Tidak Ada Kucing di Bulan


ENTAH
siapa yang memberitahu Nares kalau di bulan sana ada seorang putri. Katanya, putri itu memiliki seekor kucing bermata emas yang berbulu lebat, dan bila hendak melihat mereka haruslah saat purnama penuh.

Sebenarnya, bukan hal yang menyebalkan saat Nares menceritakan fantasi-fantasinya itu. Saya justru terhibur dengan cara Nares meyakinkan saya bahwa kisah putri dan kucing tersebut sungguh-sungguh nyata. Tak jarang kami berdebat sengit perkara hal tersebut—tentunya dengan cara yang menurut saya jenaka. Namun, petang ini, saat Nares merengek meminta saya menculik si kucing, seketika mereka bertiga—Nares, sang putri, dan si kucing—menjadi teramat sangat menyebalkan.

“Mama nggak sayang sama Nares!”

Saya menemukan kekecewaan di mata kejora Nares. Sebenarnya saya ingin sekali mengatakan bahwa tidak ada kucing di bulan sana. Namun, setelah berpikir cukup lama, saya akhirnya berkata bahwa menculik kucing itu tidak baik. Hal itu membuat Nares bersedekap, manyun, lantas mengatai saya jahat.

***

Cinta pertama saya—jika itu bisa disebut sebagai cinta—jatuh pada seekor kucing bermata emas: Candramawa. Kala itu saya masih sehijau daun yang baru trubus, dan setiap kali akan berangkat tidur Ibu selalu menyanyikan “Ambilkan Bulan, Bu.”

Pada satu malam, saat purnama penuh, Ibu berkata dengan lembut.            “Tidurlah, Nak. Ibu akan mengambil bulan untukmu.”

Tentu saja saya sangat senang. Hati saya terasa semeriah pasar malam. Bagaimana tidak, Ibu akan mengambilkan bulan untuk saya. Hanya bocah yang memiliki ibu berhati malaikat saja yang mendapatkan keistimewaan serupa itu.

Saya tidak tahu apakah ada seorang ayah yang juga berhati malaikat. Saya tidak punya ayah. Dan Ibu melarang saya memanggil ayah kepada semua pria yang bertandang ke rumah kami. Padahal, Om Bimo, menurut saya pantas dipanggil ayah. Om Bimo kerap memberi saya cokelat. Ia juga satu-satunya pria yang bilang saya cantik.

Setelah membenarkan selimut yang membungkus saya, Ibu melangkah mendekati jendela. Ia berhenti sebentar di ambang jendela—kira-kira beberapa helaan napas—, mungkin merapal doa atau …, entahlah. Saya mengawasi Ibu dengan dada berdebar-debar. Setelah beberapa hitungan berlalu, Ibu menyibak tirai, mengikatnya di kedua sisi kemudian membuka jendela lebar-lebar.

Langit tampak sangat cerah, lebih cerah dari biasanya. Bulan dengan sinarnya yang keperak-perakan terlihat begitu megah, di sekelilingnya saya bisa melihat beberapa titik bintang berkedip-kedip. Mereka seolah-olah berkata, “Aduh, anak itu bikin iri saja.”

Dengan suaranya yang semerdu kicau burung di pagi hari, Ibu memanggil bulan. Bulan menurut, ia mendekat, dan kamar saya dilimpahi cahaya, dan udara terasa begitu hangat. Saya melihat Ibu mengulurkan tangan kanannya lantas memetik bulan semudah memetik buah jambu di halaman depan.

Di tangan Ibu bulan berubah menjadi sebuah bola belaka—kira-kira sebesar bola kasti— tetapi berpendar-pendar. Ibu mendekat ke ranjang, dada saya meletup-letup. Kemudian, dengan hati-hati Ibu menaruh bulan ke dada saya. Seketika saya seperti dibungkus kehangatan, yang aneh, tetapi sangat menenangkan. Setelah itu Ibu mencium dahi saya sambil berkata, “Semoga mimpi yang indah.”

Lampu dipadamkan, pintu ditutup, dan tak lama kemudian saya terlelap.

Saya terjaga entah pada pukul berapa. Ketika membuka mata, saya melihat seekor kucing duduk di kaki ranjang sambil menjilati kaki depannya. Seperti tahu kalau saya telah bangun, kucing itu berhenti menjilati kaki kanannya. Ia menatap saya. Kedua bola matanya menyala keemasan tetapi tidak terasa meneror. Saya justru merasakan ada hawa hangat terpancar dari sana.

Itulah kali pertama saya bertemu Candramawa. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan dari pertemuan pertama kami tersebut. Yang pasti, saya merasakan desir-desir aneh, dan sangat sulit untuk diterjemahkan. Saya baru mahfum jika desir-desir aneh itu bisa ditafsirkan sebagai cinta di pertemuan kami yang keseratus tujuh belas. Saat itu saya genap berusia tujuh belas.

Malam itu udara di taman itu terasa sejuk. Saya dan Candramawa bercakap-cakap di bangku bercat putih. Sekitar delapan langkah ke depan ada serumpun melati yang tengah berbunga lebat. Di sebelah kanan, kira-kira selemparan batu, ada sebuah kolam ikan kecil dengan beberapa teratai yang sering dijadikan tempat para katak menikmati limpahan cahaya bulan. Kadang-kadang saya ingin bertanya mengapa mereka—para katak—suka melakukan itu. Namun, selalu saja urung karena saya takut mereka terganggu.

Setelah memperbincangkan banyak hal saya pun bertanya, “Dari mana kamu berasal?”

“Dari bulan.”

“Bulan? Di mana kamu tinggal selama ini? Bagaimana kamu bisa masuk ke kamarku?”

Saya rasa, malam itu saya secerewet Mak Surti—penjual cenil langganan Ibu.

“Di dadamu,” katanya, “kamu tahu, setiap purnama penuh jendela kecil di dadamu terbuka, maka aku melompat keluar untuk menemuimu.”

Saya tiba-tiba merasa sangat harus meraba dada, tapi ….

“Apa alasanmu menemuiku?”

Candramawa tersenyum, matanya kian cerlang, katanya, “Tentu saja itu sudah tugasku.”

Mendadak saya seperti kehilangan seluruh kosakata yang saya hafal setelah mendengar jawaban itu. Namun, entah mengapa saya justru merasa sangat bahagia—lebih bahagia ketimbang mengunyah sebatang cokelat pemberian Om Bimo atau disebut cantik olehnya.

***

Nares sudah terlelap tetapi saya masih bersenandung. Di saat-saat seperti ini saya sangat merindukan Candramawa. Andai saja saya bisa memanggilnya untuk datang dan berpura-pura telah diculik, pasti Nares akan sangat gembira. Namun, apa lacur, karena permintaan saya sendiri hal itu tidak dapat terwujud.

Ketika itu ulang tahun saya yang kedua puluh tujuh. Tepat tujuh tahun setelah kematian Ibu yang sangat mendadak, saya meminta agar Candramawa sudi mengantarkan doa-doa yang selalu saya panjatkan menjelang tidur kepada Tuhan: memiliki seorang putri.

Saya selalu merasa doa-doa itu teramat sederhana. Namun, doa-doa itu seperti tidak pernah sampai di meja Tuhan. Kadang-kadang, karena hal itu, saya menjadi tidak percaya dengan perkataan Ibu bahwa Tuhan tidak tidur.

“Aku bisa mengantarkan doa-doamu, langsung ke meja Tuhan,” kata Candramawa, “bahkan, bila perlu aku akan merayu-Nya agar segera menjawab doa-doamu, tapi ….”

“Tapi apa?”

“Aku tidak akan bisa menemuimu lagi,” jawabnya “tapi memang itulah tugasku.”

Ada kesedihan pada suara Candramawa dan perlahan-lahan merambati saya juga. Itulah kali pertama saya melihat matanya seredup sethir kehabisan minyak.

“Jadi?

“Aku akan melakukannya.” Ia berkata begitu dengan riang, dan matanya menyala lagi.

Kemudian, tanpa menunggu saya membuka mulut, Candramawa melompat dari pangkuan saya. Ia berlari dengan ekor teracung lantas memanjat ke langit—seolah-olah ada tangga yang terjulur begitu saja dari atas sana. Candramawa begitu tangkas dan saya tahu ia sangat bersemangat. Saya menatap kepergiannya sampai ia menjelma bintik kecil lantas perlahan meredup, makin redup, dan sepenuhnya padam. Saya menitikkan air mata. Ada silet yang menggores hati saya.

***

Candramawa tidak dusta. Setelah beberapa purnama berlalu Tuhan berbaik hati. Ketika itu sepulang kerja, di bangku taman bercat putih—yang delapan langkah di depannya ada serumpun melati—saya menemukan seorang bayi perempuan di dalam kardus dan cuma dibalut jarik lusuh. Di sana juga ada secarik kertas biru muda, tertulis sebuah nama: Nareswari.

Ibu benar, Tuhan tidak tidur. Dan dengan memiliki Nares saya merasa benar-benar perempuan. Sudah sejak lama saya dapat merasai hal itu. Saya pernah beberapa kali mengutarakan perihal itu kepada Ibu, dan selalu ditanggapi dengan senyuman. Akan tetapi, dunia sepertinya tidak akan pernah sudi mengakui bahwa saya perempuan. Mungkin karena ada seekor tikus kerdil yang bersemayam di pangkal paha saya. Atau karena kedua bukit di dada saya tidak kenyal dan perlu disumpal. Atau suara saya bukanlah sopran.

Namun, saya tidak peduli! Saya sungguh-sungguh tidak akan peduli. Meskipun manusia-manusia bermulut senapan itu terus-menerus menembaki saya dengan kata-kata paling jahanam. Atau mereka tetap memandang saya seperti melihat seonggok tai anjing. Atau bibir-bibir mereka selalu menyunggingkan senyum paling iblis. Saya tidak peduli! Karena, selamanya saya adalah seorang ibu, dan Nares tahu itu.

“Tidak ada lagi kucing di bulan, Nares.” Kalimat itu saya bisikkan dengan dada yang seperti ditusuki ribuan duri landak. Namun, seorang ibu kudu tangguh, kan.

— selesai —





==================
Rayi El Fatih, sopir truk penyuka biru dan Manchester United, beberapa cerpennya pernah dimuat di Beritabaru.co dan Radar Malang.

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

One Response

  1. Cerpen ini amat peribadi dan lebih rapat pada psikologi manusia yang berangan-angan itu ini. Bagaikan terapung watak protaganis itu melihat angkasa di sekelingnya.
    Ia perluas daerah imaginasi seni cerpen yang biasa. Namun, andai ada paksi idea yang jelas dalam cerita, cerpen ini boleh jadi sekuat cerpen Iwan Simatupang dan Danarto. Ciri cerpen Dr. Umar Khayyam ada dalam cerpen ini iaitu gambaran idea yang berapungan yang perlu ditangkap kerana ia bagaikan jigsaw puzzle.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *