“BOLEH aku berhenti jadi wartawan?” tanya Suryo pada Dewanti, istrinya. “Aku ingin ikuti jejak Sadewa.”
Bimbang, tak menjawab permintaan suaminya, Dewanti terus menyirami bunga-bunga anggrek yang bermekaran. Tiap pagi ia berada di antara bunga-bunga anggrek yang terus-menerus dibelinya dari Pak Jo, pemilik kebun anggrek berumur 50, yang dianggap orang pintar, senantiasa menyediakan bunga-bunga anggrek baru.
Masih terus menyiram bunga-bunga anggrek, Dewanti tak menanggapi suaminya. Ia tak pernah menduga, suaminya akan mudah goyah pendirian, terpengaruh Sadewa, yang pandai bergaul dan banyak memiliki sahabat para pejabat. Sadewa juga memiliki kafe, yang dikelola istrinya.
“Lalu, kamu mau kerja apa?” tanya Dewanti pada Suryo. Mereka pengantin baru, belum dikaruniai anak.
“Aku dibujuk untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Siapa tahu kita beruntung,” tukas Suryo.
“Kenapa harus mengikuti jejak Sadewa?” Dewanti menggugat suaminya. Tertawa. Menertawakan Sadewa, mantan wartawan, 30 tahun, tampan, masih menawan.
Rumah Sadewa tak terlalu jauh dari rumah Dewanti. Rumah itu berada di sudut gang. Sebuah rumah yang megah, besar, luas, bertaman, dengan dua mobil dan dua orang pembantu.
Sadewa mengendarai mobilnya melewati gang, pelan melintasi depan pelataran rumah Dewanti. Menghentikan mobilnya sesaat.
“Ayo, segera putuskan! Ikuti aku!” seru Sadewa pada Suryo. Ia segera berpaling. Memacu mobilnya meninggalkan gang. Sama sekali tak menegur Dewanti.
“Jangan ikuti perbuatan Sadewa. Ia terlalu banyak bermimpi,” kata Dewanti. “Tiap orang memiliki nasibnya sendiri.”
“Meski hidupku cuma seperti ini?” tanya Suryo.
“Jalani saja.”
Dewanti tak berpaling pada suami di sebelahnya. Ia seperti bicara dengan bunga-bunga anggrek: segar, berayun-ayun disiram air, tertimpa cahaya matahari pagi, dan kupu-kupu kuning hinggap di atasnya.
***
MENJELANG sore Dewanti bertemu Sadewa di kebun anggrek Pak Jo. Pohon-pohon anggrek itu berjajar di rak bunga, bergelantungan di pepohonan, terawat, dan berayun-ayun dihembus angin sawah yang menebar harum padi. Rumah dan kebun anggrek Pak Jo berada di antara sawah-sawah yang menghampar. Orang-orang berkunjung ke kebun Pak Jo untuk membeli bunga-bunga anggrek. Beberapa orang datang pada lelaki berblangkon, berpakaian lurik dan celana komprang hitam itu untuk urusan peruntungan nasib, kekayaan, jabatan, jodoh, dan keselamatan hidup. Kini Dewanti bertemu Sadewa di kebun Pak Jo, tentu bukan untuk membeli bunga-bunga anggrek yang banyak ditawar para wanita dan ibu muda.
Sadewa keluar dari pendapa rumah Pak Jo, dengan wajah yang penuh harap, dengan mata yang ingin merampas dunia: semua orang tunduk akan kemauannya. Gugup sesaat, Sadewa segera menguasai diri, ketika berpapasan dengan Dewanti. Lelaki tampan itu menyapa ramah Dewanti, dan meninggalkan kebun anggrek. Sama sekali tak ada bunga anggrek yang dibelinya.
“Ia minta dukunganku, ingin jadi wakil rakyat!” kata Pak Jo. “Saya dianggapnya sebagai orang pintar yang bisa mengabulkan permintaannya.”
“Apa dia akan beruntung?”
Tersenyum, memendam rahasia, Pak Jo menukas, “Dia rakus. Memakan apa saja yang diinginkannya. Apa orang semacam ini beruntung?”
***
DI sudut kebun bunga angrek Pak Jo, menjelang petang, Dewanti kembali mengamat-amati lima bunga anggrek emas kinabalu yang bergelantungan di dahan pohon jambu air. Bunga anggrek ini disemaikan Pak Jo semenjak berupa benih. Sepuluh tahun dirawat, bunga anggrek itu mekar. Dewanti terkesima. Belum pernah ia melihat bunga-bunga anggrek seindah itu. Ingin sekali ia membeli bunga anggrek itu, tetapi tak cukup punya uang untuk bisa membayarnya.
Termangu, memandangi bunga-bunga anggrek emas kinabalu, Dewanti seperti tak ingin beranjak. Ia mesti menunda keinginan untuk bisa membeli bunga anggrek itu.
“Bagaimana perilaku Sadewa sekarang?” tanya Pak Jo, yang tahu, Dewanti bertetangga dengan lelaki itu.
“Ia lagi mendekati banyak orang. Minta dukungan suara.”
“Kenapa ia begitu yakin akan memperoleh suara yang cukup?” Pak Jo seperti bertanya pada diri sendiri. “Terlalu bersemangat dia.”
Dewanti seperti tak mendengar kata-kata Pak Jo. Ia sibuk sendiri dengan gemuruh perasaannya yang penasaran terhadap bunga anggrek emas kinabalu. Dari berbagai sudut, ia foto bunga-bunga anggrek itu. Ia ingin lekas mencapai rumah. Melukis bunga-bunga anggrek itu.
Menjelang malam, di ruang lukis rumahnya, Dewanti mulai melukis bunga anggrek emas kinabalu. Ia merasakan keindahan warna, tekstur, dan kelembutan yang berbeda dengan bunga-bunga anggrek yang sudah dimilikinya. Dilukisnya dengan sangat teliti, dan tak sadar menjelang subuh, bunga anggrek emas kinabalu sempurna di kanvasnya.
***
MASIH terlalu pagi ketika Dewanti tengah merawat bunga-bunga anggrek, Sadewa menemui Suryo. Wajahnya letih. Tak sengaja Dewanti mendengar semua perbincangan dua sahabat dekat yang terjadi di ruang tamu. Sambil menyirami bunga-bunga anggrek itu Dewanti menyadap perbincangan mereka yang disampaikan dengan pelan-pelan.
“Aku diminta warga untuk membantu pembangunan balai RT,” kata Sadewa, tampak murung. Suaranya berat. “Dari wilayah lain, permintaan sumbangan terus mengalir. Aku sudah menguras tabungan, menjual sebidang tanah dan sebuah mobil.”
“Jangan terlalu memaksakan diri.”
“Aku tak dapat mengecewakan mereka. Akan kujual satu rumahku untuk menyumbang pembangunan balai RT kita.”
“Kau berlebihan.”
“Aku perlu dukungan suara.”
“Cari pendukung yang tak membuatmu bangkrut.”
“Tak ada dukungan yang gratis! Ini pertaruhan. Aku mesti menang. Tak boleh kalah,” kata Sadewa, saat berpamitan, meninggalkan ruang tamu. Dewanti pura-pura tak mendengar keluhan Sadewa, dan tak berani memandang wajah lelaki tampan itu saat berpamitan. Ia suntuk menyirami bunga-bunga anggrek.
***
SEPULANG dari kantor, sore hari, Dewanti singgah ke kebun anggrek Pak Jo. Lelaki lima puluh tahun yang selalu mengenakan blangkon itu sedang merawat bunga-bunga anggrek kesayangannya. Hanya beberapa orang mengunjungi kebun anggreknya. Dewanti pelan-pelan mendekati Pak Jo. Ia tak sekadar mengagumi bunga-bunga anggrek yang tertata di rak bunga dan bergelantungan di dahan pohon jambu air. Ada sesuatu yang ingin diketahuinya.Pak Jo sedang memupuk dan menyirami bunga-bunga anggrek. Tubuhnya segar, usai mandi.
“Bagaimana kabar Sadewa? Apa dia terpilih sebagai wakil rakyat?” tanya Dewanti, ingin tahu.
“Ia kurang suara. Kurang sedikit. Kenapa?”
“Ia kelihatan murung, kalau lewat di depan rumahku. Ia seperti marah pada tetangga yang tak memilihnya,” kata Dewanti, “di kampung sendiri, ia kurang mendapat dukungan.”
Pak Jo menyirami bunga-bunga anggrek, dan berhenti sejenak, memandangi Dewanti yang memilih bunga anggrek emas kinabalu yang sudah lama ingin dibelinya. Sepasang matanya bercahaya memandangi bunga anggrek emas kinabalu yang langka. Lelaki setengah baya itu seperti tak percaya Dewanti akan membeli bunga anggrek kesayangannya itu. Pak Jo tak menduga, bunga anggrek itu terjual. Sepuluh tahun ia merawatnya.
Kata Pak Jo, “Dia menganggap semua hal bisa dibeli dengan uang.”
“Pak Jo tidak menasihatinya?”
Dewanti menatap wajah Pak Jo yang memendam rasa sungkan, seperti menahan sesuatu yang mesti dikatakannya. Sepasang mata Pak Jo menyembunyikan perasaan sedih. Dewanti tak menduga ketika Pak Jo berkata, “Sudah kunasihati. Dia sangka semua hal akan bisa diraih dengan mudah. Dia mesti belajar dari bunga anggrek, keindahannya mekar dalam proses, kecintaan, dan kesabaran perawatan.”
***
Pandana Merdeka, November 2021
====================
S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes. Menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabaasi.
Kumpulan cerpen tunggalnya Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Novel yang telah diterbitkannya dalam bentuk buku adalah Tangis Rembulan di Hutan Berkabut (HO Publishing, 2009), Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen yang segera terbit adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).
Novelnya berjudul Percumbuan Topeng akan segera terbit.