Judul Buku : The Hour of the Star Penulis : Clarice Lispector Penerbit : Benjamin Moser Cetakan : Centennial Edition, Oktober 2020 Tebal Buku : 128 halaman ISBN : 978-081-1230-04-9
“Who hasn’t ever wondered: am I a monster or is this what it means to be a person?”
The Hour of the Star; judul yang sangat memikat. Jamnya Bintang? Waktunya Bintang? Aneh dan sulit memang, bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Begitu juga saat mengalihbahasakan novel pendek ini dari bahasa Portugis ke bahasa Inggris. Penerjemah dari edisi The Hour of the Star yang saya baca dari terbitan New Directions, Benjamin Moser, berujar bahwa prosa ciptaan Clarice Lispector ditulis dengan “Pemilihan kata yang aneh, pemakaian sintaksis nan tak biasa, dan tak patuh pada aturan tata bahasa konvensional saat membuat kalimat.” Bahkan, Clarice Lispector mengakui bahwa “Memang kalimat-kalimat ini tak seperti bahasa yang umumnya kita ucapkan sehari-hari; tapi beginilah adanya dalam bahasa Portugis.” Walaupun begitu, artian kalimat yang ingin ia sampaikan sangatlah jelas.
Lispector sendiri menekankan bahwa dia sadar tentang alasannya memakai tata bahasa yang seperti itu dan bersikeras bahwa keputusannya perlu “dihormati” oleh para editor dan penerjemah. Dan untungnya, keinginan bulatnya tersebut makbul mencapai tujuan yang diinginkan, yakni untuk mengirimkan pesan yang ingin ia sampaikan kepada para pembaca karyanya secara benar dan utuh, dan akhirnya membuat Clarice Lispector dapat menghasilkan sebuah mahakarya yang berhasil menahbiskannya sebagai salah seorang penulis terbaik di seluruh dunia — bukan hanya di negeri Samba.
The Hour of the Star menceritakantentang kisah seorang perempuan bernama Macabéa, gadis miskin yang tinggal di wilayah kumuh kota Rio de Janeiro. Seorang perawan yang bekerja sebagai seorang juru ketik dan tinggal bersama dengan 4 orang (yang semuanya bernama Maria) dalam satu kamar yang sempit. Hobinya cuma duduk sembari melihat pemandangan lautan di dermaga. Macabéa hanya mengetahui dunia berdasarkan siaran radio yang ia dengarkan tiap hari. Gadis jelek yang bernasib malang ini tidak tahu apa-apa, sangat bodoh hingga tak sadar bahwa selama ini dia hidup sengsara. Kebodohan mencegahnya untuk merasakan penderitaan sejak awal dia lahir ketika ditinggal ayah dan ibunya, lalu tinggal dengan bibinya yang jahat, pindah dan hidup melarat di kota besar, merasakan patah hati setelah ditinggal oleh pacarnya, dan begitu banyak kemalangan lainnya. Namun, dia baik-baik saja menghadapi semuanya. Dirinya tak pernah bertanya. Ia menerka bahwa memang tak ada jawaban. Macabéa adalah korban atas eksistensi dirinya sendiri.
“Ia tak tahu bahwa dirinya adalah dirinya, layaknya anjing yang tak tahu bahwa ia adalah sebuah anjing. Yang ia inginkan hanyalah untuk hidup. Dirinya tak tahu untuk apa; ia tak pernah bertanya. Mungkin ia berpikir bahwa ada hal yang menyenangkan dalam hidup. Ia berpikir bahwa orang-orang pasti bahagia. Jadi ia turut bahagia.”
Namun, dalam beribu-ribu kemalangan yang menimpanya, Macabéa pernah merasakan bahagia — sampai-sampai ia menangis karenanya. Ia bahagia karena telah mendengar sebuah lagu yang ia dengarkan di radio, berjudul “Una furtiva lacrima”. Lagu itu menjadi setetes kebahagiaan dalam lautan penderitaan yang Macabéa arungi sepanjang hidupnya —meski tak pernah sedetik pun ia menyadarinya.
Narasi Tak Biasa
Memang, premisnya terdengar biasa saja, tapi ada faktor pembeda dari roman yang pertama kali terbit pada tahun 1977 ini dalam menarasikan cerita yang dikandungnya. Ada unsur metafiksi dalam struktur novel ini. Kisah pilu Macabéa diceritakan langsung oleh si penulis sekaligus narator kisah ini, Rodrigo S. M.. Ia seperti menceritakan secara lisan kepada para pembaca akan kisah yang dibuatnya. Namun, tak berhenti di situ saja. Si Narator ini malah ngelantur kemana-mana saat mendongengkan kisah Macabéa, apalagi di sepertiga awal cerita. Ia malah bersolilokui dan berkontemplasi seenak udelnya tentang apa saja yang ada di kepalanya saat menulis cerita ini, berikut salah satunya:
“I do not intend for what I’m about to write to be complex, though I’ll have to use the words that sustain you. The story — I determine with false free will — will have around seven characters and I’m obviously one of the more important. I, Rodrigo S.M. An old tale, this, since I don’t want to be all modern and invent trendy words to make myself look original. So that’s why I’ll try contrary to my normal habits to write a story with a beginning, middle, and “grand finale” followed by silence and falling rain.”
Coba perhatikan kalimat ini: “Ceritanya — yang kutentukan dengan kehendak bebas palsu — akan memuat kira-kira tujuh tokoh yang ada di ceritanya dan tentu saja aku jadi salah satu tokoh yang lebih penting.” Rodrigo ingin mencuri spotlight yang seharusnya tertuju kepada Macabéa selaku pemeran utama serta tokoh-tokoh lain di novelnya. Narsistik sekali bukan? Sialan memang.
Walaupun begitu, Rodrigo juga menulis ceritanya dengan beberapa kalimat dan aforisme puitis yang menohok dan membuat kita berpikir:
“Meanwhile the clouds are white and the sky is all blue. Why so much God. Why not a little for men.”
Paragraf singkat tersebut bisa diinterpretasikan dengan mengelaborasikannya melalui perbandingan Tuhan : manusia, dengan Rodrigo : Macabéa. Tuhan Yang Mahakuasa sanggup membuat keindahan berupa gumpalan awan nan putih cemerlang di langit biru yang seluas itu, tapi di kolongnya, miliaran ciptaannya ditelantarkan, hidup melarat dengan menyeret kaki tiap hari, tak pernah bisa merasakan keindahan seperti yang telah Tuhan ciptakan di langit. Mirip seperti judul buku Leo Tolstoy: Tuhan Mahatahu, Tapi Dia Menunggu. Menunggu apa?
Begitu juga Rodrigo, selaku penulis kisah ini, memiliki kehendak absolut terhadap kehidupan Macabéa. Ia bisa saja membuat Macabéa berbahagia sepanjang hidupnya: Gadis Brasil cantik yang bekerja sebagai bos di gedung pencakar langit, memiliki kekasih tampan bak pangeran Eropa, hidup bahagia di rumah mewah, mobil Mercedes jadi tumpangan, dan lain sebagainya. Macabéa bisa saja hidup layaknya putri Cinderella. Namun, realita tidak semanis itu. Sebaliknya, Rodrigo selaku pencipta yang mengatur nasib Macabéa membuat hidupnya penuh sengsara . Mirip sekali dengan yang di atas.
Ruang Milik Diri Sendiri
Selain akan menjumpai aforisme yang menyentil pertanyaan dan kontemplasi filosofis yang diperdebatkan sejak zaman Aristoteles hingga zaman kiwari tentang “Apakah sebenarnya ‘free will’ itu nyata adanya?”, para pembaca juga dapat menemukan bahwa Clarice Lispector mengangkat tema feminisme di novel ini. Ada sebuah adegan di mana Macabéa kecapekan dan mengelabui bosnya agar diizinkan bolos kerja sehari untuk istirahat di rumah— kamar sempit lebih tempatnya. Pada momen itu, untuk pertama kali di sepanjang hidupnya, ia merasakan hal yang paling berharga di dunia: kesendirian. Ia memiliki ruangan kamar itu untuk dirinya sendiri. Menarilah dia dengan diiringi sembarang lagu yang disiarkan oleh radio mungilnya. Macabéa sangat menikmati kebahagian kecil yang berasal dari kesunyian yang diperoleh dengan susah payah ini, dari radio yang volumenya diatur sekeras mungkin, dan luasnya ruangan tanpa para Maria.
Entah disengaja maupun tidak, Clarice Lispector seperti memparafrasakan esai panjang berjudul A Room of One’s Own gubahan Virginia Woolf, salah satu penulis yang gencar menyuarakan kesetaraan dan hak-hak perempuan. Intisari dari esai tersebut adalah bahwa setiap wanita membutuhkan kamarnya sendiri — sesuatu yang dapat dengan mudah dinikmati oleh seorang pria. “Sebuah kamar pribadi akan memberi seorang wanita ruang dan waktu yang diperlukan untuk menulis tanpa gangguan,” sabda Woolf. Ia memakai metafora “ruangan” sebagai simbolisasi untuk mewakili masalah-masalah yang lebih besar, seperti privasi, waktu luang, kemandirian finansial, dan hak-hak lainnya. A Room of One’s Own ditulis pada tahun 1929, masa di mana perempuan masih dipandang sebagai warga kelas dua, tak punya kedaulatan untuk bekerja di luar rumah, mengenyam pendidikan, menulis fiksi, dan hak-hak lainnya tak seperti laki-laki. Dan yang sangat disayangkan, esai tersebut masih saja relevan hingga masa kini, nan dirasakan juga oleh Macabéa.
Seribu-lebih kata yang telah saya tulis di atas pun tak bisa merangkum isi dan maksud novel yang tebalnya cuma setipis dompet saya ini. Seratus dua puluh-halaman yang penuh dengan pertanyaan & aforisme filosofis tentang kepenulisan, penindasan, penderitaan, toxic machismo, dan apa artinya menjadi manusia. Juga sedikit tentang pengalaman pribadi dari Clarice Lispector sendiri. Dia bilang bahwa inti dari cerita dari novela ini adalah tentang “Hancurnya kepolosan, tentang kesengsaraan tak bernama.”
Sebenarnya membaca resensi ini agak sia-sia. Kamu harus membaca sendiri The Hour of the Star untuk mendapatkan pengalaman unik dan pengertian secara mendalam dari cerita yang dikandungnya. Jika kamu suka gaya narasi Joyce yang bermain-main dengan kata, absurditas tak berujung ciptaan Kafka, dan menyukai penulis dengan semangat feminisme seperti Woolf, kamu akan menyukainya. Ah, sepertinya pernyataan di atas perlu saya ralat: “Lispector mempunyai, sama dengan Borges dalam fiksinya, kemampuan untuk menulis seolah-olah tidak ada yang pernah menulis tentang hal tersebut sebelumnya, seolah-olah orisinalitas dan kesegaran karya itu tiba di dunia kita dengan sangat tidak terduga.” tutur Colm Tóibín, di kata pengantar dari edisi yang kubaca. Dan kurang lebih, saya setuju dengannya.