Amsal Muasal Kopi


Menyusuri Muasal

Abyssinia
telah jadi ladang
paling gemilang
di muka bumi.

di sana
ialah tanah muasal
dari biji-biji
yang kelak
menyebar
ke penjuru dunia,
juga bagian paling dalam
dari diri manusia
di dalam suka cita.

biji-biji
sebesar ibu jari
semula tak berarti
apa-apa
sebab
hitam warnanya
dan hanya rasa pahit
jika dicerna.

di suatu waktu
orang-orang dari Semenanjung
          tiba.
membawa biji-biji
menuju seberang
dan sesekali kembali
mengambil lagi,
       
lagi,
       
dan lagi.

hidup
ialah perkara
siapa paling bias
memaknai
       
& memanfaatkan.
meski kadang
banyak gejolak
yang pecah
dan tak pernah
mampu dipahami.

gejolak
lahir dari satu tafsir
dan tafsir yang lain
selalu berbeda.
akan selalu
dimaknai lain
sebab dunia
dan seluruhnya
tak lebih dari
hitam,
pahit,
dan sesekali
kecut
di lidah.

orang-orang Semenanjung
menyusuri Abyssinia
dan kelak
mengelilingi dunia
dengan kantong-kantong
penuh biji-biji.
dan akhirnya
sampai di Turki
dan ditumbuklah biji-biji
lantas diseduh
dan berakhir disesap.
dirasa
dengan pangkal lidah.

lidah di Turki,
suatu kali
tak fasih
berbahasa.
terpeleset dan luput menamai.
seseorang tak bernama
duduk menyesap kepahitan,
        juga barangkali,
        kenikmatan.
ia panggil nama
teman masa kecilnya
untuk turut mencicipi.

“Kahve! Kahve!”

tafsir,
kadang lugu
dan menyesatkan.
sejak itu,
Kahve dikenal
di segala penjuru.
orang-orang kian giat
menumbuk biji-biji
dan menyesap kahve.
tentu,
orang-orang dari Semenanjung
kian hari,
semakin jauh pergi
membawa kahve.

semakin jauh melangkah,
di dunia yang jauh,
kahve ditafsir lain
dan dilafalkan
dengan lidah.

“kahve.”

“coffee?”

“kahve.”

“coffee?”

Bahasa
selalu sulit dilafalkan.
sebab
lain lidah
lain lagi ucapan.
sejak saat itu
di seluruh penjuru
coffee selalu disebut
sewaktu-waktu.
meski akhirnya
lain lagi menyebut
        kopi,
        qahwah,
        koffie,
        kofe,
juga kata-kata lain
karena aksen-aksen
berbeda.
sebab lain lidah
lain lafalnya.

di waktu-waktu yang lain,
biji-biji itu,
menyebar
ke segala penjuru.

(Karanganyar, 2022)




Menelisik Epigraf

saudagar
juga barangkali
penjelajah ulung
berkeliling dari satu daratan
ke daratan lain.

bukan untuk mendulang emas
melainkan
menjual dan menebar
        biji-biji kopi
tentu, demi untung.

di tanah-tanah baru,
disemai benih-benih
dan ditanam
        di tanah
yang dipenuhi gelisah.
sebab bencana
bisa saja muncul tiba-tiba
dan muskil dihindari.

di Nusantara
atau barangkali
nama itu belum tercipta
biji kopi
        diagungkan.
hingga suatu kali
saudagar, juga penjelajah
        yang beralih menjadi penjajah
meraup berkah.

biji-biji kopi diangkut
sebagai komoditi
yang dijual
        laris
di pasar yang jauh.
diangkut kapal-kapal
menuju tempat asing
yang namanya
tak pernah
sekalipun didengar
dan dilafal.
lantas benih-benih
ditebar
di sepanjang
        tanah jajahan.

di Nusantara
atau juga tempat tak bernama
sejarah mulai disusun.
ketika musim panen tiba
biji-biji kopi
        matang
dan mukjizat
seolah menyelimuti.
sebab
sejak panen gagal
untuk yang pertama kali,
kini, panen melimpah ruah.

segalanya tak mudah
namun bukan berarti tak mungkin.
di sini, di Nusantara
sejarah telah tercipta.

