Kematian Kedua

“Melupakan adalah bentuk lain dari kematian” (Milan Kundera)

Saat itu kekasihmu bertanya tentang cinta padamu, kamu hanya bisa memandang matanya yang berbinar sambil menghela napas panjang cahaya matanya seperti mengisyaratkan semacam rasa harap, seperti ingin mengatakan “aku akan mendengarkan omong kosongmu tentang cinta yang sebenarnya dengan seksama dan setia”. Kamu makin membuang napas panjang dengan wajah malas, tapi ia malah tertawa. Kamu melihat raut wajahnya memancarkan ketulusan yang begitu lembut. Kamu tersenyum, lalu ikut tertawa dan menggengam tangannya dengan rasa debar, dengan gemetar.

Hujan mulai turun dan kamu berkata pada kekasihmu sambil melihat hujan mengibaskan tetesannya yang tipis di halaman pertokoan tepi jalan dan di halte tempat kalian berteduh bersama para pejalan. Tempias hujan sedikit menyentuh kulit wajah kekasihmu yang merona “Lihatlah, hujan yang turun menemani siapa saja, membasahi tanah agar mampu menumbuhkan tanaman, memberi minuman kepada hewan-hewan, ia mengaliri sungai kering dan dangkal, ia juga memberi hidup pada manusia baik atau buruk, yang kelewat nabi atau brengsek dan busuk. Ia tidak pernah membeda-bedakan, yang beragama atau tak beragama sekalipun, semua sama saja baginya. Meskipun manusia seringkali saling menumpahkan darah, hujan tak pernah letih membersihkan anyir dan dendam yang tertinggal. Manusia yang berak dan kecing sembarangan pun hujan akan membersihkannya” katamu pada kekasihmu. Mata kekasihmu jadi berbinar memperhatikan ceritamu tentang cinta yang sebenarnya. Ia memperhatikanmu dengan seksama dan dengan penuh ketulusan yang begitu lembut.

 “Bukankah alam ini juga bermula dari air yang dibawa oleh hujan? Tubuh kita pun sama, sebagian besar bukankah mengandung air. Tanpa  hujan segalanya hanya akan menjadi kerontang, ranggas, kering, gersang, malapetaka, kematian, terbakar, kehausan, ketololan, sebagaimana segalanya jika tanpa cinta bukan?”

“Jadi?”

“Jadi hujan adalah cinta yang sebenarnya itu. Karena ia bisa jatuh menyentuh siapa saja, menyentuh apa saja,”  katamu.

“Saat melihat hujan, bukankah kamu begitu riang gembira? Tanpa ragu kamu masuk kepadanya. Hujan juga menyentuh seng dan genting, tengok pula saat ia menyentuh dahan, ranting, dan orang-orang yang berlari menghindar, menyentuh mereka yang berteduh sambil menaikkan rok dan celana. Ia juga membasahi jalan setapak, rel tua yang terbengkalai, gedung-gedung yang menantang langit, pohon-pohon ranggas dan kebun tak terurus, menjadi basah tak terkira, basah oleh cinta yang sebenarnya,” katamu meyakinkan kekasihmu sekali lagi.

Sebenarnya kekasihmu akan tetap percaya  jika saja hujan itu tidak reda beberapa jam kemudian. Setelah hujan perlahan melambat, menjadi ritmis tipis yang tercekat, grimis. Tinggal tersisa jejak basah, jejak segar yang gemetar. Burung-burung yang berteduh kini kembali muncul bertengger di kabel-kabel listrik yang berembun.

Dari halte tempat kalian berteduh, kekasihmu melihat sisa genangan air hujan di jalan dan trotoar. Ia mengulurkan tangannya ke langit, memastikan apakah jejak hujan masih ada. Namun mendadak, kekasihmu jadi ragu “Mengapa yang berteduh tak tersentuh, yang menghindar tak terkejar? Bukankah cinta yang sebenarnya tidak seharusnya dibatasi oleh musim dan dirinya sendiri? Bukankah cinta seharusnya juga menyentuh yang berteduh dan mengejar yang menghindar?” kata kekasihmu bertanya padamu dengan penuh keingintahuan tentang cinta. Lamat-lamat kekasihmu melihat di kejauhan, ada pelangi. Sesuatu kemudian lurus menembus awan dan menyentuh pipi kekasihmu. “Bukankah dia cinta yang sebenar-benarnya?” kata kekasihmu sambil tersenyum dan menunjuk seberkas cahaya dari langit yang menyentuh pipinya.

