Kematian Tetap Berada di Balik Cinta

SENATOR Oresimo Sanchez sudah enam bulan sebelas hari pergi sebelum kematiannya ketika dia menemukan wanita di dalam hidupnya. Dia bersua dengannya di Rosal del Virrey, sebuah desa buatan yang pada malam hari merupakan dermaga tersembunyi untuk kapal-kapal penyelundup; dan pada sisi lain, dalam cahaya siang yang luas tampak seperti teluk kecil di gurun pasir yang sangat tak berguna, menghadapi sebentang laut yang membosankan dan tanpa arah dan sedemikian jauh dari segala sesuatu yang tak seorang pun ingin menduga bahwa seseorang mampu mengubah nasib siapapun yang bermukim di sana. Bahkan namanya adalah sejenis lelucon, karena satu-satunya bunga mawar di desa itu adalah yang dikenakan oleh senator Onesimo Sanchez sendiri pada sore yang sama saat dia berjumpa dengan Laura Farina.

Itu merupakan suatu perhentian yang tak terelakkan dalam kampanye pemilihan umum yang dia selenggarakan setiap empat tahun. Karnaval mobil stasion-wagon muncul di pagi hari. Lalu muncullah truk-truk bersama orang-orang Indian sewaan yang diangkuti memasuki kota demi memperbanyak kerumunan pada upacara-upacara publik. Tak lama sebelum pukul sebelas, bersama-sama dengan musik dan panah api serta jip-jip dari rombongan, kendaraan menteri, warna soda strawberi, muncul. Senator Oresimo Sanchez tenang dan tak terganggu cuaca di dalam mobil berpendingin udara, tapi segera sesudah dia membuka pintu dia dikejutkan oleh semburan api dan baju sutra tulennya basah kuyup di dalam sejenis sup berwarna terang dan dia merasa pada banyak tahun-tahun terdahulu dia lebih banyak sendiri daripada sebelumnya. Di dalam kehidupan nyata dia baru saja menginjak usia empat puluh dua, telah tamat dari Gottingen dengan kehormatan sebagai seorang penyair metalurgi, dan merupakan seorang pembaca yang keranjingan, meskipun tanpa banyak ganjaran, dari karya-karya sastra klasik Amerika Latin yang diterjemahkan dengan buruk. Dia menikah dengan seorang perempuan Jerman yang parasnya berseri-seri yang memberinya lima anak dan mereka semua berbahagia di rumahnya, dia yang paling bahagia di antara semua sampai mereka berkata padanya, tiga bulan sebelumnya, bahwa dia ingin mati untuk selama-lamanya pada Natal berikutnya.

Sementara persiapan-persiapan untuk rapat umum sudah lengkap, sang senator mengatur waktu agar memiliki satu jam untuk bersendiri di rumah yang mereka siapkan di samping untuknya beristirahat. Sebelum dia berbaring dia menaruh di dalam gelas minum air mawar yang dia jaga agar tetap hidup selama melintasi gurun pasir, makan siang dengan diet biji-bijian yang dia bawa bersamanya demi menghindari mengulang porsi kambing goreng yang sudah menanti untuknya selama rehat hari itu, dan membawa banyak pil analgesik sebelum waktu yang ditentukan agar dia memiliki obat sakit kepala. Lalu dia menempatkan kipas angin elektrik dekat dengan tempat tidur gantung dan berbaring telanjang selama lima belas menit dalam bayangan mawar itu, melakukan upaya keras pada distraksi mental agar tidak berpikir tentang kematian selagi dia tidur nyenyak. Kecuali bagi para dokter, tak seorang pun tahu bahwa ia pernah dihukum untuk suatu masa tertentu, karena dia telah memutuskan untuk menyimpan rahasianya sendiri, dengan tanpa perubahan dalam hidupnya, bukan karena bangga tapi karena malu.

Dia merasa di dalam kendali penuh dari keinginannya saat dia muncul kembali di tengah publik sebanyak tiga kali di sore hari, istirahat dan mandi, mengenakan pasangan pantalon dari bahan linen kasar dan baju bermotif bunga, dan bersama jiwanya yang ditopang oleh pil-pil antisakit. Meskipun demikian, erosi kematian bertambah banyak merusakan daripada yang dia kira, karena ketika dia pergi memasuki podium dia merasakan penghinaan asing karena mereka yang bertempur demi keselamatan pada tangannya yang gemetar, dan dia tidak merasakan maaf ketika dia pada kali yang lain untuk puak-puak orang Indian yang berkaki telanjang, yang hampir tidak dapat menahan uap batubara yang panas dari persegi kecil yang steril. Dia menghentikan tepuk tangan dengan sebuah gelombang dari tangannya, hampir dengan marah, dan dia mulai berbicara tanpa gerak-gerak isyarat, matanya menatap pada laut, yang mendesah karena kepanasan. Mengukur dirinya, suara dalam yang memiliki kualitas air dingin, tapi ucapan itulah yang terkenang dan alasan-alasan yang ke luar waktu itu begitu banyak yang tidak terpikir olehnya di dalam hakikat dari penuturan kebenaran, tetapi, agaknya, seperti menentang suatu keputusan yang fatalistik oleh Marcus Aurelius di dalam buku keempat Meditasi-nya.

“Kita di sini bermaksud mengalahkan alam,” dia mulai berpidato, menentang semua pendiriannya. “Tak lama lagi kita akan menjadi bayi-bayi terlantar di negeri kita sendiri, anak yatim Tuhan di dalam dahaga dan cuaca buruk, terasing di kampung halaman kita sendiri. Kita akan menjadi orang yang berbeda, tuan-tuan dan puan-puan, kita akan menjadi penduduk yang besar dan bahagia.”

Terdapat suatu pola untuk sirkusnya. Ketika dia berbicara kepada ajudannya untuk melemparkan kelompok-kelompok dari burung-burung kertas ke udara dan makhluk-makhluk buatan menjadi hidup, terbang di sekitar bagian-bagian penting podium dan pergi ke laut. Pada saat yang sama, orang-orang lain mengambil beberapa pohon sangga dengan daun-daun lakan yang ke luar dari mobil-mobil stasion-wagon dan menanamnya di tanah beruap di balik kerumunan. Mereka berakhir dengan mendirikan papan kartu yang menggambarkan bagian muka dari suatu gedung dengan rumah-rumah yang dibuat secara meyakinkan dari batu bata merah yang memiliki jendela-jendela kaca, dan dengan itu mereka melapisi gubuk-gubuk kehidupan nyata yang sengsara.

Sang senator memperpanjang pidatonya dengan dua kutipan dalam bahasa Latin untuk memberikan tambahan waktu pertunjukan jenaka. Dia menjanjikan mesin-mesin pembuat hujan, peternak-peternak jinjing untuk hewan-hewan meja, minyak kebahagiaan yang akan membuat sayur-sayuran tumbuh di tanah beruap dan rumpunan bunga di kotak-kotak jendela. Ketika dia melihat bahwa dunia fiksionalnya telah beres semuanya, dia menunjukkannya, “Demikianlah yang akan terjadi pada kita, tuan-tuan dan puan-puan,” dia berteriak. “Saksikan! Itulah yang akan terjadi pada kita.”

Khalayak berpaling. Sebentang laut bergaris yang terbuat dari kertas bercat melintas di belakang rumah-rumah dan itu lebih tinggi daripada rumah-rumah yang tertinggi di kota buatan itu. Hanya sang senator sendiri yang melihat bahwa sejak itu telah siap dan terbuka dan dibawa dari satu tempat ke kota karton melapiskan ke atas yang lain yang telah dimangsa oleh cuaca yang mengerikan dan bahwa itu hampir semiskin dan sekotor Rosal del Virrey.

Untuk kali pertama dalam dua belas tahun, Nelson Farina tidak pergi menyambut sang senator. Dia mendengarkan pidato itu dari tempat tidur gantungnya di tengah-tengah sisa istirahat siangnya, di bawah punjung yang dingin dari sebuah rumah papan yang tak direncanakan dia bangun bersama tangan-tangan ahli farmasi yang sama yang dengannya dia menarik dan memberi tempat tinggal istri pertamanya. Dia telah melarikan diri dari Pulau Setan dan muncul di Rosal del Virrey di atas sebuah kapal yang sarat dengan suatu kebesaran yang lugu, bersama seorang perempuan hitam yang cantik dan menghina Tuhan yang dia temukan di Paramaribo dan yang bersamanya dia dikaruniai seorang anak perempuan. Wanita itu mati karena sebab-sebab alami tak lama kemudian dan dia tidak merasakan penderitaan nasib dari yang lain, yang remuk redam dipupuk tambalan kembang kolnya sendiri, seluruh apinya dikubur dan bersama nama Belandanya di pekuburan setempat. Anak perempuan itu mewarisi warna kulitnya dan bentuk badan ayahnya bersama-sama dengan kulit kuning ayahnya dan mata yang heran, dan lelaki itu memiliki alasan yang bagus untuk membayangkan bahwa dia membesarkan wanita yang sangat cantik di dunia itu.

Sejak dia bertemu Senator Onesimo Sanchez selama kampanye pemilihannya yang pertama, Nelson Farina pernah meminta bantuannya untuk mendapatkan kartu identitas palsu yang akan menempatkan dirinya di seberang jangkauan hukum. Sang senator, dengan cara yang bersahabat namun tegas, menolak. Nelson Farina tak pernah menyerah, dan selama beberapa tahun, setiap kali dia menemukan kesempatan, dia akan mengulang permintaannya dengan suatu jalan lain yang berbeda. Tapi kali ini dia tinggal di tempat tidur gantungnya, mengutuk kebusukan hidup di dalam sarang bajak laut yang membakar. Ketika dia mendengar tepukan terakhir, dia mendongakkan kepalanya, dan melihat ke atas pagar papan, dia melihat sisi belakang pagar itu: peralatan untuk gedung-gedung, kerangka kerja dari pepohonan, para ilusionis yang raib yang mendorong penggaris laut. Dia bertengkar tanpa dendam.

Merde,” dia berkata, C’est le Blacamen de la politique.”

Setelah berpidato, seperti biasanya, sang senator berjalan melintasi jalan-jalan kota di tengah musik dan panah api dan diserbu oleh penduduk kota, yang melaporkan kepadanya kesukaran-kesukaran mereka. Senator mendengarkan mereka dengan bersifat baik dan dia selalu menemukan cara untuk menghibur setiap orang tanpa menimbulkan kesukaran apapun pada mereka. Seorang wanita di atas sebuah rumah bersama enam anak-anak paling mudanya mengatur dirinya mendengarkan kegaduhan dan mercon-mercon.

“Aku tidak minta banyak, Senator,” dia berkata. “Hanya seekor keledai untuk mengangkut air dari sumur gantung orang.”

Senator memperhatikan keenam anak-anak yang kurus itu. “Apa yang terjadi pada suamimu?” dia bertanya.

“Dia mencari peruntungannya di Pulau Aruba,” wanita itu menjawab dengan selera humor yang baik, “dan apa yang dia temukan adalah seorang wanita yang asing, jenis yang itu menaruh intan pada giginya.”

Jawaban itu menimbulkan tawa terbahak-bahak.

“Baiklah,” senator memutuskan, “engkau akan mendapatkan keledaimu.”

Tak lama kemudian seorang ajudan membawakannya seekor keledai beban yang baik ke rumah perempuan itu dan pada pantat hewan itu dia memiliki slogan kampanye yang ditulis dengan cat yang tak dapat dihilangkan sehingga tak seorang pun akan pernah melupakan bahwa itu adalah sebuah hadiah dari senator.

Sepanjang jangkauan pendek dari jalan itu dia melakukan hal lain, langkah-langkah yang lebih kecil, dan bahkan dia memberi sesendok penuh obat untuk seorang lelaki yang sakit yang ranjangnya dibawa ke depan pintu rumahnya sehingga lelaki itu dapat melihatnya melintas. Di sudut terakhir, melalui pagar papan, dia melihat Nelson Farina di tempat tidur gantungnya, melihat debu dan mendung, tapi meskipun demikian senator mengalaminya, dengan tidak menunjukkan perhatian.

“Halo, apa kabar?”

Nelson Farina berpaling di tempat tidur gantungnya dan merendam dirinya dalam warna kuning sawo yang menyedihkan dari penglihatannya.

Moi, vous savrz,” dia berkata.

Putrinya ke luar memasuki halaman begitu dia mendengar uluk salam itu. Dia mengenakan sesuatu yang murah, jubah Indian Guajiro yang pudar, kepalanya dihiasi dengan ikatan simpul berwarna, dan wajahnya dicat untuk tabir surya, tetapi bahkan dalam keadaan rusak begitu masih dimungkinkan untuk membayangkan bahwa di sana tidak pernah ada yang lain yang begitu cantik di seluruh dunia. Senator telah pergi terengah-engah. “Aku akan jadi orang terkutuk!” dia menyebut-nyebut dengan terkejut. “Tuhan melakukan hal-hal yang paling gila!”

Malam itu Nelson Farina mengenakan putrinya dengan pakaian-pakaian terbaiknya dan mengutusnya kepada senator. Dua pengawal senjata dengan senapan yang mengantuk kepanasan di rumah pinjaman memintanya untuk menunggu pada satu-satunya kursi di ruang depan. 

Senator berada di ruang lain sedang bertemu dengan orang-orang penting Rosal del Virrey, yang dia kumpulkan bersama-sama untuk menyanyikan kebenaran-kebenaran mereka yang telah dia sampaikan di dalam pidato-pidatonya. Mereka melihat begitu banyak yang mirip semua orang yang selalu dia jumpai di semua kota di gurun pasir karena bahkan sang senator sendiri sakit dan lelah setelah mengikuti terus-menerus sesi setiap malam. Bajunya basah kuyup karena keringat dan dia berusaha mengeringkannya di badannya dengan tiupan panas dari kipas angin listrik yang mendengung seperti seekor kuda terbang di ruang nan panas nian itu.

“Kita, tentu, tak bisa makan burung-burung kertas,” dia berkata. “Aku dan kalian tahu hari ini ada pepohonan dan bunga di tumpukan kotoran kambing ini, saat ini di sana akan ada ikan laut sebagai pengganti dari cacing di lubang-lubang air itu, saat itu aku dan kalian takkan memiliki apapun untuk dikerjakan di sini, apakah yang kukatakan jelas?”

Tak seorang pun menjawab. Setelah dia berbicara, senator merobek selembar kalender dan membuat seekor kupu-kupu kertas dengan tangannya. Dia melempar kupu-kupu kertas itu tanpa tujuan khusus ke dalam arus udara yang berasal dari kipas angin dan kupu-kupu itu terbang mengitari ruangan dan kemudian ke luar melalui pintu yang separuh terbuka. Senator melanjutkan pembicaraan dengan suatu kendali yang dibantu oleh keterlibatan dari kematian.

“Dengan demikian,” dia berkata, “aku tidak perlu mengulang untuk kalian apa yang telah kalian ketahui dengan baik: karena pemilihan ulang diriku adalah suatu hal yang lebih baik bagi kalian dibanding untuk diriku sendiri, karena aku bosan dengan air yang mampat dan peluh orang Indian, sedangkan kalian, pada pihak lain, sangat memerlukannya untuk hidup kalian.”

Laura Farina melihat kupu-kupu kertas itu ke luar. Hanya dia yang melihatnya karena para pengawal di ruang depan itu jatuh tertidur di atas tangga, sambil memeluk senapan mereka. Setelah berbelok sedikit, kupu-kupu bergambar yang besar itu tak terlipat dengan sempurna, lurus menabrak dinding, dan tertancap tinggal di sana. Laura Farina berusaha menariknya dengan kukunya. Salah seorang pengawal, yang terjaga karena tempik sorak dari ruangan lain, memperhatikan usahanya yang sia-sia.

“Kupu-kupu itu tak bisa diambil,” dia berkata sambil mengantuk. “Kupu-kupu itu dilukis pada dinding.”

Laura Farina kembali duduk ketika orang-orang mulai ke luar dari pertemuan itu. Senator tegak di pintu ke luar dengan tangannya pada palang pintu, dan dia hanya melihat Laura Farina manakala ruang depan itu sudah kosong.

“Sedang apa kau di sini?”

C’est de la part de mon pare,” dia berujar.

Sang senator mengerti. Dia meneliti dengan cermat pengawal-pengawal yang sedang tidur, lalu dia memeriksa dengan teliti Laura Farina, yang memiliki kecantikan luar biasa yang bahkan lebih menyiksa daripada penderitaannya, dan dia kemudian memutuskan bahwa kematian telah membuat keputusannya untuk lelaki itu.

“Masuk,” lelaki itu berkata padanya.

Laura Farina tertegun sambil berdiri di pintu ruangan itu: ribuan catatan bank mengambang di udara, sedang mengelepak seperti kupu-kupu. Tapi senator mematikan kipas angin dan kertas-kertas tagihan itu dibiarkan tanpa udara dan hinggap pada barang-barang di ruangan itu.

“Kau lihat,” dia berkata, sambil tersenyum, “bahkan tahi bisa terbang.”

Laura Farina duduk di atas bangku tak bersandar. Kulitnya halus dan mulus, dengan warna yang sama dan kepadatan sinar matahari yang sama seperti minyak mentah, rambutnya memiliki bulu tengkuk seekor kuda betina yang muda, dan matanya yang sangat besar lebih besar tinimbang cahaya. Senator mengikuti urutan pandangannya dan akhirnya menemukan bunga mawar, yang telah dinodai oleh sendawa.

“Ini sekuntum mawar,” dia berkata.

“Ya,” wanita itu berkata dengan sebuah jejak kebingungan. “Aku pelajari apa yang mereka lakukan di Riohaca.”

Senator duduk pada pelbet tentara, sambil bicara tentang mawar saat dia membuka bajunya. Pada sisi tempat dia membayangkan hatinya pada bagian dalam dadanya dia memiliki sebuah tato bajak laut dari sebuah hati yang ditembus oleh anak panah. Dia melemparkan baju yang basah itu ke lantai dan meminta Laura Farina untuk membantunya mencopot sepatu larsanya.

Laura berlutut menghadap pelbet itu. Senator melanjutkan memeriksa dirinya dengan cermat, seraya berpikir, dan sementara Laura melepaskan tali sepatu ia mengagumi salah satu dari mereka yang akan berakhir dengan keberuntungan yang buruk dari pertemuan itu.

“Kau hanya seorang anak,” dia berkata.

“Jangan kau percayai itu,” Laura membalas. “Aku akan berusia sembilan belas pada bulan April.”

Senator menjadi tertarik.

“Hari ke berapa?”

“Kesebelas,” dia berkata.

Senator merasa lebih baik. “Kita berdua Aries,” dia berkata. Dan sambil tersenyum, dia menambahkan:

“Itu tanda kesepian.”

Laura Farina tidak memberikan perhatian karena ia tidak tahu apa yang mesti dilakukan dengan sepatu bot itu. Senator, untuk bagiannya, tidak tahu apa yang mesti dilakukan bersama Laura Farina, karena dia tidak dipakai untuk peristiwa-peristiwa cinta yang mendadak dan, di samping itu, dia tahu bahwa pada satu sisi memiliki asal-usulnya di dalam penghinaan. Baru saja beberapa saat berpikir, dia memegang Laura Farina dengan kuat di antara kedua lututnya, memeluknya di sekitar pinggang, dan merebahkan punggungnya di atas pelbet. Lantas dia menyadari bahwa perempuan itu sudah telanjang di balik pakaiannya, karena tubuhnya mengeluarkan aroma wangi yang gelap dari seekor hewan kayu, meskipun hatinya menjadi takut dan kulitnya dirusak oleh keringat sungai es.

“Tak seorang pun mencintai kita,” dia mendesah.

Laura Farina berusaha untuk mengatakan sesuatu, tapi di sana hanya ada cukup udara untuknya bernafas. Senator membaringkan wanita itu di bawah di samping dirinya untuk membantunya, dia memadamkan lampu dan ruangan itu berada dalam bayangan sang mawar. Wanita itu menyerahkan dirinya pada belas-kasihan nasibnya. Senator memeluk sambil membelai dirinya dengan perlahan, mempertemukan tangan wanita itu dengan tangannya, nyaris tidak menyentuhnya, tapi di bagian mana dia mengharapkan untuk menemukannya, dia menemukan sesuatu yang keras yang ada di jurusan itu.

“Apa yang kau miliki di sana?”

“Kunci kura-kura,” dia berkata.

“Persetan!” senator itu berkata dengan sangat marah dan memohon apa yang perlu dia ketahui hanyalah yang baik-baik belaka. “Di mana kuncinya?”

Laura Farina menarik nafas lega.

“Papaku yang menyimpannya,” dia menjawab. “Dia mengatakan padaku agar menuturkan padamu untuk mengutus salah seorang dari orang-orangmu untuk mendapatkannya dan mengirim bersama-sama dengannya sebuah janji tertulis bahwa engkau akan membereskan keadaannya.”

Senator menjadi naik darah. “Kodok kampung,” dia berbisik dengan jengkel. Lalu dia memejamkan matanya agar rileks dan dia menemukan dirinya sendiri di dalam kegelapan. Ingat, dia mengingat, bahwa siapapun engkau atau orang lain, dia tidak hidup lama sebelum engkau mati dan hidup tidak akan lama sebelum namamu bahkan dilupakan. 

