. Merajut tunik, bernyanyi dan menari, berjalan-jalan di taman, atau sekadar berjemur di padang rumput liar di antara istana dan pemukiman kumuh jelata. Semakin hari berjalan, semakin Ella dan Kafka tak terpisahkan bagai anak panah melengkapi busur.
Bicara soal panah dan busur, rupanya Dom telah memilih istri ketiga dari sebuah sayembara memanah, setelah pernah menggelar sayembara menulis cerita pendek, dan sepatu kaca, dan keduanya tak membikin puas ia punya dahaga.
Dari seorang perempuan ahli memanah, ia berharap akan lahir seorang anak laki-laki yang tangkas lagi kuat, sekuat dirinya menggelar sayembara-sayembara sesi berikutnya. Kehadiran istri ketiga di istana menjadikan Ella makin tersisih. Ia kerap tercenung, dan dalam cenungnya ia membayangkan Kafka.
Banyak kisah dari mereka yang dikutuk menjadi hewan, mulanya adalah seorang pangeran. Jangan-jangan Kafka tadinya seorang pangeran yang betulan tulen pangeran; yang kaya, dan tampan, dan baik pula hatinya? Namun bukankah gambaran tentang pangeran yang kaya, dan tampan, dan baik hatinya itu pernah ia sangkakan dulu pada Dom, menjadi sosok penyelamat dari kedua kakak dan ibu tiri yang jahat, nyatanya meleset jua sekian ratus derajat? Hati kecilnya samar berkata, Kafka berbeda. Dan ia ingin percaya.
Jam sebelas empat tiga. Ia taruh kain rajutan, lalu menghela napas dalam. Ia ingat, saat itu di jam sekarang, lantunan Waltz yang riang mengiringi dansa dua pasang mata kasmaran. Ia merasa kikuk sekaligus bahagia. Ia pernah bahagia.
Waktu, terbuat dari apakah waktu? Begitu bengis melaju, sisakan lengang membisu.
***
Malam ini adalah malam penantian. Kafka mengamati Ella yang tertidur dari balik kelambu seperti tidurnya seorang putri yang senasib terkena kutukan; tertidur lama sampai cinta sejati datang mengecupnya. Apakah cinta sejatinya ternyata seorang pangeran kecoa? Betapa niscaya pilihan yang bakal dihindari setiap orang waras seandainya itu bukan Ella.
Mungkin inilah waktunya, batin Kafka. Ia melayang diam-diam, sekuat tenaga mengendalikan kibasan sayapnya yang terbang tak beraturan.
“Wajahmu yang cantik seperti remahan biskuit. Duhai Ella, bibirmu laksana gula-gula … jauh sudah kutapaki pulau-pulau, menyelundupkan diri di kapal layar, mengarungi bukit-bukit sampah dan pekat selokan. Menjadi imigran gelap. Turis pesing. Pencoleng kecil-kecilan. Pemulung segala hanya untuk menemukan cinta, yang sejati, tanpa sengketa gana-gini.” Kafka memandangi wajah Ella yang rupanya hanya pura-pura tertidur. Samarannya hampir terbongkar oleh belai-belai sungut menggelitik mulut.
Satu kecupan, dan kecoa humoris ini akan berubah jadi pangeran yang membawanya kabur dari tempat ini, pejam Ella penuh harap.
Perlahan-lahan seraya merapalkan segenap pinta, Kafka memberanikan diri memagut bibir Ella dengan lembut, ketika ia membuka mata dan setelah beberapa detik, lalu menit kemudian, keduanya menunggu.
Tak ada yang terjadi.
Masih menanti. Nihil. Kafka tetaplah Kafka; seekor kecoa yang pandai berkata-kata. Cinta sejatinya bukan Ella.
“Ya ampun, gagal lagi.”
“Kafka, jangan pergi!”
Sesigap layaknya seekor kecoa menghindar, pontang-panting Kafka terbang, bergegas tinggalkan Ella sendiri. Kembali pada kesendirian.
Selamanya Ella tak akan pernah tahu bila Kafka sejatinya adalah anak dari seorang raja di sebuah negeri yang telah berpuluh-puluh tahun berkuasa, yang korup, yang bertangan besi, yang memperlakukan setiap musuhnya bagai kecoa.
Dan itu seharusnya bibir ketiga puluh dua yang didamba.
Mei 2021