 “Dia menciptakan pelangi setelah hujan, menyinari benda-benda dan alam semesta, sehingga kita dapat melihatnya, bisa melihat yang indah dan melukai. Dia menyinari bumi tanpa pamrih tanpa pernah menuntut kehangatan yang sama, ia menyelamatkan bumi dari kedinginan. Dia membakar uap air agar menjadi awan. Dia tidak dibatasi ruang, dan bisa menembus segala riang. Ia selalu menyinari dunia.  Cahaya tak pernah pilih kasih, ia juga sekarang sedikit menghangatkan jemari kita yang dingin sehabis diguyur hujan bukan?” kata kekasihmu sambil tersenyum dan menggenggam tanganmu makin erat. Lalu menuntunmu berjalan ke tempat di mana pertama kalinya kalian berjumpa.

”Mereka yang berteduh akan tetap tersentuh dan mereka yang bersembunyi akan tetap ia sayangi. Dan hidup yang penuh dengan kehangatan hanya akan terjadi ketika cahaya berada di sini. Jadi bukankah cahaya adalah cinta yang sebenarnya? Karena cinta yang sebenarnya bukan hanya menyentuh apa-apa yang dapat ia sentuh, tetapi juga apa-apa yang tak dapat ia sentuh, pada yang mencintai dan pada yang menjauhi, cahaya memberikan kehangatan yang sama pada apa saja, pada siapa saja” ia menyangga pendapatmu dengan kehalusan dan ketulusan yang tetap sama. Entah mengapa kamu makin mencintainya di tiap detik percakapan dua perasaan.

 “Kita bisa saja sewot dan marah-marah dengan terik panasnya di jalanan, tapi pada akhirnya ia juga yang mengeringkan jemuran di belakang rumah. Ia sibuk mengeringkan yang sebelumnya basah, menghangatkan yang sebelumnya dingin dan kesepian. Ia membangkitkan hari ceria dengan cinta. Ia menyepuh daun, embun, masuk lewat celah rumah tanpa permisi, menerangi benda yang jatuh, dan membelaimu dengan begitu lembut dan mesra saat  kamu tidur sebelum kemudian terjaga,” kekasihmu menyelesaikan penjelasannya.

Kalian makin jauh berjalan menjauhi halte setelah hujan reda, sambil tetap bergandengan tangan. Hari tiba-tiba saja sudah menjadi petang. Kamu jadi mulai curiga dengan penjelasan kekasihmu, tapi kamu tidak mengungkapkannya, seperti ada ruang tersembunyi. Kamu mulai berpikir apakah cinta yang sebenarnya terbatas waktu? Terbatas kesempatan? Meninggalkan kasih tiruan berupa lampu bohlam atau petromax, lilin, atau lampu minyak. Sementara dia sendiri pergi atau bersembunyi? Kamu memejamkan mata menarik napas yang dalam.

Kamu telah sampai di tempat pertama kali kalian bertemu, di sebuah taman yang hanya berbunga pada musim yang sama. Kamu masih menggandeng tangan kekasihmu, melewati sisa genangan hujan dan memintanya duduk di sebuah bangku taman yang dipenuhi dengan berbagai macam kembang yang hanya berbunga pada musim yang sama. Lalu kamu mengajukan pertanyaan yang sama pada dirimu sendiri yang  juga gamang: jadi, bagaimana cinta yang sebenarnya itu?

Kamu melihat bunga kamboja kuning rontok, lalu meninggalkan kekasihmu sebentar untuk memungut bunga kamboja kuning yang barusan rontok dari pohonnya di sekitar taman bunga itu. Kamu kembali ke bangku taman tempat kekasihmu masih duduk dan tersenyum, lalu kamu menyelipkan bunga kamboja kuning itu di atas telinga kekasihmu. Kekasihmu tersenyum lembut, saat kamu mengelus rambutnya dan akan menyentuh pipinya, tiba-tiba ada yang berhembus meniup rambutnya. Kamu tertegun diam, seperti menemukan sesuatu, kamu makin hening, dan mendengarkan gemerisik di sekitarmu: ranting di taman yang digoyangkan, hawa dingin yang ditiupkan, daun gugur yang diserakkan. Ada sesuatu yang berkesiur, sepoi angin yang berbisik. Kamu tersenyum, kekasihmu heran, ia bertanya mengapa kamu tersenyum.

 “Bukan hujan, bukan cahaya, dialah cinta yang sebenarnya. Lihat bagaimana caranya menempati ruang, bagaimana caranya menemani waktu, bagaimana ia menghidupi seluruh mahluk. Kita selalu membutuhkannya, bahkan tiap detik dari hidup kita tanpa kita sadari” katamu bagaikan seorang penyair yang baru saja menemukan puisi.

Kekasihmu diam sejenak, terhenyak tak mengerti. Kuncup bunga sedap malam yang berada di taman melambai, dan angin kini iseng sendiri merontokkan bunga-bunga. “Ia adalah udara, dialah cinta yang sebenar-benarnya. Tidak terbatas identitas, tidak terbatas suku, tidak terbatas adat, tidak terbatas budaya, tidak terbatas agama, pokoknya tidak terbatas, selain pada batasnya sendiri.” Katamu sekali lagi

Tiba-tiba mata kekasihmu makin berbinar, ia bersorak bersama riuh suara daun yang berguguran dari ranting di taman. Ia mencoba memelukmu erat, namun sia-sia, ia hanya memeluk dirinya sendiri. Tiba-tiba ada sesuatu yang kosong menyekap dan perasaan menyakitkan yang pedih membetot hatinya, seperti barusan ada yang diambil dari dirinya, dari hidupnya. Saat ia melihat cincin dengan berlian kecil melingkar di jari manisnya.

“Apakah yang terkubur, dan tak lagi bernapas, tidak akan pernah lagi tersentuh oleh udara? Tak pernah tersentuh lagi oleh cinta?” Belum selesai kekasihmu bertanya, ia menangis sejadi-jadinya. Kesadarannya mulai kembali dan menyatu dengan realitas hidup yang baginya begitu pedih, ada sesuatu yang tercerabut dari dirinya selama ini. Kamu.

Kamu sebenarnya masih ingin duduk di sampingnya dan melanjutkan cerita perihal cinta yang sebenarnya, kamu juga ingin mengusap air mata yang mengalir di pipinya, mencoba mengelus punggungnya dengan lembut, seperti kelembutan belaian seorang ibu. Namun kamu tak bisa. Kamu adalah bayangan, kamu paham bahwa dirimu sebenarnya telah mati. Semua yang terjadi dari awal hingga kini adalah kelindan  ingatanmu dan kekasihmu yang masih tersisa, sebelum kemudian benar-benar hilang, itulah yang biasa kamu menyebutnya dengan ingatan kenangan. Ia masih menangis sambil mendekap cincin dengan berlian bulat kecil  yang dulu sekali kamu pakaikan di jari manisnya.

Kamu bergumam pada dirimu sendiri yang sebentar lagi benar-benar akan menghilang tak berbekas dan tanpa meninggalkan jejak “Aku tak takut dengan kematian, itu hal yang lumrah dialami oleh tiap-tiap yang bernapas. Yang paling aku takutkan sesungguhnya adalah kematian kedua, yaitu jenis kematian karena dilupakan oleh orang-orang yang masih hidup, apalagi dilupakan oleh orang yang paling aku sayangi,” katamu.

Lalu kamu perlahan lekas menjadi pudar, menghilang, diiringi sepoi angin dan isak tangis kekasihmu yang begitu perih, begitu pedih. Kamu masih sempat menyaksikannya, ia masih duduk di bangku taman yang dipenuhi bunga-bunga yang selalu bermekaran pada musim yang sama.  Ia menangis berlinang air mata sambil memeluk dirinya sendiri dan mendekap cincin yang melingkar di jari manisnya “melupakan adalah bentuk lain dari kematian,” katanya menggumam, sambil masih tetap memeluk dirinya sendiri, memeluk kekosongan, memeluk kenangan, memeluk kehilangan.

Purbadana, 2021

*Cerpen ini terinspirasi dari Karya Eko Triono, Omong Kosong Tentang Cinta, & Kata-kata Milan Kundera.




Bagikan:

Penulis →

Juli Prasetya

Penulis puisi, esai, dan cerpen. Sekarang sedang berproses di Bengkel Idiotlogis asuhan Cepung. Kini ia bermukim di Desa Purbadana, Kembaran, Banyumas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *