Surat Penyair Muda kepada Seorang Nona di Negari Utara


Khaalida,

Saat berada di sebuah pantai, baik yang sepi maupun ramai, aku selalu merasa bahwa ada yang belum usai, bahwa ada yang senantiasa menolak dan melarang untuk menjadi selesai; dan ketika aku memandang luasnya laut, dari tepi pantai yang berbatu atau yang berpasir lembut, aku selalu merasa bahwa ada sesuatu yang tidaklah tersebut, bahwa ada sesuatu yang selalu saja terluput, selalu saja hanyut. Demikianlah, di saat aku berhadapan denganmu, bahkan di saat aku menuliskan sebuah surat panjang yang kini tengah kau sentuh dan tengah kau baca, mungkin, dengan teramat perlahan.

Khaalida,

Saat menuliskan sebuah surat, biasanya, seseorang akan mengawalinya dengan bertanya kabar kepada orang yang menjadi tujuan suratnya; tetapi, kali ini, aku tidaklah ingin bertanya kabar dan nasibmu. Aku lebih ingin bertanya: Bagaimanakah kabar dan nasibku di dalam hati dan pikiranmu? Dan selepas bertanya tentang kabar dan nasib yang dihadapi, biasanya, seorang yang menuliskan surat itu akan lekas-lekas menjawab tanyanya sendiri dengan serangkaian pengharapan semacam: bahwa seorang yang menjadi tujuan dari suratnya dalam keadaan baik-baik dan sehat-sehat saja. Sebenarnya, aku hendak lekas-lekas menjawab begitu rupa, hendak menjawab: Semoga, di dalam hatimu, di dalam pikiranmu, diriku masih sehat dan masih baik-baik saja. Akan tetapi, aku selalu menjadi peragu ketika berhadapan denganmu, bahkan ketika menuliskan surat ini; dan karenanya, aku memilih untuk bertanya kembali: Masih baik-baik dan sehatkah diriku di dalam hatimu? Aku tak tahu; dan karenanya, aku memilih untuk membayangkan serangkaian kemungkinan-kemungkinan.

Saat menuliskan sebuah surat, biasanya, seorang juga akan bertanya kepada seorang yang menjadi tujuan surat itu tentang alasan-alasan apa yang membuat orang itu tak berkabar kepada si penulis surat; tetapi, kali ini, aku tak ingin bertanya tentang alasan atau sebab apa hingga kau tak bertanya kabar kepadaku. Aku lebih ingin bertanya: Apa kau tak penasaran mengapa selama  setahun bahkan lebih aku tak bertanya kabar tentang dan kepadamu? Aku tak tahu; dan karenanya, hanya dapat kubayangkan serangkaian kemungkinan-kemungkinan—baik yang menyenangkan maupun yang bukan.

Khaalida,

Kelihatanya, orang-orang begitu sibuk dan begitu banyak yang mesti dikerjakan. Aku mendapati orang-orang, yang selumrahnya mesti kusebut sebagai teman-teman, begitu sibuk bekerja untuk menghasilkan uang, untuk dapat melanjutkan kehidupan—yang oleh mereka selalu diratapi dan disebut sebagai penderitaan. Aku mendapati orang-orang, yang semestinya kusebut sebagai teman-teman, begitu sibuk merangkai teka-teki kebahagiaan dengan kekasih atau pasangannya masing-masing. Aku mendapati orang-orang, yang semestinya kusebut sebagai teman-teman, begitu sibuk mempersiapkan sekolah lanjutan untuk mencapai suatu gelar kenamaan yang tak benar-benar bisa disebut sebagai bagian nama ketika berkenalan dengan kematian. Aku mendapati orang-orang, yang semestinya dan seharusnya kusebut sebagai teman-teman, begitu sibuk dan begitu sibuknya; sehingga aku tak tahu mesti bercerita kepada siapa tentang apa-apa yang aku pikirkan dan aku rasakan ketika hari-hari kujalankan.

Kelihatannya, orang-orang memang begitu sibuk, begitu banyak hal yang mana mesti mereka kerjakan. Demikian juga denganmu, bukan? Akan tetapi, kau bukanlah orang-orang, yang seharusnya kusebut teman-teman, yang sudah aku tuliskan; sebab kau adalah seorang yang selalu kuharapankan untuk tak sekadar menjadi teman, tak sekadar menjadi seorang yang mana—oleh buku-buku teori pengajaran—hadir sebagai liyan, tetapi menjadi seorang yang dapat kusebut sebagai bagian dari diriku sendiri. Sangatlah mungkin, dan memanglah mungkin agaknya, bahwa kau memiliki banyak pekerjaan yang mesti dirampungkan; tetapi apabila kau menyempatkan diri untuk membaca surat ini, maka kuucapkan terima kasih dari dalam hati—atau sesuatu yang selama ini kuyakini sebagai hati. Karenanya, izinkanlah aku untuk meminta maaf sebab merepotkanmu untuk membaca sebuah surat yang kutulis dan berisi serangkaian pikiran-perasaanku ini.

Mungkin orang-orang memang begitu sibuk dan begitu banyak hal yang mesti mereka kerjakan; termasuk pula diriku. Apabila kau bertanya kepadaku tentang apa yang tengah aku sibukkan, tengah aku kerjakan, maka aku akanlah menjawabnya dengan berkata: Aku tengah sibuk menata kenangan, harapan, mimpi, dan juga nasib yang senantiasa hadir sebagai sebuah teka-teki yang senantiasa menolak untuk diselesaikan ataupun terselesaikan; aku tengah sibuk bertarung dengan diriku sendiri yang berasal dari masa silam dan dari masa depan, bahkan dari sebuah masa yang luput dari perhitungan; aku tengah sibuk membaca garis nasib yang ada di tangan ini, tetapi menolak untuk digenggam; aku tengah sibuk menulis beberapa puisi panjang yang akan kupersempahkan kepada seorang gadis yang memiliki pipi kemerahan—dan tentu saja kau dapat dengan lekas dan dengan mudah menduga dan menerka kepada siapa puisi-puisi panjang itu kutujukan, bukan?

Khaalida,

Di suatu kesempatan, kau sempat mengatakan bahwa kau tak benar-benar memahami apa yang selama ini aku tuliskan, tak memahami puisi-puisi yang kutuliskan; dan karenanya, aku senantiasa belajar dan belajar agar apa-apa yang hendak kusampaikan bisa tersampaikan dengan semestinya. Akan tetapi, seperti yang kusampaikan sebelumnya, di awal surat sana, bahwa di hadapanmu aku selalu saja merasa berada di sebuah pantai dan lantas berhadapan dengan luasnya lautan. Selalu ada yang luput tersebut, selalu ada yang tak selesai dan menolak untuk usai; dan begitulah yang kualami pada saat menulis—termasuk menulis surat ini.

Banyak yang berkata bahwa bagi penyair kata-kata adalah segalanya; dan karenanya seorang penyair atau pengarang pada umumnya mesti percaya pada kata-kata, percaya pada senjatanya, percaya pada dirinya sendiri. Akan tetapi, ketika berhadapan denganmu, bahkan hanya bayang-bayangmu—yang hadir dalam benakku—aku menjadi seorang peragu; aku jadi ragu terhadap kata-kata, dalam menyampaikan pikiran dan rasa, aku jadi ragu pada senjata yang senantiasa kupakai ketika bertarung dengan keabstrakan dunia, aku jadi ragu… aku ragu kepada diriku sendiri. Aku ragu, ragu apakah aku bisa berkata-kata dengan selumrahnya. Bisakah aku berkata kepadamu, dengan sesederhana mungkin, bahwa aku masih dan tetap mencintaimu? Bisakah aku mengatakan itu tanpa bantuan metafora maupun umpama? Di hadapanmu, aku seketika menjadi bisu—dan berharap bahwa kau mau memaknai dan juga menafsirkan diriku yang tak lumrah berkata dan begitu kaku.

Karenanya, menuliskan sebuah surat, yang kini kau baca ini, merupakan sesuatu yang tak mudah. Aku ingin berkata sesederhana mungkin, menyampaikan semudah mungkin, dan mengutarakan seperti angin yang mengabarkan dingin—ah, lihatlah, aku mencoba membuat sebuah umpama lagi. Menulis surat, yang kini kau baca, aku mesti bertarung dengan sesuatu yang seringkali kusebut sebagai diri sendiri; aku mesti bertarung dengan anggapan-anggapan yang entah dari mana suka sekali berdatangan; aku mesti bertarung dengan kekhawatiran, apakah kau bisa memahami isi surat ini ataukah tidak. Sesudahnya, sesudah surat jadi, maka aku kembali bertarung dan merasa begitu bingung: apa aku mesti mengirimkannya kepadamu ataukah tidak. Dan selanjutnya, aku kembali diliputi oleh suatu pertanyaan: Apakah surat ini akan sampai kepadamu atau tidak. Bahkan, sesudahnya, aku masih diliputi suatu pertanyaan yang didasari oleh suatu pengharapan: Apakah kau akan membacanya atau tidak, dan apakah kau akan membalasnya atau tidak.

Akan tetapi, aku sudah memutuskan untuk mengirimkannya kepadamu; memutuskan untuk mengirimkannya kepadamu, yang mana memang menjadi penerimanya yang sah, dan menyerahkan kepada takdir: hendak menyampaikan atau menyimpan; memutuskan untuk mengirimkannya kepadamu, dan menyerahkan pada kehendak hatimu yang hendak membaca atau membiarkan tergeletak di atas meja yang dipenuhi oleh buku-buku tentang keuangan; memutuskan untuk mengirimkannya kepadamu, dan menyerahkan pada sesuatu yang disebut sebagai hati untuk menangkap isinya atau hanya menganggapnya sebagai tumpukan huruf yang menjadi kata; memutuskan untuk mengirimkannya kepadamu, dan menyerahkan pada tanganmu: Apakah hendak membalas atau tetap menyimpannya di dalam hati—dan menanti suatu pertemuan yang entah kapan terjadi.

Khaalida,

Ada banyak hal yang ingin kusampaikan kepadamu, tetapi aku tidaklah kuasa untuk menyampaikan semua itu; dan keinginan tersebut agaknya sudah cukup untukmu menerka dan menyatakan bahwa aku tengah dihinggapi sekumpulan burung bernama kesepian—yang turut membawa musim dingin kepadaku. Dan apakah kau juga merasakan kesepian? Aku berharap kesepian tidak menghinggapimu, atau bahkan menyiksamu. Adapun dari sekian hal yang ingin kusampaikan kepadamu, agaknya aku memilih untuk menyampaikan sebuah saja, yang semoga mewakili, sebuah yang mana berbunyi:

Aku rindu.

Dan aku sama sekali tak tahu kenapa aku ingin menyampaikan kepadamu tentang sebuah toples. Aku memiliki sebuah toples kaca berbentuk unik yang begitu bening, sebuah toples pemberian seorang lelaki tua yang suka sekali membaca. Aku tak tahu harus kuisi apa toples yang begitu bening itu, tak tahu harus kupakai untuk menyimpan apa. Karenanya, butuh waktu lama bagiku berpikir dan membayangkan hendak kupakai menyimpan apa. Aku sempat ingin memakainya untuk menyimpan sepotong senja, seganggam laut, secuil hujan, sedikit gemerlap bintang, dan juga sebongkah bulan. Akan tetapi, aku tahu, sangatlah tahu malah, bahwa hal-hal semacam itu terlampau berlebihan. Ah! betapa aku bahkan sempat juga membayangkan menyimpan kenangan, harapan, dan segala hal yang mungkin bisa membuat seseorang tetap menjadi manusia.

Saat berpikir hendak mengisi toples itu dengan apa, aku pun teringat kepada ikan-ikan cupangku yang mati, yang tak sempat bertemu dengan wajahmu yang manis dan memiliki pipi kemerahan itu. Apa di luar angkasa sana ada ikan-ikan atau sejenisnya—yang berenang-renang? Ah! lagi-lagi, aku berkata tentang sesuatu yang tak jelas. Betapa, pada akhirnya, aku berharap toples tersebut bisa diisi dengan roti-roti kering buatamu, roti yang dapat dinikmati dengan segelas kopi atau secangkir teh buatamu sambil bercakap-cakap tentang kenapa Minggu menuju Senin lebih lekas dibandingkan Senin menuju Minggu. Akan tetapi, amatlah mungkin, bahwa pilihan yang tersisa ialah menyimpan segala kehilangan, ketidakmungkinan, menyimpan kekosongan dan kesunyian.

Sungguh, toples yang kumiliki begitu indah; dan karenanya, aku jadi bingung mesti kupakai menyimpan apa. Aku ingin sekali menunjukannya padamu; dan bertanya: Baiknya, kuisi apa?

Khaalida,

Pernahkah terpikir seperti apa maut atau kematian itu? Apakah dia seperti tangan kekasih yang lembut, yang membawa pada teras guna memandang senja atau memandang hujan turun? Aku hanya bisa menerka. Apa kau takut pada maut yang sangat mungkin datang serupa kabut? Seorang pernah berkata padaku bahwa manusia sebenarnya tidak takut pada kematian, tetapi takut kepada kehidupan—sebab kehidupanlah yang memberikan apa yang dinamai dengan kematian. Dan ingatkah kau, pada sebuah kesempatan, aku pernah bertanya padamu tentang apakah manusia membutuhkan keabadian atau tidak; dan kau pun menjawab bahwa manusia tidaklah membutuhkan keabadian.

Namamu, yang indah itu, berarti abadi-keabadian; dan seperti selumrahnya manusia, seperti para alkemis, aku ingin mendapatkan keabadian—dan mungkin hal itu tersebab takut berjumpa dengan kematian. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, aku agaknya memang perlu mengaku, bahwa aku pun takut kepada keabadian, kepada sesuatu yang menolak akhir. Aku berharap bisa bersamamu, tetapi juga takut bila bersamamu.

Khaalida,

Selain pantai dan laut, selain perpustakaan dan toko buku, tempat yang kusukai adalah stasiun kereta. Di sana, kedatangan dan kepergian begitu sulit dibedakan, bahkan tak pernah mau untuk dibedakan. Adapun Subagio, penyair yang mencoba karib dan bermesraan dengan kematian, pernah menulis dalam salah satu sajaknya bahwa stasiun kereta serupa dengan surga; dan aku mengamininya, walau di sana tak ada yang namanya keabadian. Akan tetapi, bukankah kau adalah (perempuan yang bernama) keabadian? Jadi, bila di stasiun kereta, di ruang tunggu yang betah sekali bisu, aku duduk bersamamu, maka bukankah tempat itu akan menjadi genap dan lengkap, menjadi sebuah surga yang sesungguhnya? Di stasiun kereta, betapa kereta begitu mempesona: membawa orang-orang dari sebuah surga menuju ke surga lainnya. Tidakkah kau teringat pada guru matematika kita yang mengajarkan bahwa sepasang garis yang sejajar takkan bisa menyatu? Ah! bagiku, bersamamu agaknya lebih dari cukup.

Apakah kau menyukai stasiun kereta?

Khaalida,

Saat bagian ini kutuliskan, aku baru saja kembali dari luar kontrakan, kembali dari mencari udara segar. Di luar, aku mendapati sebuah mendung, sebuah kota yang begitu betah sepi, dan jalanan yang membekukan diri; dan karenanya amat jelas terdengar oleh sepasang telinga ini suara dedaunan yang bergesekan, dan memperjelas diriku yang kesepian. Dan sekembalinya ke bilik yang tidak begitu luas, aku pun membayangkan orang-orang berjalan dengan muka murung sambil membawa payung—khawatir hujan turun dan datang tiba-tiba mengepung. Aku juga membayangkan orang-orang berkabung; dan di dalam kamarku, aku merenung: Ada banyak hal yang tak rampung, banyak hal tak pernah sempat sampai kepada ujung. Ah! andai aku memiliki rumah sendiri, rumah yang memiliki sebuah teras, mungkin aku akan duduk di sana sambil memandangi hujan yang begitu betah menjadi deras, lantas mengingat kembali tentang apa-apa yang menolak untuk menjadi tuntas: seperti mencintaimu dengan segenap ataupun seganjil ini napas. Akan tetapi, agaknya, memang banyak hal yang begitu sulit untuk disebut oleh sebuah mulut; seperti:

Aku sangat mencintaimu.

