KABUT menyeruak dari kedua mata Amira. Ia terus menangis tanpa henti. Gemuruh dalam dadanya lebih hebat dari amuk badai.
Serangga malam membisu, anginpun berhenti bergerak dan mencipta keheningan. Hanya rintih tertahan tangisan Amira yang sayup-sayup terdengar. Ia duduk memeluk dirinya sendiri di depan jendela kamar yang terbuka. Berkali-kali ia mempertanyakan hidup. Juga kemalangan nasib yang menimpanya.
Tenggelam dalam amarah, putus asa, dan keterhinaan, Amira membongkar ulang seluruh persepsinya tentang manusia dan kehidupan. Dalam hati, ia berdebat dan bertengkar dengan dirinya sendiri.
“Mengapa ini harus terjadi padaku?”
“Orang yang selama ini aku hormati dan kupercayai, sungguh tak kusangka.”
“Apa yang harus aku lakukan?” Amira merasa tak berdaya. Ia kembali larut dalam tangisan. Malam pun turut larut bersama tangisannya.
*
“Mir, kamu jadinya kapan sidang? Terakhir akhir bulan ini, lho!”
Amira mengaduk-aduk kopinya tanpa gairah. Ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, sehingga mengabaikan pertanyaan Selvi. Kafe langganan kedua sahabat itu masih lengang. Hari memang belum terlampau sore. Belum banyak karyawan yang pulang kantor.
Tiba-tiba Amira menghela nafas begitu dalam dan menyandarkan punggungnya di kursi. Matanya menerawang jauh, lebih jauh melampaui keriuhan jalan raya Jakarta yang mulai macet persis di depan kafe tersebut.
“Mir? Mir?! Kamu dengar aku tidak sih?” Selvi menatapnya khawatir sekaligus agak kesal.
Amira hanya meliriknya sesaat, dan kembali asik dengan kebisuannya. Ia malas berkata-kata, jiwanya masih terguncang.
“Aku sungguh tidak paham mengapa Prof. Rusli belum juga acc naskah skripsimu. Jelas kamu adalah mahasiswi kesayangan dan anak bimbingan dia pula,” Selvi menunjukkan raut keheranan. Ia meneguk pesanan cappuccino–nya. Seberkas lipstik tertinggal di bibir cangkir.
“Masih ada yang perlu direvisi,” sahut Amira acuh. Dia tidak ingin menceritakan apa yang telah terjadi, bahkan ke seorang Selvi yang telah menjadi sahabatnya selama di perkuliahan.
“Tapi kamu kan sudah revisi berkali-kali. Lagipula jadwal pengumpulan naskah ke departemen sudah semakin dekat. Kalau tidak sidang di bulan ini, kamu akan di-DO,” Selvi menyerang Amira tanpa ampun.
Memang benar, ini adalah semester terakhir Amira. Dia terlambat menyelesaikan tugas akhir karena sibuk bekerja. Sejak ayahnya wafat akibat kanker, Amira sebagai anak sulung beralih posisi menjadi kepala keluarga. Meski demikian, tanggungjawab akademik tetap ia penuhi. Dengan jatuh bangun tentunya.
Menghadapi komentar Selvi, Amira bergeming. Ia tetap bergeming saat pelanggan kafe semakin ramai berdatangan, mengisi meja bangku yang masih kosong. Menit demi menit berlalu, dan ia masih bergeming.
*
“Selamat Pagi, Prof. Rusli. Mohon maaf mengganggu waktunya. Mau menanyakan apakah naskah skripsi saya sudah ditandatangani? Terima kasih, prof.”
Amira mengirim pesan singkat ke pembimbingnya lewat Whatsapp. Dia menunggu balasan dengan harap cemas. Sebelum dikirim, pesan tersebut berkali-kali dihapus dan diketik ulang. Jangan sampai keliru memilih kata. Untuk bertemu langsung, Amira belum berani. Meskipun selama ini dosen tersebut sudah ia anggap pengganti ayahnya.
Sejam kemudian, pesan jawaban pun masuk.
“Apakah kamu telah mempertimbangkan permintaan saya?”
Amira terduduk lemas membaca respons tersebut. Tubuhnya bergetar menahan marah. Matanya mulai panas. Ia menangis lagi.
Masih lekat dalam benaknya, tiap detail dari peristiwa pertemuan terakhir dengan dosen pembimbingnya tersebut minggu lalu.
Hari itu Amira izin pulang lebih cepat dari kantor karena ada janji temu dengan Prof. Rusli terkait rencana sidang skripsi. Bila biasanya diskusi bimbingan dilakukan di kelas, kali ini beliau meminta Amira menemuinya di salah satu hotel di Jakarta. Kebetulan sang profesor juga sedang ada seminar di sana.
Di dalam elevator Amira menekan tombol angka lantai. Intuisinya terganggu dengan pertanyaan mengapa berdiskusi soal naskah skripsi saja harus di dalam kamar hotel. Namun, pikiran Amira berusaha merasionalisasi bahwa mungkin profesornya tersebut juga sedang sibuk menyelesaikan tugasnya di kamar. Di antara kepercayaan dan keraguan, prasangka dan penyangkalan, Amira terus melangkah ke kamar tujuan yang sudah diinfokan oleh sang dosen.
Jantung Amira berdebar ketika memencet bel kamar. Dia berharap kamar tersebut kosong. Dia berandai undangan bertemu siang itu adalah sebuah kekeliruan. Saat kepalanya masih menyusun berbagai skenario kemustahilan, pintu kamar telah terbuka. Amira terkesiap.
“Silakan masuk, Amira. Saya baru saja selesai mandi sebelum persiapan sesi seminar sore ini,” Prof. Rusli masih mengenakan jubah mandinya. Amira ragu-ragu melangkahkan kaki ke dalam kamar, tetapi profesor itu tersenyum meyakinkan Amira untuk masuk.
Di hadapannya, sebuah ruangan luas dengan interior dan ornamen mewah memiliki sekat transparan yang memisahkan ruang tamu dengan tempat tidur. Prof. Rusli menyuruhnya duduk di sofa. Amira menurut, meski hatinya semakin tidak nyaman.
Profesor dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih dan kacamata emasnya itu mengambil tempat di samping Amira. Ia mengambil, lalu membuka naskah skripsi mahasiswinya tersebut. Amira menggeser duduknya agar tidak terlalu berdempetan. Ia risih.
“Amira, skripsimu ini sudah baik. Bisa diajukan untuk sidang,” kata-kata sang profesor seperti hujan di kala kemarau. Akhirnya, pikir Amira lega.
“Terima kasih, prof. Saya memang sangat berharap bisa segera sidang. Ini kesempatan terakhir saya,” mata Amira berbinar-binar.
“Saya tahu. Kamu sudah berjuang keras. Saya tinggal menyetujuinya saja,” Prof. Rusli menatap tersenyum, tangannya menepuk punggung Amira. Seolah menenangkan.
“Iya, prof. Saya membutuhkan tanda tangan Anda di naskah itu untuk daftar sidang,” ujar Amira sambil menundukkan kepala. Dia terkejut dengan perlakuan si profesor, tapi berusaha tetap senatural mungkin dalam bersikap.
“Hmm.. Kalau begitu, saya lihat kita saling membutuhkan,” profesor itu tersenyum nakal. Cuping hidungnya kembang-kempis.
Amira melihat cepat ke wajah Prof. Rusli dan mencoba membaca maksudnya.
“Kamu membutuhkan saya, saya pun membutuhkanmu sekarang,” profesor itu tiba-tiba menggerakkan tangannya ingin membelai wajah Amira.
Seperti tersengat api, Amira melompat dari sofa. Nafasnya memburu. Darahnya berdesir naik ke ubun-ubun. Takut meledak, ia segera bertindak cepat.
“Mohon maaf, Prof. saya harus kembali ke kantor. Pekerjaan saya menunggu,” Amira menjaga intonasi suaranya agar tetap santun.
Prof. itu terlihat tersinggung dan berpura-pura acuh. “Ya sudah kalau kamu hendak pergi sekarang. Saya juga ada pekerjaan menunggu.”
“Apakah saya bisa memperoleh tanda tangan prof. sekarang?” Amira bergetar menahan murka.
“Tentu, setelah kamu memenuhi kebutuhan saya.” Di mata Amira, dalam sekejap profesor itu berubah menjadi binatang berliur.
Tak mampu lagi berkata-kata, Amira mengambil tasnya dan melengos pergi. Sepanjang koridor hingga keluar hotel, Amira membatin penuh kalut. Giginya gemeratak menahan muak.
*
Sebuah pesan Whatsapp diterima Amira dan ia tidak butuh waktu semenit untuk menjawabnya.
“Sudah saya pertimbangkan, Prof. Apakah Anda punya waktu sore ini? Saya hendak menyampaikan jawaban saya secara langsung.”
“Baik. Temui saya di resto hotel depan kampus pukul 16.30.”
Amira tiba di lokasi pertemuan lebih cepat. Ia mengamati suasana resto tersebut, orang-orang, serta aktivitas yang berlangsung. Setidaknya ia punya cukup waktu untuk menenangkan diri sebelum bertemu dengan binatang berliur itu.
“Sudah lama menunggu?” sebuah suara menegur. Prof. Rusli menarik kursi di hadapan Amira.
“Tidak juga, Prof. Terima kasih sudah mau menemui saya,” Amira tersenyum kikuk. Ia membuang pandangan demi menutupi rasa jijik. Jarinya segera menekan layar ponselnya.
“Prof. Rusli, sebelumnya saya memohon maaf atas sikap saya kemarin. Umm.. terkait dengan permintaan Bapak, saya paham bahwa kita punya kebutuhan masing-masing. Tapi izinkan saya memenuhinya setelah sidang. Saya butuh fokus. Juga karena saya… saya belum pernah melakukan itu,” wajah Amira memerah. Ia berusaha menutupi harga dirinya yang terluka.
Si profesor terlihat terkejut dengan jawaban Amira. Namun, diam-diam ia begitu senang dan bangga atas pencapaian yang akan ia genggam tidak lama lagi.
“Meskipun ini pengalaman pertamamu, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Baiklah, saya setujui naskah skripsimu sekarang. Dan kamu akan membayar kebutuhan saya setelah selesai urusan sidang. Tenang saja, semuanya akan berjalan menyenangkan. Saya akan memilih hotel termahal dan kamar terbaik untuk kamu. Dan kamu akan merasakan sensasi yang belum pernah kamu rasakan sepanjang hidup,” Prof. Rusli menatap Amira dengan kilatan nafsu yang tak bisa ditutupi.
“Baik, Prof.,” Amira melayangkan kaki keluar dari resto segera setelah ia memperoleh naskah yang telah ditandatangani. Debar jantungnya nyaris menjebol dadanya.
*
Sehari setelah sidang Amira, muncul kegemparan di kalangan dosen dan mahasiswa yang mengundang perhatian media-media nasional dan berbagai organisasi masyarakat sipil. Sebuah rekaman audio tersebar luas di grup-grup Whatsapp yang menyebut nama seorang profesor telah melakukan transaksi dengan salah satu mahasiswinya. Pengirim diketahui anonim. Tetapi, bukti rekaman tersebut berhasil menimbulkan polemik besar dan menyeret sang profesor ke tuntutan hukum.
Profesor itu menyangkal keras. Ia merasa dijebak dan menjadi korban pencemaran nama baik. Lembaga dan para aktivis pembela hak perempuan yang paling keras menyuarakan dan menuntut keadilan. Isu tersebut bergulir semakin panas dari waktu ke waktu karena turut menguak kasus-kasus sejenis yang selama ini dipendam dan diredam.
“Mir, kamu sudah baca berita? Prof. Rusli ditangkap karena kasus pelecehan seksual dan penyalahgunaan otoritas.”
Sebuah pesan dari Selvi dibuka Amira dalam perjalanannya menuju kampung halaman. Matanya lalu beralih memandang lepas menembus kaca jendela kereta. Angin membuat hamparan padi melambai-lambai. Di pantulan bayangannya, Amira menyeringai.
* * *