Nubuat Seorang Pejalan Buta
Angin bertiup cukup menggerai daun-daun angsana
Di bahu jalan raya, matahari melubangi langit siang
Di atas ubun-ubun seorang buta yang berjalan di pedestrian.
Tongkat di genggamannya itu, kitab suci
Untuk meniti pejal liku-laku duniawi. Dan kau pun tertegun.
Kakimu terpasak ke kedalaman tanah, memandang seorang buta
Berjalan tabah bagai kesunyian mengalir di nadir puisi.
Meski sepasang mata itu hanya akrab mengeja gelap, cuma paham
Kepada hitam, tetapi ia seperti lincah membaca arah, dan fahim gelagat musim.
Mungkin ia juga piawai menebak ke mana ingsut awan berarak,
Serta fasih menyingkrih dari antuk batu jalanan.
Sebab di dadanya, barangkali, telah terpancang buluh damar bernyala terang
Cahaya yang tulus menuntun dan gelita pun sirap terbantun;
Garis tengah agar tak gegabah mengayun langkah; juga cahaya tajali
Menyibak yang kasat dan sembunyi — sekalipun di balik bilik paling sunyi.
Dan daunan pun gugur, jalanan terasa lengang, matahari
Mendadak layu, keriuhan seolah disapu waktu dari hidupmu.
Lalu, kauingin teriak lantang memaki diri sendiri,
Sebab kausadari kakimu kokoh, matamu awas melihat,
Mengapa kerap tersandung pada yang kasat?
Sedang dalam keheningan, kaudengar samar suara
Berkisik di balik daun telinga,
“Kau tak butuh sepasang mata untuk dapat menilik seisi surga;
Kau tak perlu sepasang kaki untuk dapat melesat ke sana!”
2020 – 2021
Dalam Sajak
1.
Dalam sajak ini, ada sepasang tangan penyair
yang kerap menggigir, saban hari
mengetik titik-titik air matanya sendiri.
Abjad-abjad seperti telah demikian hafal
pada garis sidik jarinya yang sepi; tombol spasi seperti
ingin menjeda kesedihan-kesedihan yang purba; batas antara
mengenang dan melupa, yang buatnya acap merasa alpa.
2.
Dalam sajak ini, ada sepasang mata penyair
yang matanya merah berair, semalam suntuk mengutuk kantuk,
menulis kata demi kata yang tak selamatkan apa-apa
— bahkan untuk sekadar cinta yang gagal.
Sepasang kelopak mata yang menghitam itu, kegelapan hidup
yang tabah ia rawat. Kantung mata yang melebam itu,
berasal dari amin atas doa-doa kecil yang kesepian dan menggigil
3.
Dalam sajak ini, ada sepasang telinga penyair, dihantui dengung
sumbang masa lalu: Suara-suara yang sering buatnya ragu
“Adakah sajak-sajak itu, bisa membawa yang lampau
kembali ke haribaan pelukku, sekali lagi?”
2021
Malam dalam Komposisi
1.
Pilau lampu-lampu kota,
masih mencoba
menerjemahkan cerlang
mata kekasihnya.
Udara gigil, musim yang labil,
merepih kantung kemih,
dan bulan yang limau
di langit pucat memutih.
2.
Di atas bangku tepi jalan,
di hadapan lalu lintas waktu,
ia hendak meraih sebungkus
mild di liang saku.
Tetapi ia malah merasa,
ada jemari yang hangat dan melumer
di genggamannya.
3.
Dan ia terkenang pada suatu malam
ketika untuk pertama kalinya,
ia ingin waktu berjalan lamban
atau ke arah selain masa depan.
Disulutnya kekalutan itu, dan
kesedihan mengepul ke udara.
Sedang air matanya, umpama segumpil
mentega yang meleleh di penggorengan.
2021
Scorpius
– kepada Sindy Novia
Apa kau tak pernah membayangkan,
sebuah rasi bintang scorpio
menampakkan diri di angkasa bumi kita?
Kau melihatnya dari jendela kamarmu, aku
mengintipnya dari halaman rumahku,
sepasang capitnya, mencengkau namamu & namaku.
Sedang ekornya menyengat masing-masing
dada kita, sehingga tahulah aku, rindu bekerja
bagai racun, membuat biru seluruh tubuhku.
Aku masih mengamatinya. Apakah kau pun?
Tanpa kita sadari, kita telah jadi sepasang penujum,
menerka sesuatu yang belum kita mafhum,
“Di hari apakah, nasib akan menjatuhkan
nama kita pada peruntungan yang sama?”
2021
Di Puncak Semadi
Di antara derai gerimis, malam yang makin sepi;
doaku mengalun ritmis di puncak semadi.
Kuselami jantung sunyi, kutemukan kau;
debar-debar yang perlahan menjelma pukau.
Doaku kini burung, terbang menerabas
deras hujan: menujumu, menujumkan rindu.
Dalam gigil, dalam geletar, sambutlah dengan dekap;
sebab perjamuan kita, kabut tebal yang urung tersingkap.
2021