(Karanganyar, 2022)




Musim Tanam

1.
tanah-tanah
di ladang
telah diolah.

surga,
telah terbentang
sejauh mata memandang.
tanah di surga
tidak selalu bercahaya
atau bersinar terang
melainkan hitam legam,
subur,
juga gembur.

di tanah ini,
hidup disimpul
dan berlanjut
di kemudian hari.

petani
saban hari
menebar
juga memanen
tanpa kenal waktu
dan tentu
ujung bibir mengembang
sepanjang waktu.

kopi
di ladang-ladang
kian hari kian subur.
dari ladang,
para petani kian makmur.

2.
kopi tak pernah membuat
        bersedih.
sebab kebahagiaan
lekas menyelimuti
dan mengubur kesedihan
        dalam hati.

lubang-lubang digali
lantas diolah dan ditanami.
di sekeliling
palawija hidup beriring.

hidup
tak serta-merta selalu
         sendiri.
di kemudian hari,
hidup saling bergantung
         dan melengkapi.
dari kebun kopi,
hidup bergantung,
hidup bersambung.

3.
hidup
ialah perkara menyemai,
menanam, merawat, tumbuh,
lantas memanen kebaikan-kebaikan.

(Karanganyar, 2022)




Menyisir Pematang

bencana telah datang
ketika gulma telah tumbuh
dan menyesap sari pati
dalam hidup
meski tak seberapa.

apa yang tumbuh
tak selalu menguntungkan
sebab, apa yang hidup
kadang mematikan.

tumbuh
adalah perkara
sejak awal mula
menghidu udara
dan setelahnya
hidup dimulai
dan tak tahu
kapan berakhir.

akhir
kadang menjelma mula
dari bencana
sebab akhir
telah memulai
penderitaan.

gulma dipangkas
dicerabut dari muasal.
setelahnya
bencana-bencana lain tiba
seperti dialog
dalam kisah drama
yang tak kenal usai
meski kebosanan
telah melanda.

hama,
menjadi bencana lain
sebab akhir tak benar-benar ada.
semua berkelindan.
bertaut dan menyesap.
bukan hanya bibir-bibir
yang kelak menikmati selepas
dituang dalam cangkir atau gelas.
ia telah jadi terror
dari waktu ke waktu
sebab, panen
jadi tak menentu.

daun-daun
juga kadang gugur
tanpa sebab yang pasti.
serupa pertempuran
di medan perang
tanpa tahu siapa lawan
dan siapa kawan.
sebab, perang,
tak lain melawan
tanpa tahu
untuk apa dan siapa.

bencana
selalu datang dan pergi
         silih berganti.
terbentang di sepanjang pematang
yang entah siapa saja
bisa dilalui
kapan saja

tak kenal musim.

(Karanganyar, 2022)




Menafsir Lidah

/arabika/
keheningan
telah menjelma menjadi keniscayaan.
kepahitan
perlahan susut
menjadi kenikmatan
yang tak mampu diuraikan
          dengan kata-kata.
sebab kepahitan
telah berubah
jadi candu.

di tanah leluhur
menyesap kopi
tak lain menebar puja-puji
bagi moyang
yang melindungi semesta.

di Toraja
secangkir kopi
adalah perantara
          mengenal leluhur.
di dataran tinggi
para moyang berada
meniup aroma
juga kenikmatan
tiada terkira.

di Wamena,
tanah-tanah gembur
tak pernah ternoda
         pupuk kimia.
di tanah ini
kopi terbaik tercipta
beraroma cokelat
          sejak sesapan

pertama.

di sepanjang jalan pulang
di sekeliling Kintamani
pohon kopi tumbuh
bersama pohon jeruk.
ruap keduanya menyebar.
seperti hidup,
bersisian adalah cara terbaik
mencapai kedewasaan.

gunung api Inerie
juga gunung api Abubolo
menyimpan rahasia
yang muskil diurai.
di sana,
leluhur lama mendiami
dan meninggalkan harta
yang tak terkira
          nilainya.

rahasia,
adalah sekuntum bunga mekar
yang merekah
dan dihinggapi lebah.
di suatu siang yang ranum,
lebah menyesap madu
lantas hinggap di ladang kopi
tanpa ragu.
kopi beraroma harum bunga-bunga
dari lebah,
yang pulang ke rumah

telinga
tak pernah berhenti
mendengar kejayaan
meski harus menerima kenyataan.
Gayo,
selalu dan akan selalu
bergema di segala penjuru.
sebab kopi telah dikenal lidah
baik sebatas lisan
atau juga dicecap perlahan.

di tanah Gayo,
kopi adalah detak jantung,
        tarikan napas,
        denyut nadi,dan hidup,
        dan akan selalu menghidupi.
kini,
esok,
dan nanti.

/robusta/
segala sesuatu
yang lahir dari keikhlasan
selalu melahirkan derma
bagi siapa saja.

ketika pagi pecah
dan waktu tiap hari kian terlewati,
maka menghidu kopi
adalah salah satu
upaya menenangkan
        diri
        sendiri.

rasa percaya
selalu lahir dari
       masa lalu
yang menyelamatkan
       masa depan
karena pengalaman.

kopi-kopi robusta
ialah pilihan
juga jalan yang sering jadi pilihan.
sebab jalan lain
telah ditentukan.

Lampung
telah membuka jalan
mengenali labirin dunia
ketika robusta
        dicintai.
tak ada bagian dari dunia
yang tak mengenalnya.
dari sana,
robusta dicipta
untuk jadi primadona.

kelokan jalan
di Dampit, Malang
menuntun ke arah
yang sulit ditebak.
tersebutlah kopi
dengan cita rasa
paling ajaib
di sana,
kenikmatan diterima
        sebagai nasib.

robusta Flores
membawa menuju bentang pantai
yang kian hari kian megah
       dan indah.
mencecap kopi di sana
tak ingin membuat beranjak
sebab robusta diolah
       sesuai selera.

di Temanggung
danau-danau
memancarkan cahaya.
cahaya,
tak lahir dari udara beku
yang menghadirkan gigil
       bagi peramu.

di Temanggung,
biji kopi
menghidupi petani,
menghidupkan harapan,
memancarkan kebahagiaan
bagi siapa saja
yang meminum kopi
sembari memanjatkan
        harapan.

/liberika/
cinta bisa saja tumbuh
       atas rasa suka.
namun lebih sering
       karena rajin bersua.

di sini,
di tanah surga,
liberika tidak tumbuh dengan sempurna.
cinta yang dibangun
       gugur.
di sini,
di tanah ini,
liberika hanya berlalu saja.
seperti rasa cinta
yang gagal
karena tak sesuai selera.

/ekselsa/
tanah
ialah muasal
bagi hidup.

tanah rendah
ialah muasal
untuk menyambung hidup.

hidup
akan lebih hidup
sewaktu dipecah-pecah.

(Karanganyar, 2022)




Katarsis

kepahitan adalah variasi
dari rupa warna,
        rupa rasa,
        rupa cinta,
        rupa segala hal
        yang tak mampu diterima.

lidah,
kadang bisa menerima kepahitan.
tanpa pernah mampu
dilafalkan dengan alasan:
        “kenapa?”
          atau
       “karena…”

kopi yang disesap
menjelma jawaban
dari segala pertanyaan
        atas keragu-raguan.

(Karanganyar, 2022)




Bagikan:

Penulis →

Eko Setyawan

Lahir di Karanganyar, 22 September 1996. Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Buku yang telah terbit Merindukan Kepulangan (2017), Harusnya, Tak Ada yang Boleh Bersedih di Antara Kita (2020), & Mengunjungi Janabijana (2020). Buku Mengunjungi Janabijana meraih Penghargaan Prasidatama 2021 Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah kategori Buku Puisi Terbaik. Memperoleh penghargaan Insan Sastra UNS Surakarta 2018, serta memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Karya-karyanya termuat di media massa baik lokal maupun nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *