Judul Buku : Beauvoir Melintas Abad Penulis : Ester Lianawati Penerbit : EA Books Cetakan : Pertama, Juli 2021 Tebal Buku : xiv + 418 halaman ISBN : 978-623-96940-4-3
USAI menyelesaikan buku non-fiksi Beauvoir Melintas Abad, saya berpikir bahwa karya Ester Lianawati ini sepertinya perlu dibaca oleh para remaja—baik remaja awal usia 11 – 14 tahun, remaja pertengahan usia 15 – 17 tahun, atau pun remaja akhir usia 18 – 21 tahun. Pada rentang usia tersebut manusia sedang senang dan bersemangat mengolah eksistensinya; dan sejumlah gagasan Beauvoir tentang eksistensialisme di dalamnya sangatlah menarik untuk dicerna oleh mereka.
Buku terbitan EA Books ini hadir dengan narasi yang mudah dicerna; ditambah hadirnya detail catatan kaki, membuat pembaca tak perlu menjeda pembacaan mereka hanya untuk mencari informasi tambahan di internet. Dua poin tersebut, bagi pembaca serius dengan referensi memunjung, mungkin akan terbaca boros dan berpotensi mengurangi bobot keseriusan sebuah buku biografi—karena segalanya dijelas-jelaskan dengan bahasa sederhana, sehingga kompleksitas narasi tidak kental. Akan tetapi, dari sudut pandang seorang pendidik, saya nyatakan buku ini tergolong ramah pembaca awam.
Selain tiga poin di atas, konsistensi Lianawati menulis keterangan judul buku, judul naskah drama, dan judul artikel karya Simone de Beauvoir dalam bahasa asli ialah tambahan poin yang juga menarik. Hal tersebut, bagi saya, merupakan sebuah penghormatan, sekaligus—sadar tak sadar—upaya mendekatkan diri dengan sang filsuf melalui bahasanya: bahasa Prancis.
Beranjak ke isi buku, begitu membaca daftar isi, kita akan tahu bahwa buku ini disusun secara kronologis usia Beauvoir. Terdapat tujuh bab yang di dalamnya muncul juga sub-bab; betapa detail! Dan, tentu saja, Bab 1 dimulai dengan cerita tentang kelahiran sang filsuf, bagaimana latar belakang keluarga dan posisi mereka di strata sosial masyarakat Paris, juga perbedaan metode asuh ayah dan ibunya terhadap dirinya dan saudara perempuannya, Hélène Bertrand de Beauvoir—yang kemudian dipanggil Poupette. Metode asuh ini pun ternyata, nantinya, menjadi titik balik kesadaran seorang Simone de Beauvoir dalam menyikapi dunia.
Demikian, kegelisahan atas identitas dan laku eksistensi diceritakan mulai dari Bab 2, dan semakin menggairahkan—dalam hal gejolak darah muda—beranjak ke Bab 3 yang membahas kegigihan Simone de Beauvoir untuk bersaing sekaligus menjalin persahabatan sejati dengan Zaza, salah satu sosok berpengaruh dalam hidupnya.
Beauvoir dan Zaza lahir dengan privilese kelas sosial, tapi posisi tersebut tak lantas membuat mereka terlena dan ikut arus gaya hidup kaum borjuis; alih-alih berusaha berenang melawan arus. Mendapati Zaza frustasi berhadapan dengan lingkungan yang memosisikan perempuan sebagai manusia serba dibatasi geraknya—baik gerak tubuh atau pun gerak pikiran, membuat Beauvoir bertanya-tanya perihal lingkungan tempatnya tumbuh.
Mengerucut ke perjalanan hidup Beauvoir di ruang intelektual, persaingan sengit pun tergambarkan dilakoni oleh Beauvoir secara mengagumkan. Ia, yang tidak mengalami kesulitan mengakses institusi pendidikan tinggi, berkegiatan di ruang redaksi media massa, serta ruang publik yang bersifat intelektual, sempat dianggap tak peka terhadap kondisi perempuan pada masa itu. Dalam buku ini, sikap-sikap Beauvoir atas itu dijelaskan secara runut. Tersurat terjelaskan bahwa—nantinya—roses berpikir seorang perempuan bukanlah hal di luar kenormalan; mereka hanya belum diberi kesempatan seluas yang diberikan kepada laki-laki.
Meski terbaca banal—sebab isu macam di atas sudah sering dibahas oleh banyak orang dewasa ini, kisahan Beauvoir terbilang berbeda. Ia mengalami pergeseran sikap meski nilai yang dijunjung tetaplah sama, malahan makin mengkristal. Salah satu dari pergeseran tersebut ialah pengakuan dirinya sebagai seorang feminis yang baru terjadi setelah ia menginjak usia paruh baya. Sebelumnya, bahkan, Beauvoir merupakan seorang yang dibenci banyak kelompok feminis kala itu.
Satu dari sekian banyak penyebab dirinya dibenci adalah prinsip hubungan asmara yang dijalinnya bersama Jean-Paul Sartre. Prinsip cinta esesial yang, hingga kini masih kontroversial/tabu karena tak kunjung “normal” di masyarakat, secara detail dibahas dalam buku ini. Hal tersebut, saya pikir, akan jadi kacamata yang menarik bagi para pembaca dalam memandang hubungan asmara. Bahwa di dunia ini, bahkan lebih dari seabad lalu, telah berkembang sebuah prinsip hubungan yang memegang teguh kebebasan individu.
Dalam buku ini, eksistensialisme Beauvoir dibahas tidak selesai sampai kematian sang filsuf saja. Sebaliknya, setelah Beauvoir wafat, sejumlah gagasannya semakin luas dibicarakan, diperdebatkan, sampai-sampai dipelintir hingga menghasilkan bias. Guna menguatkan kaitan peristiwa, tak jarang Lianawati menuliskan kembali informasi yang sebelumnya telah ada di bab awal. Sayangnya, menurut hemat saya, upaya tersebut terasa boros di beberapa bagian.
Sebagai penyuka gagasan Beauvoir, saya tentu akan bersemangat membaca bagian detail perjalanan sang filsuf dalam mengulik gagasan serta menyebarkan ilmu yang dimilikinya melalui praktik mengajar. Namun, saya tak begitu menikmati penjelasan—atau lebih tepatnya klarifiksi—perihal orientasi seksual Beauvoir. Poin tersebut sudah pasti tak dapat dipisahkan dari biografi karena memang itulah yang dijalani Beauvoir, dan porsinya yang cukup banyak bukanlah sebuah kelemahan objektif. Hanya saja, secara subjektif, saya kurang merasa penting hal tersebut mendapat porsi banyak.
Di sisi lain, saya cukup terpancing untuk ikut berasumsi ketika penulis menjabarkan sejumlah asumsinya perihal sikap-sikap tokoh lain terhadap Bauvoir, juga sikap kerabat sang filsuf terhadap karya dan gaya hidup yang dijalaninya.
Saya bayangkan, seandainya saya mengenal gagasan-gagasan Simone de Bauvoir sejak masih remaja, tentu sekarang saya sudah menuai berbagai keberanian untuk bergerak mewujudkan apa-apa yang terasa ideal bagi hidup saya. Kini, bila sedang berbincang dengan teman-teman perempuan sebaya, kami kerap merasa kecut sendiri sebab melalui hal serupa: takut dan tak punya panutan semasa remaja untuk terus menggali aktualisasi diri—yang kini kebanyakan tak terurus.
Oleh sebab itulah saya ingin buku ini dibaca oleh para remaja—laki-laki pun perempuan, agar mereka tahu bahwa perempuan yang mengejar eksistensi autentik bukanlah sikap melawan kondrat; juga laki-laki yang memandang perempuan sebagai manusia utuh nan setara—bukan sebagai makhluk kelas dua—bukanlah seorang pengecut/penakut.