Halaman Terakhir

SEJAK menancapkan potongan kayu dan nyaris memutus pembuluh darah di leher salah seorang tahanan yang satu sel dengannya, ia dipindahkan ke sel sempit di ujung koridor. Sejak itu tidak ada lagi yang suka mengelus bokongnya dengan sembur napas seperti pelari sprint, dan sendirian membuatnya lebih leluasa pula memikirkan rencana mengubah halaman terakhir cerita yang ia tulis. Sudah ia ajukan permintaan untuk diberi kertas dan alat tulis, tapi sipir bilang, “Kertas boleh, alat tulis tidak boleh.” Ia berusaha mengerti, dan ketika mencoba lagi peruntungan dengan meminta bacaan, ia yakin sesosok malaikat telah turun membujuk sipir itu untuk mengabulkan permintaannya.

“Hanya sebuah buku, ya?” sipir di luar jeruji selnya memperjelas. Bersemangat ia mengangguk. Sipir itu mungkin berpikir sebuah buku tidak membahayakan dibawa ke dalam sel.

Selepas hari ketiga penguburan ibunya, dua adiknya dibawa ke kampung. Pamannya berkeras membawanya dengan harapan di sana mereka bisa hidup lebih terurus. Jadi di sini ia tidak punya keluarga lagi, bahkan teman-temannya pun seperti melupakannya sejak ia diterungku. Makanya hanya kepada sipir itulah ia menaruh harap untuk mendapatkan bacaan yang dimintanya.

“Apa judulnya?” sipir bertanya. “Siapa tahu ada di perpustakaan kantor.”

“Tidak ada di perpustakaan mana pun, juga tidak ada di toko buku. Judulnya saja belum ada.”

Sipir itu mencoba sabar. “Lalu di mana harus didapatkan?”

“Belum jadi buku, masih berupa manuskrip,” ia menjelaskan. “Sebagian sudah di-print, lebih banyak masih tulisan tangan. Itu naskah novel saya; maksud saya, saya sendiri yang tulis.”

Sipir itu jadi takjub: terpidana yang disangka dapat membahayakan orang lain ini, ternyata seorang pengarang. Entah siapa yang membentuk pikiran sipir itu sampai menganggap seorang pengarang seharusnya tidak berada di dalam sel karena tindak kekerasan, tapi karena tulisan-tulisannya yang menghina pejabat atau pemerintah.

“Naskah itu tersimpan di rumah saya.”  

Raut rupa sipir itu ragu-ragu. “Apakah alamat rumah yang kamu maksud, masih sama dengan data ketika kamu dibawa ke sini?”

Ia mengangguk. Sipir di depannya menggaruk hidung, seakan bertanya pada diri sendiri, “Bagaimana mendapatkan naskah novel itu? Tidak mungkin membawamu ke luar dari sel hanya dengan alasan untuk mengambil naskah novel.”

“Ada tetangga yang menjaga rumah saya. Dia bisa mengambilkan,” buru-buru ia menjelaskan. “Naskah itu tersimpan di dasar ranjang yang ada di kamar belakang. Kamar belakang itu sudah jadi gudang. Saya menyembunyikan naskah novel itu di sana karena khawatir ditemukan orang yang menganggapnya kertas-kertas tak berguna lalu membuang, atau malah membakarnya.”

Ia berjeda menunggu reaksi sipir, tapi karena tidak ada balasan ia meneruskan, “Sebelumnya, ranjang itu tempat tidur ibu saya. Sejak ia mati dibunuh di situ, ranjang itu dibawa dari kamarnya ke kamar belakang itu.”

Sipir itu makin iba padanya.

“Naskah itu terselip di antara papan-papan pengalas ranjang dengan tikar pandan, di bawah kasur. Oh, di kasur itu Ibu melahirkan saya, dan di kasur itu pula Ibu menemui kematiannya….”

Sipir itu telah melangkah menjauhi selnya.

_____

Sipir yang datang menyodorkan naskah novelnya berkata, “Sekarang kamu bisa lebih banyak mengisi waktu dengan membaca.”

Tumpukan kertas yang ia terima itu tidak terjilid, hanya tersusun di dalam map. “Terima kasih,” ia membalas, lalu berkesah, “Sebenarnya, saya hanya bermaksud mengubah halaman terakhir naskah novel ini, tapi … bagaimana caranya bila tidak diperkenankan memasukkan alat tulis?”

Sipir itu tidak menjawab dan berjalan menjauh.

______

Laki-laki yang menjadi bapak tirinya sebelumnya adalah teman ayahnya. Ia kelas dua SMA ketika laki-laki itu mulai tinggal di rumah ini, sudah paham bahwa laki-laki itu telah resmi menjadi bapak tirinya, entah adik-adiknya yang masih SD. Seiring waktu, tak ada yang tahu apa yang membuat bapak tirinya berubah selain karena kehilangan pekerjaan. Tanpa pekerjaan tetap membuatnya sering pulang pada jam-jam yang tidak tetap pula, lebih sering selepas tengah malam, dengan aroma alkohol yang menguar dari mulutnya saat bertengkar dengan ibunya yang menghadang penuh amarah. Memang ada saat ibunya berusaha menasihati, tapi hanya didengar untuk diabaikan kembali; bapak tirinya tetap saja kerap pulang selewat tengah malam, tetap berbau alkohol, bahkan mulai tak sungkan memaksa meminta uang.

Kelakuan bapak tirinya itu makin hari makin menjadi, sembur mulut-berbau-alkoholnya sering seperti ledakan mercon memaksa minta uang dari ibunya, sampai kemudian tak segan lagi mengayun telapak tangan.

Ia hanya kuasa membaurkan kejadian-kejadian yang dialami ibunya dengan imajinasi yang melecut benaknya ke dalam lembar-lembar novel yang ia tulis. Ia cuma mampu jadi penyimak, seraya terus bergerilya menulis novelnya: kadang dengan laptop pinjaman temannya, lebih sering pula hanya dengan tulisan tangan. Ia terus menulis, tak ingin lagi berhenti sampai-sampai mengubur keinginannya kuliah. Hingga setahun lewat setamat SMA, kian kuat tekadnya menjadi novelis.

Senyampang menekuni penulisan novelnya, pertengkaran ibu dan bapak tirinya terus pula berlanjut, nyaris jadi kegiatan harian. Suatu malam, ia mendengar ibunya melontarkan kata perceraian, yang dibalas bapak tirinya dengan gaham akan mencekik leher ibunya kalau menyebut lagi kata itu. Ancaman itu membuatnya sering mencuri tatap pada jari-jari dan telapak tangan bapak tirinya yang besar, seraya berpikir telapak tangan yang ditunjang tenaga kuat dari otot-otot lengan itu memang amat gampang menjepit aliran napas di leher ibunya. Tinggi badannya sejengkal di bawah bahu bapak tirinya, membuatnya yakin lehernya pun mudah saja dikepit bila ia mencoba memberi pembelaan pada ibunya. Lagi-lagi ia hanya kuasa menuangkan kecamuk pikirannya ke dalam halaman-halaman novelnya.

Pada suatu larut malam, setelah menunggu berjam-jam, ibunya menyalak di beranda menyambut kepulangan bapak tirinya, yang berbuah pertengkaran hebat. Ia tidak berusaha menguping kata-kata kasar apa yang saling terlontar, sudah terlalu sering ia dengar. Ketika ibu dan bapak tirinya saling-jambak lalu saling-seret ke dalam kamar, ia merencanakan penyelesaian dengan caranya sendiri.

_____

Kemudian kuhampiri Ibu, dengan panik kutepuk pipinya berulang-ulang. Namun, Ibu hanya geming. Saat meraba lehernya dan tidak menemukan lagi detak hidup, aku melolong panjang…. Meski sudah berulang-ulang ia baca, paragraf penutup di halaman terakhir naskah novelnya itu tetap saja membuatnya melengung. Sejak bapak tirinya mengancam akan mencekik ibunya, tak tanggal-tanggal dari benaknya bayangan kematian ibunya bakal seperti itu. Pikiran itu yang menuntun imajinasinya menulis bagian penutup novelnya, yang kemudian ternyata benar-benar terjadi.

Halaman terakhir itu ia ambil dari tumpukan halaman lain yang tersusun di dekat selonjor kakinya. Ia baca dengan bersuara, lirih: Begitu dia bergegas meninggalkan kamar, aku menyelinap keluar dari lemari. Masih sempat kuintip dia mengambil jaketnya yang tersampir di pegangan kursi ruang tengah sebelum berjalan keluar menembus malam. Aku berharap di luar sana dia mengalami celaka, atau kesasar sehingga tidak menemukan lagi jalan kembali ke rumah. Bagian ini, yang ia tulis sebelum paragraf penutup, hanya imajinasinya. Bagian ini yang ia mau ganti. Ia ingin isi halaman terakhir itu sama persis dengan kejadian sebenarnya. Namun, bagaimana mengubahnya tanpa alat tulis?

Seraya berpikir, matanya menelusuri retakan tembok sel dan melihat ada sesuatu seperti mengeluarkan cahaya di dalam sana. Cahaya berwarna merah-gelap itu cukup lama ia tatap sebelum memastikan itu ternyata seekor lipan. Merasa mati akal, asal-asalan ia berpikir kenapa tidak mengimlakan saja kalimat yang hendak ia tulis, siapa tahu bisa didengar dan terekam oleh lipan itu?

Semangatnya terpompa. Seraya mengingat-ingat kejadian di malam jentaka itu, ia merapal, merasa sedang menulis dengan suaranya: Dia tidak menoleh ketika aku mengendap mendekat. Bisa jadi efek buruk alkohol membuat indra pendengarnya tumpul, atau karena dia sedang fokus mengeratkan taut kedua telapak tangannya yang besar itu menjepit leher Ibu. Perlawanan Ibu kulihat sudah terhenti sama sekali. Diamnya Ibu membuat amarahku membuncah. Selangkah sebelum bisa meraih pundaknya, kuloloskan palu dari selipan ikat pinggangku. Posisinya yang membungkuk ke arah Ibu telentang, memudahkan ayunan palu di genggamanku, dengan sepenuh tenaga, terarah tepat ke bagian belakang kepalanya. Aku mendengar suara berderak yang mengingatkanku pada batok kelapa yang retak dipukul batu. Tubuhnya sempoyongan ke samping, lalu jatuh ke lantai. Betapa senang melihatnya berkelejat sebelum diam tak bergerak.

Kian lama suaranya kian bergetar, sampai ia menutup: Kemudian kuhampiri Ibu, dengan panik kutepuk pipinya berulang-ulang. Namun, Ibu hanya geming. Saat meraba lehernya dan tidak menemukan lagi detak hidup, aku melolong panjang…. ***





Bagikan:

Penulis →

Pangerang P. Muda

menulis cerpen di beberapa media cetak dan daring. Dua buku kumpulan cerpennya yang terakhir terbit: Tanah Orang-Orang Hilang (Basabasi/2019), Perkara Pisau Lipat dan Laba-laba Emas (Sampan Institute/2021). Berdomisili di Parepare.  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *