NABI MUHAMMAD adalah nabi yang menerima wahyu berupa kumpulan tulisan (kitab suci Al-qur’an). Tulisan-tulisan itu kelak akan menjadi pedoman bagi manusia untuk menentukan mana yang ‘benar’ dan mana yang ‘keliru’. Tugas Nabi Muhammad saat menerima wahyu pertamanya adalah membaca: “bacalah!” kata Malaikat Jibril yang kala itu berperan sebagai pengantar wahyu untuk Nabi Muhammad. Sontak Nabi Muhammad menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”
Singkat cerita, isi dari kitab suci Al-quran turun secara berangsur-angsur hingga sepeninggal Nabi Muhammad di umur 40 pada tahun 632. Atas usulan Umar bin Khattab dan persetujuan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, serta sahabat-sahabat nabi lainnya, tulisan-tulisan Al-quran pun kembali disusun (kemudian dibukukan) berdasarkan apa yang telah ditulis Zaid bin Tsabit (juru tulis Al-quran di masa Rasulullah) dan dibantu oleh para hafiz (penghafal Al-Quran).
Nabi memiliki banyak pengikut yang cerdas utamanya di bidang kepenulisan: Zaid Bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Al-Mughirah, dan sebagainya. Pada masa itu belum ada teknologi yang memungkinkan manusia dapat merekam ucapan manusia lainnya. Artinya, bilamana nabi mulai berbicara, para sahabat ini benar-benar akan memperhatikannya untuk mencegah kesalahpahaman atau ketidak sesuaian maksud dengan apa yang akan ditulis. Hal ini membuktikan betapa pekerjaan menulis adalah sesuatu yang berat dan sungguh sangat dipertanggung jawabkan.
Seiring dewasanya peradaban, teknologi komunikasi berkembang. Tulisan hadir menjadi teks yang serta-merta. Medium untuk mendistribusikannya juga kian banyak dan terus berjejaring. Setiap manusia sama-sama memiliki kesempatan menulis dan membaca. Namun tidak semuanya merasa bertanggung jawab atas apa yang telah ditulis dan dibacanya. Kita tak perlu mengadu data tentang negara di belahan dunia bagian mana yang memiliki tingkat literasi paling tinggi. Hal tersebut sia-sia belaka selama wajah global masih dipenuhi ketidakadilan. Tulisan tidak lagi disodorkan sebagai pedoman manusia dalam menentukan jalan baik, melainkan diturunkan semata-mata sebagai instruksi pembunuhan.
Kebebasan berpendapat menjadi buah simalakama. Kini semua orang berpotensi menjadi penjahat. Bahkan bagi dirinya sendiri. Pada masa setelah Al-quran rampung disusun lalu disebarkan ke berbagai penjuru, perselisihan sesama umat malah kian nampak. Lebih sering disebabkan oleh perbedaan tafsir terhadap kalimat-kalimat di dalam Al-quran. Bukan rahasia lagi bahwa di dalam tubuh Islam sekali pun, bermunculan kelompok-kelompok kecil yang membela tafsirannya masing-masing sebagai yang paling benar.
Akhirnya, ketika masyarakat disodorkan banyak sekali pilihan kebenaran, justru membuat kebenaran itu sekaligus memudar (post-truth). Kita tidak tahu mana yang sesungguhnya adalah pedoman hidup atau sekadar belukar propaganda. Pada situasi seperti inilah jurnalisme bekerja – seseorang dengan “lisensi” kepenulisan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jurnalis adalah orang yang pekerjaannya mengumpulkan dan menulis berita dalam surat kabar dan sebagainya; wartawan (https://kbbi.web.id/jurnalis).
Jurnalisme
Dalam kajian-kajian media, banyak disebutkan kalau para jurnalis sejatinya adalah mereka yang tidak bisa lepas dari pengaruh kehidupan masyarakat di sekitarnya. Maka, apa yang ditulisnya senantiasa merupakan cerminan sosial. Dapat dikatakan juga, jurnalisme adalah “juru bicara” bagi realitas yang membesarkannya.
Lantas akan samakah ceritanya, jika jurnalis tersebut hidup di dua realitas yang berbeda secara bersamaan: realitas dari dunia maya dan dunia nyata?
Ketika jurnalis hidup di dua realitas yang berbeda, risikonya ia pun berpotensi rentan mengonsumsi fakta dan data dari tempat yang berbeda pula. Dari apa yang dikonsumsinya kemudian, pengetahuannya terbentuk, dan berdasarkan pengetahuan yang telah terbentuk itulah jurnalis pun menjalankan tugasnya.
Namun, satu hal yang perlu kita ingat yakni, bahwa sesungguhnya realitas bukanlah ruang kosong yang bebas dari kekuasaan. Segala prodak teks serta pengetahuan yang beredar di dalamnya, tak mungkin lepas dari kepentingan – (penguasa) – individu atau kelompok-kelompok yang berdiri di balik realitas tersebut. Oleh karena itu, boleh pula kita menduga, fakta dan data yang menyeruak di tengah realitas bukan tidak mungkin merupakan kepunyaan individu atau kelompok yang berada di balik realitas tersebut, yang niscaya membawa kepentingannya masing-masing. Sebab bagaimana pun, data adalah fakta yang tersaring, dan fakta yang tersaring didapatkan melalui realitas.
Namun sebelum itu, mari kita sepakat dulu untuk menamakan situasi di mana realitas hanya dikuasai narasi dari elit-elit kecil seperti termaksud di atas dengan menyebutnya sebagai realitas dominan. Sejauh ini, realitas dominan tak pernah mempertahankan posisinya dengan cara yang adil: tidak ragu menggunakan tulisan-tulisan yang mengandung kebohongan besar semata-mata agar dapat memonopoli makna kebenaran dan sampai kepercayaan masyarakat termasuk jurnalis. Maka artinya, realitas dominan yang dikangkangi elit-elit ini besar kemungkinan adalah biang dari persebaran berita bohong. Dan ke mana realitas dominan itu akan di bawa – entah pada kebajikan atau kebatilan – tentu tetap harus dipertanyakan.
Pada titik kenyataan seperti itu, yang amat samar dan berbahaya, pekerjaan menulis seperti jurnalis kembali menjadi sesuatu yang berat dan sungguh amat dipertanggung jawabkan sebagaimana ketika zaman nabi. Bayangkan bila jurnalis merasa dirinya sebagai orang yang tidak dianggap penting, maka pada saat itulah urat nadi kita dipertaruhkan. Kalau selanjutnya terlontar pertanyaan begini: “Memangnya jurnalis mana yang merasa dirinya tidak penting?”
Jawabannya adalah: jurnalis merasa dirinya tidak penting ketika masyarakat tidak lagi menghargainya serta kabar yang disampaikannya, tidak turut menjaganya, dan ketika negara abai terhadap keberlanjutan hidupnya. Pasca reformasi saja yang menjadi tanda dibukanya era kebebasan berpendapat, sudah ada setidaknya lebih dari enam kasus kematian jurnalis dalam upayanya mengabarkan kebenaran; Ersa Siregar (2003), Herliyanto (2006), AA Prabangsa (2009), Ridwan Salamun (2010), Ardiansyah Matra’is Wibisono (2010), Alfrets Mirulewan (2010), dan lain-lain.
Whatsapp?
Pada masa kemunculan makhluk renik bernama covid-19 ini ke lingkungan hidup kita, banyak informasi bohong yang beredar melalui internet atau media sosial (Whatsapp) dan bukan dari jurnalis yang mengabarkan melalui media profesional (kredibel). Tirto.id (13/5/2019) pernah memuat data yang mengungkapkan, bahwa 66,67% masyarakat yang berumur di atas 45 tahun memercayai berita yang tersebar melalui Whatsapp, dan 66,88% memuat berita tentang kesehatan (https://tirto.id/siapa-penyebar-hoaks-di-indonesia-dCr2). Maret lalu (19/03/2020), Tirto.id kembali memuat berita yang membahas soal serupa, berjudul: Cara Cek dan Cegah Penyebaran Berita Hoaks Covid-19 di Whatsapp.
Di berita itu dijelaskan tentang cara mengenali informasi hoaks melalui Whatsapp sekaligus juga membantu para petugas medis menghidupkan jaringan komunikasi yang memudahkan pertukaran fakta seputar Covid-19 (https://tirto.id/cara-cek-dan-cegah-penyebaran-berita-hoaks-covid-19-di-whatsapp-eGb3). Berita ini merupakan bentuk respons dari banyaknya beredar informasi hoaks mengenai Covid-19 yang menyebabkan kekacauan di lingkungan masyarakat.
Dalam masa pandemi ini pun, mulanya masyarakat nyaris bersikap santai karena pemerintah berulang-ulang menyatakan yang pada intinya menganggap Covid-19 jangan dianggap serius karena tidak berbahaya. Tidak lama kemudian, anggapan itu salah alias dusta belaka setelah sempat menimbulkan perdebatan sengit antara mau memilih santai atau awas.
Secara bersamaan, kita juga bisa menilai, betapa sulitnya bagi masyarakat berusaha mencari berita dari sumber yang valid sebelum benar-benar menentukan sikap. Andaikata masyarakat menganggap bahwa keberadaan jurnalis itu penting, dan dari merekalah informasi dapat dipertanggung jawabkan, semestinya kita bisa berjalan sesuai pedoman yang benar tanpa perlu tersesat terlebih dahulu. Di sisi lain, jurnalis berhak mendapatkan keistimewaan, dalam hal ini hak-hak keamanan saat melakukan kerja jurnalistik. Sehingga jurnalis memiliki cukup keyakinan kalau-kalau perlu melawan intervensi dari para penguasa realitas dominan itu dan tetap memberi kebenaran terkini kepada masyarakat. Betapa pun itu pahit.
Pada zaman nabi, para sahabat yang berprofesi sebagai penulis bekerjasama dengan hafiz untuk menuliskan ulang isi Al-quran. Jika pola kerjasama ini diterapkan dalam konteks dan kasus sekarang, maka bisa dibilang, para jurnalis harus pula bekerjasama dengan masyarakat (yang memiliki keahlian) untuk menyampaikan kebenaran terkini mengenai Covid-19, supaya berdampak baik pula pada proses penanganannya. Dan tentu saja, upaya tersebut akan lebih mudah diwujudkan apabila diimbangi dengan kepekaan (kebijaksanaan) para pemimpin, sebagaimana yang telah dilakukan Umar bin Khattab dan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.