Kota Setelah Aleppo


TELUNJUK Ramadan kukuh mengekori jejak seekor gagak ditelan kabut asap yang mempercepat petang sore itu. Dia tuding kaki langit jauh. Ketika Ali bilang ke mana mereka akan pergi setelah meninggalkan Aleppo. Betapa mungkin angan-angan tentang kota yang nantinya mereka tinggali telah berbaur cerita-cerita ibunya belakangan ini. Ibunya sudah bercerita banyak mengenai kepindahan mereka. Kepergian mereka sisa menghitung hari. Itu sudah digariskan sejak buaian, kata ibunya lagi, telah mereka genggam bahkan sebelum mereka dilahirkan sembilan tahun lalu di kota ini.

Inilah saat-saat terakhir mereka di sini.

***

Mereka baru saja bangun dan lekas terlibat cekcok. Ali bersungut-sungut sambil menyeka keringat beranjak ke sisi jendela. Kesal karena mimpinya barusan dianggap sepele. Tentu saja dia kerasan membela pendiriannya, bukan bunga tidur yang biasa. Mimpi itu, apabila diibaratkan, membawa dia ke negeri atas awan sebelum jatuh terhempas bagai Yusuf dibuang oleh saudara-saudaranya ke dasar sumur yang gelap. Kejadiannya kurang lebih sejam silam. Saat Ali ketiduran tatkala membaca novel usang yang dia dapat setelah tanpa sengaja membunuh seekor capung. Pendek kata, dia bergegas keluar kamar. Ali Berlari-lari kecil agar tak mengganggu tidur Ramadan, mendadak langkahnya terhenti di depan rak-rak buku lantaran dicegah seekor capung. Selembar buku pun Ali raih untuk mengusir pengganggu itu, tanpa maksud melukai akhirnya capung tersambar dengan cukup keras, jatuh tergeletak di atas karpet kemudian dia pungut untuk dibawanya ke kamar.

Jasad capung dia taruh di samping novel usang yang berdebu lalu menerka-nerka. “Kau tak bermaksud mengganggu, bukan?”

 “Mau bermain bersamaku, yah?” Dugaannya bisa jadi benar akan tetapi sudah terlambat.

Dia juga bilang, “Kawanku yang baik, hiduplah lagi!” Sayap-sayap capung yang malang tergetar sejenak dan permintaan Ali yang lugu sama sekali tidak menyelamatkannya dari kematian. Namun, itu juga berlangsung serba singkat. Segera saja Ali lupa kejahatannya sewaktu buku yang dipakainya membunuh mengalihkan perhatiannya. Sambil menggeser kursinya lebih rapat ke meja dia seka selubung debu menebal di sampul buku. Ali bersin-bersin dibuatnya. Dan kedua kaki depan kursinya berada di bawah meja sekarang. Merasa nyaman dengan posisinya saat ini dia pun mulai membaca. Hingga huruf-huruf di depannya perlahan kabur, kantuk menyerangnya begitu cepat sebelum sempat dia rampungkan satu halaman. Mata Ali sayup. Kepalanya terayun-ayun dan tak lama berselang terhuyung menimpa buku. Itulah saat seberkas demi seberkas mimpi tersebut datang menyelinap dalam tidurnya. Jauh terdampar ke sebuah negeri masa lalu di tengah gurun.

Para penduduk berjejal di pintu gerbang kota menyambut kedatangan Ali. Seperti pengakuannya demi meyakinkan Ramadan, satu-satunya yang dia kenali hanya wajahnya seorang. Dan bagian ini terkesan mengada-ada, Ramadan terperangah setengah tak percaya, orang-orang menyebutnya tamu dari masa depan dan dia sudah dinanti-nanti sejak lama. Pantas mendapat pelayanan istimewa terlebih setelah memperkenalkan diri: Saya anak kebanggaan Tanah Haleb. Diantara momen yang dia jumpai di sana, dengan kata-kata yang takjub Ali ilustrasikan suasana taman kota yang indah. Pepohonan hijau. Bunga-bunga bermekaran dengan seribu warna. Angkasa yang cerah dan lapang menggambarkan seluruh kebahagiaan di musim semi yang pendek. Itu membuatnya serasa berada di kota impian. Sebelum akhirnya mimpi itu menjelma musibah yang tak kalah tragis.

Sewaktu dia nikmati suasana kota yang tenang, duduk di bawah pohon palmyra yang rindang angin menerpa tubuhnya seakan berhembus dari pantai-pantai di surga. Ramadan muncul membawa setangkai bunga yasmin. Sebelum dia serahkan, diangkatnya ke udara sekilas kelopak-kelopaknya yang putih bersinar meredupkan cahaya matahari. Ini untuk ibu di rumah, katanya, lalu merangsek duduk di samping Ali. Mereka pun larut bercengkerama sampai pada saat kegaduhan terdengar di alun-alun kota. Disusul bunyi terompet menyebar kabar genting ke seluruh penduduk. Teror telah melanda kota. Kini, pelakunya adalah serbuan kuda-kuda perang. Dan hari yang baik baru saja berakhir karena perang tetap saja kejam meski kejadiannya hanya di dalam mimpi.

Kegaduhan itu lama-lama makin jelas dan terus mendesak ke arah mereka. Ketika hampir mencapai mereka di bawah sana salah seorang lantang berteriak, “Hai, tamu dari masa depan! Lindungi kota ini!” Disambut senggakan yang nyaris padu dan berulang-ulang, “Lindungi kami!” Suara pertama yang tadinya tenggelam kembali meninggi. “Beri kami senjata yang kalian pakai berperang di dunia yang baru!” Kebanggaan Ali seketika runtuh tanpa sisa-sisa.

Dia tarik tangan Ramadan lalu mereka berdua berlari menerobos padang gurun. Kenyataan pahit pun tak lagi bisa tertutupi sekarang, bahwa mereka hanyalah anak-anak yang lari dari perang dengan sebuah keyakinan, apabila saat itu harus mati memang ajal lah satu-satunya tempat pelarian terbaik. Dan di tengah pelarian bunga yang Ali bawa terlempar dari genggamannya. Jatuh di atas pasir lalu dari tempat bunga terbuang kilau cahaya berpendaran. Sesuatu yang ajaib telah mencegah langkah mereka. Awalnya, seperti kelopak-kelopak bunga raksasa dan kali ini sinarnya lebih terang dibanding saat Ramadan menyerahkan padanya di dekat pohon tadi. Ali intip dari sela-sela jemari. Dia pastikan itu bukan kelopak bunga, lalu tampaklah sayap-sayap yang teramat besar. Tiap kibasnya melampai berkas-berkas cahaya berhamburan. Dia ralat dugaan sebelumnya, menurutnya, itu malaikat maut dan  inilah saatnya dia bekerja. Saat itu pula seorang penunggang kuda perang mengayunkan sebilah pedang menyasar punggung Ali dan Ramadan. Tetapi sosok dari dalam cahaya itu lebih dulu menyambar mereka kemudian dibawa terbang setinggi awan-awan.

Ali tidak ingat jelas kejadian di atas sana, atau sosok yang sebenarnya yang telah menolong mereka. Namun, yang pastinya setelah berada di ketinggian tanpa sebab yang harus dijelaskan mereka berdua akhirnya terjatuh. Dia berteriak keras melihat dirinya melayang-layang di angkasa, hampir berbarengan teriakan Ramadan dari atas ranjang.

Mereka terbangun di sore itu.

***

Ramadan bangkit dari ranjang, menyusul ke sisi jendela.

“Tapi bukankah mimpi seperti itu lumrah terjadi?”

Ali bergeser memberi ruang untuknya lalu membantah, “Tidak! Yang ini beda!”

“Maksudnya?” Ramadan meragukan mimpinya

Menurutnya beberapa orang bisa saja mengalami kejadian serupa. Lebih-lebih hanya sebatas mimpi, imbuhnya. Tentu saja Ali tidak senang mendengar alasan itu. Kejadian yang rinci dalam mimpinya adalah senonoh menyebutnya hal awam semata. Ini pertanda perdebatan akan berlarut-larut dan seperti biasa, akan menjurus kepada kota impian yang akhir-akhir ini makin sering saja mereka bicarakan. Sementara di depan mata, Aleppo perlahan-lahan hilang dari dunia mereka sekarang. Tiap benda menentang pandangan mereka tampak asing, tak satu pun luput seolah mereka tak akan melihat semuanya keesokan hari.

Hingga kehadiran seekor gagak di seberang jalan yang kian lengang menyela perbincangan mereka sore itu. Bertengger dari pelepah ke pelepah pohon palem lain. Melompat ke atap-atap rumah sebelum terbang tinggi menirus di ujung kaki langit jauh.

Ali tidak begitu peduli pertunjukan itu, dia lanjutkan pertanyaannya yang tertunda.

“Jadi, menurutmu, kita akan pindah ke mana?”

Ramadan kira di mana burung itu? Jawabannya pun sebatas isyarat. Telunjuknya kukuh mengekori jejak gagak tenggelam di kejauhan. Sehingga Ali bukan saja menyikut lengannya tetapi juga mencibir agar dia segera berhenti mengada-ngada. Keadaan bertambah parah dan di waktu-waktu yang payah itu seharusnya Ramadan mengabaikannya saja. Namun, dia lelah perang mulut sejak tadi, lekas menyudahi perdebatan. Dia ajak Ali untuk bercerita kepada ibunya. Untuk meminta penjelasan atas kejadian-kejadian yang telah mereka alami berdua. Sebaiknya cerita ini dimulai dengan pengakuan Ali membunuh seekor capung, usulnya. Buku yang usang lalu mimpi itu. Terakhir, barulah gagak yang misterius. Ali setuju. Mereka tutup jendela rapat-rapat lalu beranjak dari kamar, berlarian menemui ibunya.

Menyadari kedatangan mereka ibunya tampak tenang-tenang saja. Sekali lagi dia  menghubungi seseorang di luar sana tetapi tidak juga dapat tembus. Hampir saja Ali angkat suara, untung dia menoleh ke arah Ramadan. Telunjuknya tegak merapat di kedua bibirnya yang terkatup. Sebuah isyarat yang lain, Sabarlah, saudaraku! Maksudnya. Tidak perlu terburu-buru, pikir Ramadan, alangkah lebih baik mereka bercerita saat ayahnya sudah di rumah.

Ramadan teringat percakapan ibu dan ayahnya tempo hari. Ayahnya harus sibuk mengurus berkas-berkas kepindahan mereka. Kalau urusan visa sudah rampung kita segera pergi, pesan ini membuat dia yakin, ayahnya akan balik ke rumah untuk membawa mereka ke kota impian. Karena hanya dengan visa (kuningan tipis berbentuk kunci tertempel di dalam buku kecil yang ajaib) kata ayahnya, mereka bisa tinggal di sana. Mengenai gambaran visa itu dia sesuaikan dengan keterangan ibunya sewaktu bertanya, visa itu untuk apa, Mama? Jawaban ibunya ringkas, tanpa visa pintu mereka tidak akan terbuka!

Sementara Ali menarik-narik ujung jilbab ibunya yang menjuntai ke lantai demi mencuri-curi perhatian. Dia memikirkan sesuatu, bukannya abai atau acuh atas isyarat Ramadan, melainkan agar suasana tidak menjadi setegang sekarang. Dia pun akhirnya berseloroh.

“Ke mana kita akan pergi, Mama?”

Belum sempat ibunya menjawab Ali mendesak.

“Apa benar di sana tak ada perang, Mama?” Ibunya tak punya jawaban

Dia letakkan telepon genggam lalu merangkul kedua anaknya. Mereka rasakan dekapan yang hangat seperti biasanya, tanpa sanggup berkata-kata selagi memeluk ibunya. Akan tetapi seorang ibu tahu perasaan anak-anaknya bukan? Baik yang telah mereka utarakan maupun yang belum sempat mereka ungkapkan.

***

Ketika beranjak tidur mereka sudah punya beberapa jawaban akan tetapi itupun belum mereka mengerti sepenuhnya. Untuk setiap peristiwa yang mereka alami dan peristiwa di balik jendela kamar yang sesekali berderik diterpa angin. Terlampau pelik bagi mereka untuk paham, dunia macam apa yang mereka hidupi. Dan ini makin suram selama tahun-tahun perang panjang melanda Aleppo. Jika menyadari kejadian saat ini, yang mereka sayangkan bahwa sepasang sepatu baru sebagai hadiah ulang tahun mereka yang kesepuluh bulan depan sudah sirna. Padahal ayahnya sudah janji akan mengajak mereka ke Khan al-Harir, di sana mereka bebas memilih sepatu kesukaan. Itu juga telah mereka lupakan. Mereka akan pergi dan ayahnya belum juga kembali.

Sebelum terlelap percakapan mereka pun memecah hening di dalam kegelapan malam yang panjang.

“Ayah di mana sekarang?”

“Tak perlu risau, Ali!”

“Ayah meninggalkan kita, bukan?”

“Tidurlah!” Timpal Ramadan sambil mengutip nasehat ibunya, “serahkan semua kepada Allah!”

Pertanyaan berikutnya terpaksa Ali batalkan. Mulai merasa sedikit lebih tenang. Mula-mula dia pejamkan mata akan tetapi keadaan itu lama-lama membuatnya merasa tersiksa.

“Kamu sudah tidur, yah?” Dengan suara yang gelisah, menyangka Ramadan lenyap dalam tidur

Tak tahan dibiarkan terjaga seorang diri dia segera bangkit. Tanpa Ali sadari, Ramadan melihatnya bangun dan mengendap-endap, dia juga belum bisa tidur sedini itu.

Setelah menyalakan lampu Ali segera duduk dan meraih buku usang yang tergeletak di atas meja. Waktu dia buka didapatinya bekas keringatnya mengering nyaris sehalaman tampak begitu mencolok sewarna dengan padang pasir yang lembap. Baunya apek dan selebihnya tak terpikirkan, seakan digenangi darah korban perang dalam mimpinya. Namun, dia tetap melanjutkan untuk membaca. Pengalaman telah menginspirasinya bahwa untuk bisa tidur dia harus membaca buku terlebih dahulu. Sehingga kali ini dia lebih cermat dan mengulangnya dari awal, Al-Jasr: Jembatan—penghubung cerita-cerita di dalam novel juga dirinya dengan mimpi tadi sore.

Singkatnya, ketika larut dalam bacaan tiba-tiba lampu padam dan sontak saja Ali berteriak histeris. Terdengar tawa yang eksentrik di belakangnya, tak sanggup menahan geli berhasil membuat dia terkejut. Tetapi dia diamkan. Tak mau ambil pusing dengan kelakuan Ramadan. Ali cukup mengacuhkannya sehingga sikapnya itu membuat Ramadan kikuk dan merasa bersalah. Bicaranya kaku terbata-bata mengajak Ali kembali ke tempat tidur. Nanti, ketika dia rasa usahanya tak membuahkan hasil padahal telah menuntaskan lima halaman dia kemudian menyusul Ramadan.

Dia berdoa lalu berusaha untuk tidur tetapi makin Ali paksa bayang-bayang peristiwa justru tambah menyiksa dirinya. Mirip sekuel-sekuel film yang acak tersiar dan berganti-ganti di balik pejaman matanya. Hingga tak lama setelah apa saja yang terlintas, bukan hanya seekor burung gagak, segala sesuatu beterbangan di udara diiringi dentuman guruh menggelegar. Ali genggam tangan Ramadan, tatapannya menembus langit-langit kamar dan dunia perlahan-lahan tenggelam dalam tidurnya. Mereka pulas terlelap tanpa dikejutkan oleh kilat disertai guruh bersahut-sahutan di luar jendela. Kendati malam itu, pada faktanya, tidak setetes pun rintik hujan turun membasahi Aleppo.

Sekarang semua tampak nyata ketimbang yang pernah mereka bayangkan. Sebelum mereka beranjak tidur ibunya bicara sekenanya tentang kota setelah Aleppo, dia bilang: Di sana, hanya ada kedamaian dan taman untuk mereka bermain seindah kebun-kebun di surga.

Kattameah-Kairo Gadidah: 2016-2019





Bagikan:

Penulis →

Ben Amnoor

lahir di Bone, Sulawesi Selatan. Kegiatan menulisnya terasah sewaktu menempuh pendidikan di Universitas al-Azhar, Kairo. Sempat aktif di buletin almamater Ikatan Alumni Darud Da’wah wal Irsyad (IADI) Mesir dan media Wawasan Kerukunan Keluarga Sulawesi (KKS) Mesir. Sekarang menetap di tanah kelahirannya dan mengabdikan diri untuk almamaternya, di Ponpes Modern Al-Junaidiyah Biru-Bone.

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *