KETIKA Losi—dosen perempuan muda, cantik dan cerdas—menyudahi aktivitas mengajar, salah satu mahasiswanya yang bernama Dasta tak langsung pergi. Bahkan ketika Haki, teman akrabnya mengajak ke kantin pun tak juga ia hiraukan. Dasta memang berbeda dengan Haki yang suka pergi-pergi. Dasta lebih sering berdiam di suatu tempat, seperti kali itu, hampir setengah jam ia berada di ruang kuliah sendirian. Ia masih memikirkan materi kuliah Losi. Bagian yang dominan menyita perhatiannya ketika Losi membacakan nukilan pidato Friedrick August Kekule, seorang profesor dari Jerman yang mengabdikan hidupnya di bidang ilmu kimia, juga termasuk salah satu guru terbesar kimia di abad kesembilan belas. Kekule membaca pidato itu pada tahun 1890, di Balai Kota Berlin, pada sebuah perhelatan ulang tahun ke-25 atas pengumuman rumus struktur benzena. Sedangkan benzena sendiri sebuah arsitektur struktur molekul, yang hal itu bidang ilmu yang jauh dari Dasta yang kuliah di fakultas psikologi.
Karena itu bukan perihal benzena yang menjadi perhatian Dasta, tetapi tentang apa yang disampaikan Kekule dalam pidatonya. Seperti yang dibaca Losi, Kekule mengatakan bahwa awal dari penemuan rumus benzena adalah dari mimpi-mimpinya. Dasta masih ingat dengan jelas isi nukilan pidatonya yang waktu itu dibaca Losi. Dalam pidato itu Kekule menyampaikan bahwa di sore hari yang indah di musim panas, ia pulang naik bus terakhir. Bus itu melewati jalan kota yang sangat sepi. Di tengah perjalanan, Kekule melamun lalu tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi tentang atom-atom yang melayang dan terus bergerak. Kekule tidak tahu sifat dari gerakan atom tersebut, tapi dalam mimpinya ia bisa melihat dua atom yang lebih kecil bergabung membentuk sebuah pasangan, lalu atom yang lebih besar meraih dua atom yang lebih kecil. Sementara atom yang lebih besar masih memegang tiga, atau bahkan empat atom yang lebih kecil di belakangnya, tapi hanya pada ujung rantai. Ketika mimpinya sampai di situ, ia terbangun oleh teriakan petugas perjalanan yang memberitahu bus telah sampai di Clampham Road. Ketika tiba di rumah, Kekule menghabiskan malamnya untuk menggambar sketsa dari apa yang ada dalam mimpinya, yang hal itu adalah awal penemuan teori struktur benzena.
Skema yang Kekule buat itu ia sempurnakan setelah dirinya mengalami mimpi yang kedua. Mimpi itu terjadi ketika ia sedang berada di asrama mahasiswa yang terletak di jalan utama Ghent. Namun, ruang belajar Kekule kebetulan berada di depan sebuah gang sempit, di mana di ruang itu tidak ada sinar matahari yang bisa masuk. Pada saat itu ia sedang menulis buku teks, tapi tidak menunjukkan perkembangan. Pikirannya sedang mengembara, lalu ia memutuskan istirahat dan duduk di depan perapian. Pada saat itulah ia tertidur dan bermimpi perihal gugusan atom yang terangkai dalam barisan panjang yang melingkar dan membelit-belit, seperti gerakan ular. Salah satu ular itu menangkap ekornya sendiri hingga menyerupai bentuk cincin. Pada saat itu Kekule terbangun kaget. Barulah ketika malamnya Kekule menyempurnakan hipotesanya.
Berulang-ulang Dasta memikirkan nukilan pidato itu. Ia menyimpulkan bahwa apa yang ada dalam mimpi bisa jadi sebuah tanda akan penemuan penting. Terlebih usai Losi membaca nukilan pidato itu, Losi masih mencontohkan tokoh lain yang bisa menciptakan penemuan, di mana sebelumnya telah mengalami mimpi. Contoh tokoh lain yang disebut Losi adalah Otto Loewi, seorang ahli fisiologi, intelektual yang menemukan transmisi humorial impuls-impuls saraf melalui zat-zat kimia. Waktu itu Losi menyampaikan tulisan yang tertera di Journal of Chemical Education, edisi September 1987, halaman 770.
Tulisan itu karya U. Weiss dan R. A. Brown. Dalam tulisan itu mereka mengatakan bahwa setelah Loewi bangun dari mimpi keduanya, ia pergi ke laboratorium, lalu melakukan percobaan seperti yang ditunjukkan dalam mimpinya. Percobaan itu sederhana, namun kritis. Mungkin karena itulah, mereka menganggap bahwa imajinasi dan ingatan adalah hal yang paling aktif ketika orang sedang bermimpi. Kata mereka, gagasan penting itu hampir tidak pernah muncul ketika sedang berada di kantor. Menurut mereka, gagasan seperti itu lebih mungkin akan muncul di pagi hari, di pesawat atau di bus, dalam perjalanan yang menyenangkan, atau bahkan di situasi yang membosankan, di kamar mandi, atau sedang menikmati konser musik.
Pernyataan tentang Loewi itu membuat Dasta semakin yakin atas pendapatnya, bahwa sebuah penemuan bisa berawal dari mimpi. Keseriusan Dasta menekuni materi itu sebenarnya bukan tanpa sebab. Kenyataannya akhir-akhir ini Dasta memang mengalami dua mimpi yang sama. Dalam mimpi itu Dasta melihat hal-hal yang dapat digunakan untuk menyatakan perasaan kepada orang yang dicintai tanpa perlu takut ditolak. Dalam mimpi itu Dasta melihat beberapa unsur pendukung yang harus dilakukan agar orang yang dicintai akan mencintainya juga. Alasan kedua, Dasta begitu antusias atas pemaparan Losi, karena pada saat ini Dasta memang sedang memendam perasaan suka kepada Losi, yang pada suatu saat ingin ia utarakan. Ia punya pengertian, jika Dasta bisa memenuhi semua prosedur yang ada dalam mimpinya, tentu saja cintanya tidak akan ditolak.
Di kelas kuliah Losi tak sedikit pun Dasta punya keinginan untuk membolos, termasuk kuliah Losi yang berikutnya, Terlebih saat itu Dasta ingin mendapat materi tentang penemuan yang sepertinya belum tuntas disampaikan di pertemuan sebelumnya. Jam kuliah belum dimulai, Dasta sudah di ruang kuliah, dan duduk di kursi kesayangannya, baris ketiga dari depan di bagian tengah. Ketika Losi muncul, sejenak membuat hening ruang kelas. Hari itu Losi memakai stelan baju atas berwarna krem, dan rok span berwarna cokelat gelap. Dengan warna itu membuat kulit tubuh Losi menjadi terlihat jernih dan bercahaya. Kaki jenjangnya tampak jelas, dan mengkilat. Bisa diibaratkan dua tiang penyangga bagi sesuatu yang sangat berharga.
“Bu Losi tampak beda nggak sih?” suara mahasiswa perempuan terdengar seperti mendesis.
Sementara itu, suara sepatu jinjit Losi terdengar padu dengan irama langkahnya hingga membuat semua mata di ruang kuliah terpana. Hening seketika seperti menyergap, yang hal itu semakin memperjelas suara tok-tok sepatunya. Perhatian mahasiswa mengarah kepada Losi, tak terkecuali dengan apa yang terjadi pada diri Haki dan Dasta yang duduk jejer. Baik mata maupun mulut mereka berdua tanpa sadar sama-sama terbuka lebar. Terlebih bagi Dasta, hal itu semakin memupuk rasa kagumnya pada Losi. Rasa cinta dalam dada Dasta menjadi semakin bergelora.
“Pertemuan sebelumnya sampai mana?” tanya Losi memecah kesunyian.
“Mimpi Kekule dan Loewi, Bu.”
“Hari ini saya akan mencontohkan lagi dua kisah tentang kekuatan dari mimpi,” kata Losi.
Mendengar hal itu Dasta langsung semringah.
“Yang pertama Melvin Calvin, penerima Nobel bidang kimia pada tahun 1961 atas penjelasannya mengenai fotosintesis tanaman. Ketika Calvin sedang menunggu istrinya di mobil, dalam beberapa detik lelapnya ia mendapatkan pemahaman perihal senyawa yang hilang, tentang sifat siklik dari jalur karbon. Calvin menamai kejadian itu sebagai inspirasi.” Usai menjelaskan itu, Losi mengucir rambutnya yang mungkin mengganggu pandangan, karena sesekali rambutnya tergerai ke depan.
Losi melanjutkan materinya dengan memberi contoh kedua, kisah yang dialami Charles H. Townes, penerima Nobel fisika pada tahun 1964. Losi bilang, awal mula Townes menemukan laser pada pagi di musim semi, di sebuah bangku taman Washington, D.C. Townes menemukan gagasan tentang cara praktis menemukan bentuk ilmiah dari gelombang elektromagnetik yang dihasilkan dari molekul setelah sebelumnya ia merenungkan sebuah tanaman bunga yang indah.
Usai penjelasan kedua kisah itu, Losi mempersilakan mahasiswanya untuk menanggapi, hingga terjadilah tanya-jawab yang mengasyikkan bagi para mahasiswa. Saking asyiknya hingga waktu seakan cepat berlalu hingga kuliah berakhir. Ketika kuliah selesai, sebagian besar mahasiswa gegas menghambur keluar. Haki memilih berjalan mendekati Losi, mungkin belum puas dengan sesi tanya-jawab, lalu menjejeri Losi keluar menuju ruang kerjanya sembari terus berbincang. Sementara Dasta masih juga berada di kursinya. Ia benar-benar penasaran dengan materi yang disampaikan Losi, hingga di waktu-waktu berikutnya ia lebih banyak sibuk mendekam di perpustakaan, menyempurnakan apa yang ada dalam mimpinya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Haki suatu kali.
“Meracik rumus penakluk,” jawab Dasta.
“Apa?”
“Rumus tentang cara agar orang yang dicinta tak akan menolak.”
“Pemaksaan, tuh?”
“Bukanlah.”
“Dalam kondisi apa pun?”
“Apa pun.”
“Yang bener, ah?”
“Pasti benerlah!”
“Wah, kebetulan nih.”
“Maksudmu?”
Benar, sudah lama Haki kasmaran dengan seseorang, dan selama ini ia tidak berani mengungkapkan perasaannya, bahkan tidak juga diceritakan kepada teman-temannya, termasuk kepada Dasta. Salah satu alasan keraguan Haki karena ia merasa minder dengan perbedaan yang ada pada dirinya dengan orang yang dicinta.
“Jangan ragu. Pakai ini,” kata Dasta, sembari menyerahkan catatan hasil dari penelitiannya.
“Apa ini?”
“Rumus penakluk itu sudah kutemukan.”
“Perasaanmu tidak penting, perasaannyalah yang utama. Segala jenis tuntutan akan menghancurkan, maka hapus hal itu tanpa syarat. Ada sepuluh poin, kau yakin?”
“Rumus itu kususun berdasar dua mimpiku yang sama. Kau harus jalankan sepuluh langkah itu. Kukira materi kuliah tentang kekuatan mimpi bukan ketidaksengajaan. Itu adalah isyarat.”
Tiga hari berikutnya, Haki menghubungi Dasta, ia ingin menyampaikan sesuatu. Mereka bertemu di perpustakaan kampus.
“Penemuanmu benar-benar keren, cuy,” ucap Haki begitu mereka bertemu.
“Maksudmu?”
“Cintaku diterima, Bro.”
“Yang bener?”
“Kamu itu gimana? Pas nyerahin penemuanmu, kau begitu yakin. Lah, barusan kamu seperti tidak percaya.”
“Tidak gitu. Ya baguslah kalau gitu. Aku akan menyusul,” sahut Dasta sembari berlalu.
“Heh, heh. Dasta, mau ke mana kau? Aku belum selesai ceritanya,” sahut Haki.
Setelah pertemuan itu, mereka baru bertemu lagi pada saat mengikuti kelas Losi berikutnya. Pada saat jam kuliah belum mulai, kali itu gantian Haki yang telah masuk ke ruangan, menempati kursi kesayangannya, baris ketiga dari depan di bagian tengah, bersebelahan dengan kursi yang biasanya ditempati Dasta. Namun, pada saat itu Dasta belum datang, bahkan pada saat Losi sudah masuk ruang kuliah, dan memulai materinya, Dasta belum juga datang.
Seperti biasanya, yang selalu menarik bagi para mahasiswa terhadap Losi, bukan hanya materi yang dibawakan, namun termasuk pesona Losi sendiri. Mereka, terkhusus yang laki-laki sepakat dengan ungkapan, semakin hari pesona Losi semakin menawan. Terlebih pada hari itu, Losi tampil dengan stelan kasual. Bawah, jeans berwarna biru muda, sedangkan atas, baju kembang-kembang putih dan merah, dengan latar berwarna biru dongker. Penampilannya itu semakin padu dengan sepatu kets berwarna putih yang dipakainya.
Ketika Losi baru beberapa menit memulai materi, Dasta masuk ruang kuliah dengan wajah masam. Ia hanya sempat memandang Losi tanpa kata, mungkin sebagai isyarat permisi. Suara teriakan dari teman-temannya tidak ia hiraukan. Dasta langsung duduk di kursinya, dan tak ada antusias untuk mengikuti materi yang disampaikan Losi di sepanjang waktu kuliah, bahkan sekadar memandang ke depan pun tidak ia lakukan. Namun, pernyataan Losi sebagai penutup kuliah kali itu membuat Dasta memperhatikannya.
“Marilah kita belajar untuk bermimpi, para hadirin, kemudian kita mungkin akan menemukan kebenaran. Tetapi marilah kita berhati-hati untuk mempublikasikan mimpi-mimpi kita sampai mimpi-mimpi kita tersebut telah diuji oleh pemahaman alam sadar,” Kali itu Losi membaca kutipan lain dari pidato Kekule, yang menurut Losi harus ia sampaikan sebagai penutup materi perihal kekuatan dari mimpi.
Mendengar itu, pandangan Dasta mengarah ke wajah Losi yang saat itu memang benar-benar terlihat cantik.
“Satu lagi, Kekule juga mengatakan, mimpi-mimpi harus segera ditinjau dan diuji di hari yang terang. Sebuah gagasan yang muncul seperti kilatan di malam hari, atau di siang hari mungkin memerlukan pengerjaan yang cemerlang selama berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun supaya berhasil,” tambah Losi.
“Sekali lagi, terima kasih ya, Das,” ucap Haki.
Dasta menoleh ke arah Haki dan memandangnya cukup lama, “Tapi aku ditolak. Berarti rumus penemuanku itu belum tentu berhasil.”
“Aku tidak berpikir begitu, bahkan aku tetap harus berterima
kasih padamu, karena dengan modal penemuanmu, aku menjadi percaya diri untuk
menyatakan cinta, dan hebatnya Dosen Losi menerimanya,” terang Haki sembari
tersenyum.***