Dia menunggu rasa ngeri itu lewat.

“Katakan padaku satu hal,” dia meminta kemudian. “Apa yang pernah kaudengar tentang diriku?”

“Apa kau menginginkan kebenaran yang jujur demi Tuhan?”

“Kebenaran yang jujur demi Tuhan.”

“Baik,” Laura Farina mengajukan pendapat, “mereka mengatakan engkau lebih buruk daripada sampah karena engkau berbeda.”

Senator tidak merasa terganggu. Dia tetap membisu untuk waktu yang lama dengan matanya yang terpejam, dan ketika dia membukanya kembali dia tampak telah kembali dari naluri-nalurinya yang sangat tersembunyi.

“Oh, persetan,” dia memutuskan. “Katakan putramu dari seorang perempuan jalang dari seorang ayah yang akan aku bereskan keadaannya.”

“Jika kau mau, aku bisa pergi mengambil kunci milikku sendiri,” Laura Farina berkata.

Senator memegang punggung wanita itu.

“Lupakanlah kunci itu,” dia berkata, “dan tidurlah sebentar bersamaku. Lebih baik bersama seseorang manakala sedang sendirian.”

Lalu wanita itu merebahkan kepala senator di atas pundaknya dengan matanya memandang mantap pada bunga mawar. Senator memeluknya di seputar pinggang, membenamkan wajahnya ke dalam ketiak hewan-kayu, dan menyerah terhadap teror. Enam bulan lebih sebelas hari kemudian dia ingin mati dalam posisi yang sama itu, merendahkan derajat dan menyangkal karena skandal publik bersama Laura Farina dan menangis dengan gusar saat sekarat tanpa Laura Farina di sisinya. •

(Judul versi Inggris: Death Constant Beyond Love. Diterjemahkan dari bahasa Spanyol oleh Gregory Rabassa.)



=================
Gabriel José de la Concordia García Márquez, lahir 6 Maret 1927 – meninggal 17 April 2014 pada umur 87 tahun, adalah seorang novelis, jurnalis, penerbit, dan aktivis politik Kolombia. Ia dilahirkan di kota Aracataca di departemen Magdalena, namun hidupnya kebanyakan dijalaninya di Meksiko dan Eropa. Ia banyak menghabiskan hidupnya di Mexico City. Secara umum dipandang sebagai tokoh utama dari gaya sastra yang dikenal sebagai realisme magis. Sementara dari banyak tulisannya, kita tidak dapat mengategorikan semua tulisannya dalam gaya ini.
Karya besarnya yang pertama adalah Kisah tentang Seorang Pelaut yang Karam (Relato de un náufrago), yang ditulisnya sebagai cerita bersambung surat kabar pada 1955. Ia menjadi koresponden asing karena menjadi semacam persona non grata untuk pemerintahan Jenderal Gustavo Rojas Pinilla. Beberapa karyanya digolongkan sebagai fiksi dan juga non-fiksi, khususnya Kronik tentang Maut yang telah Diramalkan (Crónica de una muerte anunciada) (1981), yang mengisahkan cerita pembunuhan balas dendam yang direkam dalam koran-koran, dan Cinta di Kala Wabah Kolera (El amor en los tiempos del cólera) (1985), yang didasarkan secara bebas pada kisah berpacaran orangtuanya. Banyak dari karya-karyanya, termasuk kedua buku di atas, berlangsung dalam “alam García Márquez”, yang tampil kembali dari buku ke buku dalam bentuk tokoh-tokohnya, tempat-tempat dan kejadian-kejadiannya.
Novelnya yang terkenal, Seratus Tahun Kesunyian (Cien años de soledad) dan mendapatkan Hadiah Rómulo Gallegos pada 1972 Ia dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra pada 1982, berdasarkan cerita-cerita pendek dan novelnya.

Iwan Nurdaya-Djafar dilahirkan di Bandarlampung 14 Maret 1959, menulis puisi, cerpen, esei, artikel dan menerjemahkan. Buku yang sudah terbit di antaranya Seratus Sajak; Warahan Radin Jambat; Tetimbai Si Dayang Rindu; Hidup, Cinta dan Petualangan Omar Khayam (terjemahan novel Manuel Komrof): Hukum dan Susastra; terjemahan karya Kahlil Gibran: Airmata dan Senyuman; Sang Nabi; Kematian Sebuah Bangsa.

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *