DENGAN gugup Arimbi menyajikan teh kamomil untuk ibu mertuanya. Tak biasanya Ny. Suwondo berkunjung pagi-pagi begini. Tidak mungkin kedatangannya kali ini untuk inspeksi dadakan lagi, kan? Lagipula, masih haruskah Arimbi menyebut perempuan ini sebagai ibu mertua? Satu-satunya penghubung mereka berdua adalah Arkana, putra semata wayangnya dengan Pras, putra Ny. Suwondo.
“Saya akan membangunkan Arkana.”
Ny. Suwondo menggamit lengan Arimbi, mencegahnya untuk beranjak.
“Tidak perlu. Biarkan dia tidur lebih lama. Ini hari Minggu. Aku yang datang kepagian,” Ny. Suwondo mengambil jeda, tersenyum tipis, “duduklah, Bi. Sudah lama kita tidak berbincang.”
Darah Arimbi berdesir. Ada sesuatu yang ngilu di dalam dirinya. Sudah lama dia tidak dipanggil begitu. Bi dari kata bee adalah panggilan kesayangan Pras untuk Arimbi.
“Bee itu lebah. Lebah menghasilkan madu. Madu itu manis. Kayak kamu,” Pras menjawil hidung bangir Arimbi.
Arimbi tersipu. Sungguh bahagia ia memiliki Pras sebagai kekasihnya. Lelaki itu tak hanya tampan dan pintar, tetapi juga bertanggung jawab. Di usia semuda ini dia sudah menjabat posisi manajer pabrik di perusahaan pengolahan getah karet. Terhadap adik-adik Arimbi, Pras juga perhatian.
Bagi Pras, Arimbi adalah tempat pulang. Pembawaan gadis itu tenang seperti permukaan danau. Dewasa jauh melebihi usianya. Namun tatkala kumat manjanya, ia juga bisa menggemaskan. Pun tak dapat ia sangkal bahwa kecantikan gadis itu telah memikatnya sejak pertama.
Mereka bertemu karena Arimbi diterima sebagai trainer di perusahaan tempat Pras menjadi manajer pabrik. Sudah setahun Arimbi menyandang gelar sarjana waktu itu, tetapi belum ketemu pekerjaan dengan gaji yang sesuai harapannya. Maklum, di bawah Arimbi, masih ada dua adik yang butuh biaya kuliah. Arimbi ingin membantu orangtua membiayai kedua adiknya.
Meski bukan atasan langsung dan berbeda divisi, Pras sering meminta bantuan Arimbi untuk menerjemahkan dokumen perusahaan. Sebagai lulusan Sastra Inggris tentu itu bukan hal sulit bagi Arimbi. Sering juga jika ada kunjungan buyer, Arimbi diminta mendampingi Pras untuk menjadi interpreter.
Setahun dekat dengan Arimbi, Pras resmi memilihnya menjadi kekasih.
“Bi, kamu mau jadi pacarku?”
Arimbi tidak tersipu. Ia malah menantang Pras untuk mengucapkannya dalam bahasa Inggris. Arimbi cekikikan demi mendapati lelaki itu terbata-bata mengatakannya. Sungguh ironis, dulu dia bercita-cita menikah dengan Bule, atau setidaknya blasteran, atau setidaknya lagi dengan orang yang fasih berbahasa Inggris. Kini, dia malah berpacaran dengan orang yang gagap dengan bahasa Inggris.
Orang-orang di kantor bukannya tak tahu jika Pras dan Arimbi berpacaran. Mereka kerap mengompor-ngompori kedua sejoli itu untuk segera menghalalkan hubungan. Pras sudah siap saja menikah. Usianya juga sudah duapuluh delapan. Tetapi, ada satu rintangan: Ny. Suwondo, ibunya Pras.
Perempuan tengah baya itu tak begitu menyukai Arimbi. Dia punya menantu pilihan sendiri. Karla nama perempuan itu. Anak sahabat lamanya yang juga teman kecil Pras. Tetapi, hati dan cinta Pras hanya untuk Arimbi seorang. Ny. Suwondo merelakan anak tunggalnya itu menikahi gadis pujaannya, meski dengan setengah hati.
Setahun setelah pernikahan, Arkana lahir. Lingkungan pabrik yang keras, berisik dan bau getah karet tak bagus untuk perkembangan si kecil. Pras berinisiatif membeli rumah di kota Jambi, limapuluh kilometer dari Seberang, tempat pabrik berada. Ketika Arkana menginjak usia tiga bulan, keluarga kecil itu pindah ke rumah baru itu.
“Rumah ini hadiah buat kamu, Bi, karena telah melahirkan anakku. Aku beli kontan dan kuatasnamakan dirimu,” Pras mengecup kening Arimbi.
“Terimakasih, Mas. Akan kubuat rumah ini tempatmu ternyaman untuk pulang,” Arimbi tersenyum lebar, membuat lesung pipitnya muncul. Pras amat menggilai lesung pipit itu.
Dua adik Arimbi yang semula indekost, kini pindah ke rumah itu. Tentu atas persetujuan Pras. Mereka menempati kamar kosong di lantai atas. Hitung-hitung untuk menghemat pengeluaran. Sebab, kini Arimbi tak lagi bekerja. Hanya mengandalkan gaji suami. Kondisi yang tak disukainya sebenarnya. Tetapi mau bagaimana lagi, si kecil masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal. Orangtua Arimbi di desa juga sesekali menjenguk. Mereka menginap barang dua atau tiga hari.
Di sinilah mulai timbul masalah. Ny. Suwondo tidak senang. Dia berpikir Arimbi memanfaatkan kekayaan anaknya untuk mengangkat perekonomian keluarganya. Ny. Suwondo sering datang ke rumah itu dan ikut menginap. Padahal rumahnya sendiri besar dan tak jauh dari rumah anaknya. Dia sering nyinyir menyindir Arimbi dan adik-adiknya. Tak jarang dia tiba-tiba datang hanya untuk mengecek isi di balik tudung saji.
“Enak ya, makan tinggal makan, tidur ada kasur ada AC. Fasilitas lengkap. Berasa ratu di rumah orang.”
“Siapa, Bu?’ tetangga sebelah rumah ikut nimbrung.
“Oh, itu lho, kucing peliharaan saya.”
Arimbi bukan orang yang mudah terprovokasi. Tetapi, adiknya Anggraini, tidak terima dengan sindiran itu. Kalau bukan karena rasa hormatnya pada abang iparnya sudah pasti gadis itu akan melabrak Ny. Suwondo.
“Mbak, aku dan Laksmi kembali ngekost aja lah. Satu kamar berdua biar hemat. Kuliahku tinggal skripsi aja. Aku bisa sambil cari kerja.”
“Nggak usah,” sahut Arimbi tegas. “Kamu nggak usah dengerin nenek sihir itu. Fokus aja sama kuliahmu. Kamu cepetan lulus. Tahun ini kamu ikut CPNS. Kalau bisa lulus, kamu akan merdeka finansial, giliran bantu biayain Laksmi.”
Doa Arimbi terkabul. Anggraini wisuda setelah tiga tahun setengah belajar di bangku kuliah. Tak hanya itu, anak cerdas itu berhasil lulus CPNS, mengalahkan ribuan kandidat lainnya. Hanya saja sayangnya, unit kerjanya jauh di pelosok desa.
“Tak apa, Ai,” kata Pak Taji, ayah tiga gadis itu. “Yang penting tempatnya aman, ada listrik. Ada Paklik dan Bulik di sana. Mungkin rejekimu memang di sana.”
Mereka merayakan kebahagiaan itu dengan makan pizza di sebuah resto cepat saji yang iklannya sering muncul di televisi. Sebagai orang desa, sebenarnya Pak dan Bu Taji tak begitu suka makan pizza, tetapi karena anak dan menantunya mengajak ya mereka ikut saja. Sebenarnya mereka juga mengajak Tn. dan Ny. Suwondo, tetapi yang diajak berdalih sudah bosan makan pizza.
Ketika Arkana menginjak usia tiga tahun, satu lagi adik Arimbi mentas. Laksmi kini telah sah menyandang gelar sarjana meski belum tahu mau kerja di mana. Ny. Suwondo masih belum berubah. Tidak ada tanda-tanda dia bisa akur dengan menantunya. Malah sering memanas-manasi Pras dengan menceritakan teman-temannya yang tambah momongan.
“Kamu ingat Bambang teman SMA-mu dulu? Anaknya sudah tiga. Kamu nggak mau nambah?”
Arimbi sudah sampai pada tahap ‘bodo amat’ dengan sikap ibu mertuanya. Sejak awal pernikahan, bahkan ketika serius berpacaran, Arimbi berkomitmen untuk hanya memiliki satu anak saja. Dia juga bertekad harus bekerja meski gaji suaminya lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga kecilnya. Bagaimanapun Arimbi lulusan Sastra Inggris yang sudah sejak di bangku kuliah terpapar pemikiran-pemikiran feminisme. Dia tidak ingin menjadi mesin anak. Hamil dan membesarkan anak adalah perkara besar. Dia tidak sudi energinya tersita hanya untuk itu. Dia ingin berdaya dengan bekerja dan berkarya.
Setelah Arkana cukup besar untuk masuk taman kanak-kanak, Arimbi bekerja lagi. Dia pengajar paruh waktu di sebuah pusat bahasa di kampus negeri di kota Jambi. Sesekali tulisannya juga dimuat di media. Seringkali dia juga menerima job penerjemahan. Seluruh penghasilannya dia tabung di rekening khusus. Suatu hari dia ingin berinvestasi dengan uang itu. Dia ingin melanjutkan studi S2 demi bisa menjadi dosen, cita-citanya selama ini. Dua tahun setelah bergabung dengan pusat bahasa, Arimbi memtutuskan untuk sekolah lagi meski harus rela berlelah-lelah menghabiskan dua belas jam perjalanan ke kota Padang.
Suatu kali Tn. Suwondo dirawat di rumah sakit. Diabetes dan komplikasi bermacam penyakit. Pensiunan guru itu memang sudah memasuki usia senja. Sebagai menantu yang baik, Arimbi bantu merawat ayah mertuanya, bergantian dengan suaminya. Tak jarang dia menginap di rumah sakit menemani Ny. Suwondo jika suaminya terlalu sibuk atau harus ke luar kota selama berhari-hari. Tanpa risih, Arimbi juga mengganti popok dan menyeka kotoran mertuanya jika Ny. Suwondo kurang sigap melakukannya sementara suaminya sudah berteriak-teriak tak nyaman. Usia Ny. Suwondo terpaut tujuh tahun lebih muda dari suaminya. Dengan usianya sekarang seharusnya dia masih bisa cekatan mengurus suaminya yang tengah terbaring tak berdaya.
Namun, begitulah Ny. Suwondo. Seumur-umur dia tidak pernah mengalami kesusahan berarti. Terlahir sebagai anak orang kaya yang apa-apa serba diladeni membuatnya sangat kikuk mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan ketrampilan fisik. Empatinya juga tak terasah. Beruntung dia memiliki menantu seperti Arimbi. Tanpa menunggu perintah Arimbi mengerjakan apa yang bisa dikerjakannya sebagai bentuk bakti kepada orangtua suaminya.
Di saat-saat itulah Ny. Suwondo terbuka matanya. Dia akhirnya bisa melihat kebaikan dan ketulusan dalam diri menantunya. Disesalinya sikap jahatnya selama ini. Terbayang kelak masa tuanya bagaimana jika ia tak bersikap baik pada Arimbi. Anak sendiri belum tentu bisa diandalkan.
“Kalau aku jompo, kau juga mau merawatku kan, Bi?”
Kini, setelah sekian tahun berlalu, tak mampu dilontarkannya kalimat itu dari bibirnya. Ny. Suwondo tak punya hak untuk meminta Arimbi merawatnya. Arimbi kini bukan lagi menantunya. Perempuan itu hanyalah ibu dari cucunya, mantan istri anak laki-lakinya.
Rumah tangga Arimbi dan Pras tak bisa bertahan menghadapi gempuran orang ketiga. Pelakor. Ya, saat Ny. Suwondo telah mampu menyanyangi Arimbi, masalah timbul dari Pras sendiri. Dia tergoda daun muda di kantornya. Perselingkuhan itu terbongkar dan Pras mendapat masalah di kantornya. Sang sekertaris dipecat sedangkan dia dikenai sanksi penurunan jabatan. Tak hanya itu, Arimbi pun memilih untuk berpisah darinya.
“Bagaimana kabar Mas Pras?” Arimbi berbasa-basi.
“Kurasa baik-baik saja. Aku juga jarang ketemu.”
“Istrinya sudah hamil?”
Ny. Suwondo hanya menggeleng karena mulutnya terisi air teh yang kemudian buru-buru ditelannya. “Sepertinya rahimnya bermasalah karena dulu pernah digugurkan secara sembarangan.”
Tanpa sadar Arimbi memejamkan mata. Teringat olehnya masa-masa berat ketika rumah tangganya terguncang. Ia ingat satu peristiwa memicu kecurigaannya terhadap Pras. Ketika itu dia sedang berjuang menyusun tesis. Suatu kali Arimbi baru tiba di rumah setelah perjalanannya ke Padang untuk bimbingan tesis. Arimbi mempercayakan pengawasan Arkana pada pembantu atau Laksmi jika adiknya itu tidak sibuk dengan pekerjaan. Terkadang Pras juga menemani anak semata wayang mereka jika tak ada agenda ke luar kota meski di akhir pekan. Pras sedang dipromosikan untuk menjadi direktur anak perusahaan Kharisma Group, sehingga sangat wajar jika dia amat sangat sibuk bahkan di hari libur.
“Mama, tadi ada Tante main ke sini,” celetuk Arkana, anak kelas dua SD itu ketika ibunya membukakan oleh-oleh untuknya.
“Maksudnya Bu Laksmi?”
“Bukan, tante temannya Papa,” jawab Arkana polos.
Mungkin karena terlalu lelah sepulang dari perjalanan jauh, Arimbi tak terlalu memikirkan kata-kata putranya. Tetapi suatu kali ketika mereka makan malam bertiga di sebuah restaurant, lagi-lagi Arkana menyeletuk.
“Papa, itu kan Tante yang main ke rumah,” tunjuk Arkana pada seseorang di luar restauran. Mereka makan di sebuah reastaurant Thailand yang ada di mall paling digemari di kota Jambi. Tiap akhir pekan banyak sekali orang berkunjung di mall itu.
“Siapa, Sayang?” Arimbi menoleh bingung ke arah jendela kaca di belakang punggungnya, kepada orang-orang yang berlalu lalang di depan restaurant.
“Teman Papa yang kemarin main ke rumah.”
Arimbi menoleh kepada Pras dan mendapati wajah suaminya itu telah merah bagai kepiting.
“Kalau kau ingin punya simpanan, setidaknya jangan biarkan dia menginjak rumahku. Kau ini bodoh atau memang sengaja ingin ketahuan?” sindir Arimbi pedas ketika semua belang Pras sudah terkuak.
Arimbi mengamuk dan menuntut cerai Pras. Dia juga meminta bantuan LSM perempuan untuk memberi tekanan pada atasan suaminya agar memberi sanksi bagi pegawai yang melakukan KDRT, meski bukan kekerasan fisik, melainkan kekerasan psikis dan tindak asusila dengan staff kantor. Hasilnya sekertaris itu dipecat dan Pras gagal mendapatkan promosi posisi direktur.
Pernikahannya dengan Pras telah berakhir. Sesuatu yang sama sekali tak pernah dibayangkan olehnya.
Lama kedua orang itu terdiam di meja makan. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Ibu,” kata Arimbi setelah sekian jeda. Ny. Suwondo mendongak.
“Saya dan Arkana akan pindah ke Australia untuk beberapa tahun. Mungkin empat atau lima tahun.”
“Apa?” Ny, Suwondo tidak mengerti.
“Saya mendapatkan beasiswa studi dari pemerintah Australia. Saya harus sekolah lagi untuk masa depan pekerjaan saya.”
Sepasang mata Ny. Suwondo menyipit, antara senang juga sedih. Terbayang rindu yang akan ditanggungnya untuk cucu dan perempuan yang bukan lagi menantu.*
Simpang Kawat, Juli 2020
===============
Linggar Rimbawati, terlahir di Jambi tetapi selalu merasa Solo adalah rumahnya. Cerpennya dapat dibaca di Tribun Jabar, Kompas.id, Difalitera dan lain-lain. Sehari-hari mengajar di pusat bahas di kamus negeri di Jambi.