Serenada Perpisahan

Kota Mati

aku menemukanmu di sebuah kota
yang mati oleh wabah.
gemerlap lampu-lampu dimatikan pilu.
Entahlah. senyummu tiba-tiba raib.
aku mencarinya sepanjang bait-garis aspal.
tak sekerat pun kutemukan. hanya anjing
melolong pada pengemis yang
dua hari tak makan.

belum kutemukan senyummu.
Kemudian ada bulir-bulir cahaya jatuh
dari sepasang kelopak malam.
aku berkaca, dan menyaksikan ia menggelepar
di antara mayat-mayat dalam bandusa.
aku meratap, kekasih!

tanpa kusadari, kata-kata angkat kaki
dari selembar kertas penuh noktah darah.
dan aku tetap mencari senyummu,
di balik daun pintu yang tertutup rapi.

Jogja, 2021




Epitaf Penyair Galau

ia pergi ke sebuah kafe
dengan sisa cium di alun-alun.
bulan mengintip di jendela tanpa kaca.
angin membisikkan serenade perpisahan
tiba-tiba ia menangis dalam puisi
yang dicipta sendiri.

ia berkhayal
seorang perempuan dari negeri sorga
rebah di pangkuannya.
nyamuk tertawa_terbahak-bahak.
di matanya, kenangan berenang
serupa ikan di sungai lazuardi.

ia tak mendapati
lembut tangan kekasih
dan memutuskan pergi.

ia punya suaka. bernama kata-kata.
namun sering dikepung banyak sengsara.
kalimat-kalimat berjatuhan
dari tangan tuhan
pada pipi mawar yang ditanamnya.

Cabeyan, 2021




Fragmen Kesedihan

/
aku bayangkan
pedang langit dan golok pembunuh naga*
menembus dan menebas
seluruh tubuhku
hingga darah menyapa tanah
dan bicara tentang kepedihan

/
dalam hidup yang redup ini
sirene ambulan dan kabar kematian di toa musala
memahat wajah getir di dada
dan wajah itu meraung-raung
memanggil maut untuk kunyanyikan

/
beberapa kali ringkik kuda
mengabarkan kegagalan bercinta
dan dalam pedati itu,
selaksa mayat kenangan sedang dikultuskan

/
tapi aku tidak sedang menunggu ilham itu
kata-kata telah lama menyatu
meski hakikatnya terbaca sebagai kematian
yang haram ditahlilkan.

Yogyakarta, 2021




Talka

seekor laba-laba bersarang di kepalaku
jaringnya menampung segala yang berasal
dari masa lalu. seperti halnya lagu lagu
yang terbuat dari bising kota kota.

aku hendak pindah ke bagian dadamu
karena di sana terdapat sebuah lubang
dan tempat menabuh jantungmu dengan
tenang, pekiknya seperti suara gelas jatuh.
dan laba-laba itu beranak pinak

menjelma:
rindu minta dialamatkan
pilu tak perlu diungkapkan
puisi tak melulu tentang percintaan.

Cabeyan, 2021




Nyanyian dalam Jurang IV

aku pernah berharap engkau akan
mengirimkan sebutir kepala pendeta
yang tak diperoleh dari peperangan
namun dari sunyi pertapaan. saat
sebutir peluru gagal melubangi dada.

kuserahkan tubuhku pada sepi,
tinggal belulang di depan puisi.
sampai aku tak bisa berkata:
“akulah jisim yang sempurna
menyadur wahyu seorang penyair!”

ruang ini mengajariku kalau
duniawi mesti membusuk di ujung hari
dan tak akan menemani sekujur tubuh
yang tak mampu menampung nyawa lagi.

Yogyakarta, 2021




Bagikan:

Penulis →

Khalil Satta Èlman

Lahir di Sumenep-Madura, 7 Mei. Menulis puisi dengan dwibahasa, Indonesia – Madura. Tulisannya pernah singgah di Tempo.co, Banjarmasin Post, Pos Bali, telembuk.co, Majalah Jokotolè, Tembi.net, juga buku antologi puisi bersama   a.l. ; Jazirah 1 (2018), Rantau: Dari Negeri Poci 10 (2020), Alumni Munsi Menulis III (2020). Saat ini belajar nulis di Lesehan Sastra Kutub Yokyakarta (LSKY), dan santri PPM. Hasyim Asy’ari Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *