DIA bukan merasa sial dan tidak beruntung. Namun masuk dalam daftar resmi pegawai yang di-PHK adalah sebuah kejutan yang tidak dia inginkan pada hari di mana dia tidak punya firasat untuk itu. Sebab dia pikir, sebagai karyawan lama yang juga punya kinerja baik dia akan berada dalam posisi aman. Meski desas-desus adanya pengurangan pegawai dampak wabah yang menjangkiti seluruh negeri bukan kabar angin belaka.
Awalnya dia ingin mempertanyakan kenapa dia masuk dalam daftar itu. Seperti beberapa temannya yang lain. Yang juga merasa kecewa dengan keputusan itu, sementara pesangonnya juga tidak sebanding dengan pengabdian dan kerja keras selama berkontribusi memajukan perusahan tersebut. Lagi pula kalau dikatakan perusahaan mengalami penurunan, tidak juga. Kondisi keuangan perusahaan sebenarnya masih stabil dan bisa ditingkatkan tanpa perlu melakukan penyisiran pegawai untuk dipulangkan ke rumah masing-masing sebagai pengangguran. Apa lagi di tengah pandemi seperti ini.
Tapi dia tidak mau repot dan buang-buang tenaga. Dia memilih diam dan mulai mengemasi barang-barangnya seraya mengucapkan beberapa kalimat perpisahan kepada teman-temannya yang masih bertahan sebagai basa-basi.
Jadi, sekali lagi, dia bukan merasa sial dan tidak beruntung, atau manusia yang kurang bersyukur. Dia hanya perlu waktu sebentar saja untuk marah, kecewa, dan memaki nasib di jalan pulang. Yang juga untuk pertama kalinya, sepasang kakinya pun menolak untuk melangkah ke rumahnya sendiri. Hingga pada akhirnya dia memilih duduk menyendiri di trotoar jalan kota yang selalu sibuk sambil menikmati sebungkus roti selai kacang. Tidak peduli orang-orang yang lewat menaruh pandangan tajam kepadanya. Mungkin mereka pikir, karyawan kantor jenis apa yang di jam kerja malah duduk santai di trotoar seperti orang gila.
33 tahun. Merantau juga sudah bertahun-tahun. Baru saja dipecat dari pekerjaan. Dan belum lama ini mendapat kabar bahwa kekasihnya memutuskan menikah dengan pria lain, sementara kedua orang tuanya terus bertanya bagaimana kabar calon menantu idaman mereka. Fiuh, hidup lelaki macam apa yang sisa waktunya hanya menyeberangi garis tajam nasib yang justru menusuk dadanya sendiri? Bahkan suara hatinya pun mencela dirinya seperti anak kecil tidak tahu diri. Sungguh, segala-galanya ambyar saat ini.
Dan dia masih terus mengunyah sisa roti di situ, semakin tidak peduli keadaan sekitar. Sementara kemejanya mulai basah dan posisi dasinya miring, pikirannya menerawang jauh ke angkasa. Berusaha merelaksasi saraf-sarafnya yang kaku dengan berandai-andai kalau dari langit cerah itu berguguran milyaran bunga aster, menimbun kota, dan orang-orang akan berdebat sampai masuk saluran berita nasional. “Siapa gerangan yang menjatuhkan bunga-bunga biru sialan ini?”
Lalu dia tersenyum senang. Seolah-olah perasaannya sudah lebih baik. Meski kenyataannya dia tahu bahwa semua khayalannya itu memang sia-sia. Sebab tidak pernah ada anjuran relaksasi saraf dengan memikirkan sebuah kekacauan, bukan? Tapi setidaknya kadang memikirkan hal-hal yang tidak mungkin terjadi adalah sepotong kebahagiaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dan itu cukup seru.
Hingga ketika imajinasinya kian ekstrem; dia mulai membayangkan gedung kantor tempat ia bekerja runtuh diserang oleh jutaan burung kolibri, tiba-tiba dia tersentak dan merasa tangannya sakit sekali seperti dipatuk sesuatu yang tajam.
Dan benar saja, saat kesadarannya kembali, dia kaget bukan main melihat seekor ayam jantan berbulu merah, yang datang entah dari mana, tiba-tiba mematuki sisa roti yang masih dipegangnya. Membuat dia spontan mengumpat.
“Tolonglah, pergi. Jangan ganggu aku, ayam sialan!” serunya sambil mengibas-ibaskan tangannya yang sakit ke arah ayam yang tidak mau pergi itu. “Aku sudah cukup lelah hari ini. Pulanglah ke kandang tuanmu sana! Ah, lagi pula sejak kapan sih di jalan kota ini ayam kampung bebas berkeliaran.”
Namun sepertinya si ayam jago tak peduli. Ia malah berkokok sambil mengepak-ngepakkan sayapnya yang berkilau ditimpa cahaya matahari. Bahkan anehnya, ketika dia memilih untuk bodoamat, dia justru dibuat kaget oleh si ayam jago.
“33 tahun. Baru saja dipecat. Dan belum lama ditinggal kekasihnya menikah dengan lelaki lain. Sementara orang tuanya terus-menerus bertanya soal siapa gerangan perempuan yang dicintai oleh lelaki malang yang sekarang sedang duduk di tepi trotoar. Bukankah begitu, Jhaka?” Si ayam tiba-tiba berbicara dalam bahasa manusia. Yang sontak membuat dia membekap mulut dengan tangan kanan. Sangat kaget.
“Kau… Kau tadi bicara…… tentang aku?” ujarnya terbata-bata. “Bagaimana bisa seperti itu?”
Awalnya ayam jago itu mondar-mandir saja, membiarkan dia dilanda kebingungan. Tapi kemudian ayam itu berhenti dan langsung menghunjamkan pandangannya tepat ke matanya yang kecokelatan, seraya berbicara lagi.
“Tentu saja, pria malang. Aku memang berbicara kepadamu, dan membicarakan segala-galanya tentangmu.”
“Tapi, bagaimana bisa?” Dia masih tidak yakin ini adalah kenyataan. Sebab orang-orang terus menatapnya dengan aneh, seolah dia sudah sepenuhnya hilang kewarasan.
“Kau tidak butuh jawaban untuk pertanyaan itu, tapi kau memerlukan tindakan untuk mengubah pandanganmu,” sahut si ayam jago sembari mengedikkan kepalanya dan mengajak dia pergi. “Jadi, mari kita melihat-lihat keadaan kota!”
Awalnya dia ingin menolak ajakan ayam jago itu, karena dia menganggap kehadiran ayam itu hanyalah bagian dari imajinasinya yang berlebihan. Namun karena ayam itu tak kunjung hilang dari pandangannya, maka dengan sigap dia langsung mengambil langkah cepat menyusul ayam jantan merah itu.
“Bisakah kita berkenalan dulu?” dia bertanya lagi saat sudah berada di samping si ayam. “Sebagai basa-basi terhadap kegilaan ini.”
“Tidak perlu. Sebab kau tidak gila.” Sahut si ayam dan buru-buru menambahkan pertanyaan. “eh, tapi, apa kau punya uang, Jhaka?”
“Uang? Untuk apa?”
“Aku mau kau memberi uang kepada nenek tua yang sedang mencari sesuatu di tong sampah itu. Sepertinya dia sedang berharap menemukan keajaiban di sana hari ini.” Si ayam menunjuk seseorang di dekat tempat sampah pinggir jalan. “Uhmm… Apakah kau keberatan jika kuminta kau menjelma jadi keajaiban untuk orang lain, Jhaka?”
Walau dia terlihat bodoh karena kehidupannya hari ini diatur oleh seekor ayam, namun apa yang dikatakan ayam itu adalah sebuah kebenaran. Memberi sedikit pertolongan pada orang lain barangkali bisa membantu mereparasi perasaannya. Jadi dia memilih sepakat untuk memberi uang kepada nenek tua yang berdiri di dekat tempat sampah itu.
“Terima kasih, Jhaka.” Ujar si ayam merasa senang.
“Oke. Tapi kau ingin membawaku ke mana sekarang?” Dia bertanya lagi dan berharap bisa mendapat jawaban.
“Sederhananya, ke tempat di mana kau bisa melakukan hal-hal baik.”
“Sungguh?” dia mendengus, menganggap kalimat si ayam adalah lelucon. “Kau bicara seolah kau adalah malaikat. Tapi wow sekali, bila benar begitu. Hmm…, bisa saja kan, karena malaikat bisa mengubah wujudnya jadi apa saja.” Dia menipiskan pandangannya ke arah ayam jago itu sambil tertawa kecil. “Termasuk menjadi ayam. Haha!”
“Baiklah, Jhaka. Kau boleh tertawa sepuasmu. Tapi sekarang aku minta kau untuk membuat anak kecil yang sedang menangis di bawah pohon itu berhenti. Bisakah?”
“Untuk apa?” dia mengerutkan keningnya “Anak itu bersama ibunya. Jadi kehadiranku tidak akan membantu apa pun.”
“Kau tidak akan tahu, sebelum kau mencobanya.”
“Ahh, baiklah!”
Sambil berlari kecil dia mengembuskan napas lewat mulutnya dengan agak kesal. Tapi entah kenapa dia tetap menerima perintah itu. Seolah setiap kata yang keluar dari paruh si ayam jago adalah sihir yang tidak bisa dilawan, dan dia terjebak di dunia fantasi berlatar kota tempat dia tinggal. Apakah ini benar-benar terjadi? pikirnya lagi dengan sedikit emosi.
Dan sekarang dia sudah berdiri dekat anak kecil yang sedang menangis di hadapan ibunya itu. Agak canggung rasanya menyapa orang lain yang tidak dia kenal, apa lagi harus ikut membantu menenangkan si anak kecil dari tangisannya yang dia sendiri belum tahu sebabnya. Tapi apa boleh buat, dia harus mencoba.
“Halo, adik kecil, kenapa menangis terus?” sapanya mencoba ikut campur seraya membelai kepala si bocah. “Apa ada yang bisa saya bantu untuk menenangkan putra Anda, Bu?”
Ibu si anak kecil agak terkejut melihat tingkah lakunya. Mungkin ia merasa itu tidak biasa. Sebab dia memang bukan siapa-siapa. Lagi pula rasanya memang langka sekali ada yang peduli pada rengekan anak kecil di bawah pohon pinggir jalan kota. Jadi lumrah saja bila si ibu berpikir bahwa dia adalah orang jahat dan perlu mengawasi perbuatannya itu.
“Oh, tidak apa-apa. Dia memang suka begitu. Sungguh, tidak apa-apa.”
Dia membalas perkataan si ibu dengan seulas senyum tipis. Rasanya dia ingin buru-buru meninggalkan tempat itu, dan memaki ayam jago sialan yang sudah menyuruhnya mempermalukan diri sendiri. Tetapi, entah kenapa, sesuatu yang asing tiba-tiba menggerakkan hatinya untuk tetap membantu si ibu menenangkan anaknya.
“Saya hanya ingin membantu menenangkan putra Anda, Bu.” Dia menawarkan bantuan lagi. “Boleh saya tahu sebab ia menangis terus?”
Si ibu menghela napas dan tersenyum. Mungkin dia lega karena menyadari bahwa dia bukan orang jahat.
“Begini,” si ibu mulai bercerita. “Sebulan yang lalu ayahnya meninggal karena sakit. Sejak itulah dia jadi sulit diatur dan cengeng. Setiap hal yang membuat hatinya kecewa pasti langsung diluapkan dengan menangis sambil memanggil-manggil nama ayahnya.”
Mendengar pengakuan si ibu hatinya terenyuh. Dia merasakan kedua matanya jadi hangat. Namun buru-buru dialihkan dengan membelai kepala si anak sambil memandang ke arah si ayam jago. Dan tak lama setelah itu dia langsung berlari ke arah pedagang balon dan es krim. Kemudian kembali lagi membawa beberapa balon dan sekantong plastik es krim.
Si anak kecil senang bukan main. Ia melebarkan senyumannya. Sementara si ibu mengucapkan terima kasih berkali-kali kepadanya. Apa lagi ketika dia mengajak si ibu dan anak berswafoto menggunakan ponselnya. Mereka betul-betul seperti bertukar kebahagiaan. Sampai akhirnya dia pamit dan bergegas menuju si ayam jago yang masih tegap menunggunya di tepi jalan.
“Oke, selesai!” ujarnya.
“Luar biasa, Jhaka.” Si ayam jago melebarkan sayapnya seperti hendak bertepuk tangan ala manusia. “Bagaimana rasanya punya keluarga?”
“Wow!” dia mendengus seraya melempar tatapannya ke jalan. “Jadi ini sebuah sindiran? Ya, ampun. Aku tidak akan menuruti permintaan bodohmu lagi, Tuan Ayam.”
“Anggap saja begitu. Tapi kulihat kau benar-benar tulus melakukan itu.” Si ayam jago seperti benar-benar membuktikan bahwa hewan memang tidak punya perasaan. Ia tidak tahu betapa emosinya dia diperlakukan seperti itu. “Ayo, Jhaka, kita temukan hal lainnya.”
“Tidak, ayam bodoh!” bantahnya. “Aku tidak tahu kau ini ayam jenis apa. Jika kau minta aku mempermalukan diriku sendiri di hadapan lebih banyak orang, maka sebaiknya kau tetap jadi ayam. Jangan pernah mengatur hidupku.”
“Yah, tentu saja.” Si ayam benar-benar bersikap santai dan masa bodoh pada ucapannya. “Aku tetaplah ayam dan kau manusia yang tidak berani menemukan pandangan baru. Jadi aku hanya perlu memberitahumu saja. Bahwa tidak jauh dari tempat kita berdiri ada seekor anak anjing yang butuh pertolonganmu. Anjing itu jatuh ke parit dan akan mati jika tidak kau tolong. Dan itu keputusanmu akan menyelamatkannya atau tidak. Lalu di depan gedung swalayan itu, ada seorang pria tua yang kesulitan menarik gerobak dagangannya. Dia hari ini sakit, Jhaka. Tapi harus bekerja. Apakah tidak ada niat kecil di hatimu yang biru itu untuk membantunya? Ah, terserah saja. Dan di sebuah halte, ada seorang pria yang menangis karena kehilangan dompetnya yang sangat berharga. Dia tidak tahu harus mencari ke mana. Karena hanya kau yang tahu keberadaan benda itu, Jhaka. Kemudian yang terakhir, ada gadis penjual bunga yang murung karena sejak pandemi melanda toko bunganya sangat sepi. Barangkali dia akan menutup tokonya. Ya, siapa yang peduli pada bunga-bunga saat situasinya seperti ini. Bukankah begitu, Jhaka?”
Entah kenapa dia yang tadinya ingin marah besar karena merasa dipermainkan oleh si ayam jago, tiba-tiba hatinya justru tersulut api amarah apabila dia tidak bisa membantu orang-orang murung dan anjing yang butuh diselamatkan itu. Maka tanpa perlu berkata-kata lagi dia langsung berlari menuju parit tempat si anak anjing jatuh. Kemudian bergegas menuju pria tua yang terbatuk-batuk mendorong gerobak dagangannya, dan membantu pria yang sedang menangis di halte menemukan dompetnya yang berharga. Sementara si ayam jago terus menguntitnya dari belakang tanpa melakukan apa-apa.
Hingga sampailah dia di depan sebuah toko bunga yang sepi, tatkala dia pun baru sadar, ternyata hari telah beranjak menuju petang. Semburat jingga terapung di langit Barat. Dan dia bertanya pada dirinya sendiri. Apakah semuanya masih baik-baik saja? Dia agak ragu. Namun dengan memungut keyakinan sembari menepis rasa lelahnya yang luar biasa, dia melangkah ke toko bunga itu. Yang di sana pun masih berdiri gadis muda berwajah cemas. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh si ayam jago.
“Permisi, apakah toko bunga Anda masih buka?” tanyanya.
Gadis penjual bunga itu terlihat gugup dan agak terkejut. Seolah dia baru mendapati pelanggan pertama sepanjang dia membuka toko bunganya.
“Oh, iya. Tapi sebentar lagi akan tutup. Biasanya kami juga tidak buka sampai sore. Apa Anda butuh sesuatu, Tuan? Apakah Anda mau pinjam toilet?” gadis itu membalas pertanyaannya dengan pertanyaan lain yang terdengar pesimis. Seakan menunjukkan bahwa tidak ada lagi orang yang mau membeli bunga-bunganya.
“Tidak. Saya mau beli beberapa bunga Anda, jika masih buka. Bisakah?”
“Oh, tentu saja bisa. Selalu bisa.” Gadis itu tampak semangat sekali. “Anda mau beli bunga apa?”
“2 buket mawar putih saja.”
“Oke, baiklah. Sebentar ya.” Raut murung gadis penjual bunga itu memudar. Ia seperti jatuh cinta lagi pada profesinya.
Maka sambil menunggu, dia memejamkan mata seraya menghirup segarnya aroma bunga-bunga di toko itu, walau hari telah senja. Dan tiba-tiba, dia menyadari betul sesuatu yang gaib menjalar ke seluruh bagian tubuhnya. Apakah ini yang disebut kebahagiaan? Dia mengira-ngira sendiri. Lalu, ketika dia membuka matanya lagi, dia melihat keluar. Teringat pada si ayam jago dan mulai mencari keberadaannya
“Ke mana perginya dia?” dia bergumam.
“Oke, Tuan.” Panggilan si gadis penjual bunga agak membuat dia yang masih sibuk mencari si ayam jago terkejut dan nyaris menyenggol sekelompok bunga yang lain.
“Wah, indah sekali.” Dia meraih dua buket mawar putih itu seraya mengulurkan sejumlah uang kepada si gadis muda. “Terima kasih, ya.”
“Semoga Anda suka, Tuan.”
“Tentu saja.” Dia tersenyum. “Eh, tapi apakah Anda melihat di mana ayam jantan merah yang tadi bersama saya?”
“Ayam jantan merah?” gadis penjual bunga itu mengulang pertanyaannya sembari mengerutkan kening. “Anda tidak bersama siapa-siapa sejak tadi. Apakah Anda membawa ayam jantan sebagai teman berjalan?”
“Tidak sih, tapi ayam itu terus mengikuti saya sejak siang. Mungkin dia tertarik untuk saya pelihara.” Dia berusaha mengalihkan pertanyaan seriusnya dengan pernyataan konyol yang membuat si gadis muda tertawa.
“Anda lucu sekali. Ngomong-ngomong terima kasih ya sudah mampir ke toko kami. Semoga lain waktu Anda kemari lagi.”
Dia menggangguk seraya berkata, “Buket mawar ini berlebih. Maukah Anda menerima sebagai hadiah dari saya? Anggap ini sebagai tanda perkenalan kita. Semoga aroma toko bunga ini lekas menyebar ke seluruh kota.”
Si gadis penjual bunga spontan menutup bibirnya dengan tangan kanan dan matanya berkaca-kaca. Ia meraih bunga itu sambil mengucapkan terima kasih lagi. Lalu dia pamit pergi. Namun, baru saja sampai ke pintu, si gadis memanggilnya lagi.
“Hai, Tuan. Sepertinya saya tahu di mana ayam jantan merah itu.”
“Wow,” dia bersorak antusias. Entah kenapa dia merasa sangat kehilangan saat ayam jantan itu tidak lagi muncul di hadapannya usai seluruh permintaan si ayam sendiri telah dia selesaikan. “Di mana? Di mana dia?”
“Anda orang baik yang berlimpah keberkahan. Ayam jantan merah itu tergantung manis pada kancing tarik tas punggung Anda,” kata di gadis penjual bunga. “Kenapa Anda tidak bilang bahwa ayam itu adalah gantungan kunci.”
Seketika jantungnya berdegup cepat. Sesuatu menggulung dadanya sendiri seolah langit senja menurunkan ombak untuk menghantamnya. Membuat dia terpaku akan seluruh kebenaran yang terjadi hari ini.
Bahwa ayam jago berbulu merah itu memang tidak pernah ada, dan dia memang hanyut dalam imajinasinya sejak duduk di trotoar, membayangkan langit menggugurkan milyaran bunga aster, termasuk kemunculan ayam jago pandai bicara yang tiba-tiba mematuki roti selai kacang yang dipegangnya kala itu.
Dia jadi berpikir, mungkinkah itu sebenarnya adalah kepingan jiwanya sendiri yang terlempar keluar dari dadanya, dan menjelma jadi seekor ayam yang tahu segala hal tentang dirinya? Mungkin saja. Kepingan jiwa yang memacunya untuk tetap semangat saat menghadapi kenyataan pahit,dengan berbuat banyak hal baik untuk menjadikannya manis. Semoga saja begitu, pikirnya.
Kemudian dia menatap wajah si gadis penjual bunga sejenak. Merasakan kebahagiaan yang sama, lalu berpamitan tepat si gadis muda menyambung ucapannya lagi.
“Tenang saja, Tuan. Anda tidak sendiri. Hanya karena sesuatu itu terjadi di dalam kepala Anda, bukan berarti itu tidak nyata.”
Lalu ponselnya berdering. Sebuah pesan pendek tertera di layar.
Besok kau diminta kembali ke kantor, Jhaka. Bos ingin membicarakan sesuatu yang baik untukmu
***
One Response
Keren ayam jago…
Seperti ayam jago Cindelaras
Teruslah bertarung melawan ketidakyakinan
Lalu kibarkan bendera semangat
Dan tetap berbuat baik meski tersakiti