Khaalida,

Pada akhirnya, hujan turun dan membasahi segala ingatan yang telah kurun. Di saat begini, di saat semacam ini, aku kian sering membayangkanmu duduk di perpustakaan yang hangat; atau bersama teman-temanmu bercakap tentang makanan yang enak atau tentang harapan menikahi seorang pangeran; atau tengah memandang keluar dari sebuah jendela dan bertanya-tanya entah kepada apa: kapankah kedamaian datang menuju dunia yang selalu saja dijadikan orang-orang sebagai tempat pertempuran?

Hujan suka sekali membuatku mengingat-ingat—

Dan setelah kuingat-ingat, agaknya memang benar, aku tak pernah berkata bahwa aku mencintaimu—meski aku sempat berkata aku menyayangimu. Karenanya, apakah nanti, saat berjumpa kembali, di suatu waktu yang entah kapan, kau mau mendengarkan aku untuk berkata bahwa aku mencintaimu? Agaknya, memintamu menjadi kekasihku adalah suatu hal yang begitu membekas di dalam kepalaku, selain adegan di mana kau melampai di dekat gerbang sekolah menengah. Aku tak tahu apa yang sebenarnya kucintai darimu—dan kuharap aku tahu. Adapun, yang tahu bahwa aku menyayangi-mencintaimu barangkali hanya Gusti yang Mahasunyi—dan beberapa orang yang menganggap aku berdusta dan mengarang cerita. Akan tetapi, aku sungguh lebih ingin tahu:

Apakah kau mencintaiku?

Dalam ingatanku, kau adalah seorang gadis yang pipinya kemerahan tersebab cahaya mentari senang sekali menghinggapi; dan sering sekali menanti di dekat telepon umum yang mana tak bisa dipakai untuk menelepon masa silam ataupun masa depan.

Masihkah kau ingat pada telepon umum di depan sekolah?

Telepon itu kini tak ada, telah dihilangkan pemerintah kota.

Masa itu diriku masih bercita-cita menjadi dewa. Konyol, bukan? Dan amat mungkin, karenanya Gusti yang Mahasunyi mengirimkanmu kepadaku: seorang bernama abadi yang bertemu seorang pemuda yang ingin menjadi seorang dewa. Akan tetapi, Gusti memang suka sekali menguji: dan memintaku menjadi manusia saja—toh, manusia memang lebih luhur bila dibandingkan dewa-dewa yang menolak tua.

Khaalida,

Agaknya bagian ini adalah bagian akhir dari sebuah surat yang cukup panjang ini; dan karenanya, sebab kau telah membaca hingga bagian ini, aku mengucapkan terima kasih yang teramat. Aku tahu, seperti juga katamu dahulu, bahwa kata-kata tak benar-benar cukup untuk berkata; dan tulisan, semacam ini, hanya menunjukan suatu kehadiran dari penulisnya. Perjumpaan memang membawa pada rupa, suara, dan juga aroma—yang tidaklah benar-benar bisa dirasa dari sebuah tulisan-aksara. Akan tetapi, aku berupaya agar semua itu dapat hadir; betapa aku ingin menyampaikan: dengan secuil bisa menyatakan seluruh, dengan yang kecil bisa menyampaikan sesuatu secara penuh. Meski begitu sukar. Meski begitu sukar. Dan aku berharap kau sehat-sehat saja sehingga bisa berkata dengan tanpa berpura-pura:

Aku baik-baik saja.

Dan seperti yang sudah kusebutkan sebelumnya, agaknya memang selalu saja ada yang tak tuntas, termasuk surat ini—meski sudah sedemikian panjang. Sebagai akhir, aku hanya ingin berkata:

Aku mencintaimu dan masih demikian begitu.

(2019—2021)





Bagikan:

Penulis →

Polanco S. Achri

Lahir dan tinggal di Yogyakarta. Seorang lulusan jurusan sastra yang kini menjadi seorang pengajar di sebuah sekolah menengah kejuruan di Sleman. Menulis prosa-fiksi dan drama, serta esai pendek. Adapun, beberapa tulisannya tersebar di media, baik cetak maupun daring. Dapat dihubungi via FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *