Seorang Pedagang Ikan Pantau

PADA sebuah pasar, di penghujung bulan November. Serombongan nyamuk mendengung-dengung mendekati mangsa. Di bawah terpal biru, yang sesekali diruntuhkan angin, jam tangan menunjukkan angka 17.30. Waktu yang mulai rawan bagi pedagang ikan pantau. Kesempatan tersisa, hanya sekitar satu jam lagi. Setelahnya tinggal jejeran jejak kaki menuju arah pulang. Ikan yang diobral, atau onggokan dagangan rusak karena tidak kunjung laku.

Sejak empat jam pasar beroperasi, suasana tetap saja lengang. Belum terdengar pertanyaan, “Berapa sepiring atau sekilo?” yang biasanya bermunculan tiada henti dari titik mana saja di tempat itu. Apa November, dalam fase senang membikin hati pedagang kecil jadi bersedih? Selain lebih sering didatangi gerimis bergantian dengan hujan deras disertai angin, ia juga lebih banyak dikunjungi pembeli payah ketimbang yang cukup memilih ikan pantau saja, lalu membayar tanpa perlu menawar-nawar sampai mulut monyong.

Dua hari lalu misalnya, ada pengusaha jajanan menawar dua ember ikan pantau kelewat rendah. Pasar baru saja beroperasi. Lapak baru sejam digelar. Si pedagang menolak permintaan tersebut. Si pengusaha merutuk, juga menceramahi pedagang ikan pantau supaya jangan mematok harga dagangan terlampau tinggi. Kejadian seperti itu acap kali terjadi. Bukan sekali dua kali. Tapi sering. Kalau masih dapat untung, tentu tak satu pedagang kecil pun mau menahan barang dagangannya.

“Pantau, pantau! Ikan pantau.”

Seruan itu terdengar nyaring dan jelas. Apalagi pada November basah begitu, para pedagang banyak yang tidak membuka lapak karena takut rugi akibat sepi dari pengunjung.

“Pantau, Kak. Bisa disiangi sekalian.”

Belum satu pembeli pun juga yang mampir ke lapak paling ujung. Dua tiga pengunjung dengan payung melindungi kepala, dari jauh hanya tampak melayangkan pandangan. Berdiri sejenak dengan kening mengerut, berpikir apakah akan menghampiri ikan pantau atau tidak. Lagi pula, kaki mereka malas melanjutkan langkah manakala sudah bertemu jalanan becek. Belajar dari pengalaman, yang membuat dada berdenyut cemas itu, pada penghujung pasar mulai tutup, akan muncul pembeli yang terkesan seperti malaikat.

Mula-mula si malaikat merayu. Bicaranya ingin memborong daripada si pedagang harus membawa pulang, resiko barang sudah pasti jadi busuk. Perlahan ia mulai mengajukan harga murah melampaui ambang batas. Tawar-menawar pun berlangsung. Pedagang ikan pantau berupaya agar tak segera melepas dagangannya. Hanya saja memang, akan tiba masa di mana pedagang kecil pasti menyerah di tangan pembeli. Seorang pedagang ikan pantau, mau tak mau jadi berpikir. Ketimbang ikan busuk, tak mengapa asal jadi uang saja. Uang yang bisa membayar angsuran atas pinjaman modal meski besoknya, kemungkinan tak buka lapak karena tak ada uang membeli ikan baru dari nelayan. Merelakan ikan diborong murah, setidaknya, cukup untuk membeli token listrik serta mengepulkan asap di dapur. Menanak nasi, menumis pedas pakis liar yang dipetik di tepi jalan, serta menggoreng sepiring ikan pantau yang terberkati. Itu semua dapat mengisi perut agar mampu melanjutkan hidup. Atau, supaya tak dihantui mimpi buruk tentang cacing pemangsa usus bila tak diberi makan pada malam hari. Sungguh pilihan yang tak mampu membendung air mata, sekalipun dagu diarah-arahkan ke terpal warna biru.

Ah, kawan! Hidup memang demikian. Bagi seorang pedagang ikan pantau, adakalanya bekerja, justru cuma menunggu kapan supaya benar-benar dikalahkan oleh satu dua pembeli.

 “Pantau, cantik-cantik. Sini tengoklah dulu, Kak!”

Terpal biru digoyang angin lagi. Kaki penyangganya miring kiri, miring kanan. November kembali dijatuhi gerimis, melayang melembapkan pakaian, dan semakin lama titik air menjadi besar. Pembeli yang sempat tertarik beranjak ke lapak paling ujung, akhirnya memutar haluan, dan melaju meninggalkan pasar.

Adalah Mak Long, pelapak di ujung pasar itu. Ia perempuan lima puluhan, bekerja menafkahi sekaligus mengasuh dua cucu laki-laki. Untuk mendapatkan barang dagangan, yakni ikan pantau segar yang disukai calon pembeli, setiap hari ia menempuh perjalanan lima belas kilo meter menggunakan sepeda motor. Ia menjemput langsung ikan pantau dari para nelayan yang menetap di tepi sungai Indragiri. Ia berusaha selalu datang tepat waktu, dan terkadang malah sebelum para nelayan tiba di rumah mereka dengan jaring dan bubu. Berjaga agar kawannya sesama pedagang tidak sampai memborong seluruh ikan pantau.

Dari rumahnya di seberang jembatan, yang mesti melewati kebun sawit penduduk, ia berangkat membawa keranjang dengan kantung sepasang di kiri kanan. Ia akan menampung ikan dalam plastik kaca berukuran besar berisi air agar ikan pantau yang masih hidup dapat bertahan sampai tiba jam pasar beroperasi, meski seringnya, ikan-ikan itu akan pingsan lalu mati dalam perjalanan.

Pada November berhujan begini, di mata Mak Long, para pembeli terlampau cerdik, bila bukan licik. Atau boleh juga dikatakan tak berperasaan. Bila sedang sangat dongkol, Mak Long akan mengatai mereka jahat. Orang tak punya hati. Memang tidak semua pembeli setega pengusaha jajanan itu. Tapi dari sepuluh pembeli, paling dua orang saja yang cukup menanyakan harga tanpa pernah menawar apalagi sampai mulut monyong.

Sepiring ikan pantau harganya sepuluh ribu. Jasa menyiangi tak pernah masuk dalam hitungan. Menyiang ikan berukuran kecil bukan berarti lebih gampang ketimbang ikan besar. Saking kecil, adakalanya yang tersayat malah jemari tangan. Mak Long selalu membawa persediaan satu dua lembar Hansaplast dalam saku jaket. Sebelum itu, ia pernah menangis tersedu-sedu karena harus mengoyak ujung kerudung untuk membalut luka pada ibu jari tangan kirinya. Lalu, bagaimana mungkin ada orang tega menawar ikan pantaunya menjadi lima ribu? Sementara, seseorang yang Mak Long kenal, yang pada menit-menit pasar akan tutup sering datang memborong murah ikan pantau dagangannya, ia tahu  pengusaha jajanan yang sukses. Mak Long pernah mencicipi rempeyek pantau buatan si pengusaha. Rasanya sungguh enak. Gurih dan sedikit manis di lidah, dan Mak Long, pernah membelinya sebagai oleh-oleh ketika pergi menjenguk saudara. Rempeyek pantau itu sangat laris. Ia ikon kuliner khas di kota tempat tinggal Mak Long.

“Pantau, pantau. Ikan pantaunya cantik-cantik, Kak!

Mak Long menjejerkan sepuluh piring berisi ikan pantau. Pantau dengan perut sudah dibelah serta yang masih utuh. Mata pengunjung menatap lama. Kening mengerut, menimbang apakah pada November berhujan perlu membeli satu dua piring ikan pantau, atau justru lebih baik menghampiri penjual daging untuk memilih iga sapi untuk dijadikan sup yang konon katanya dapat menghindarkan tubuh dari pilek.

Jam di tangan menunjukkan angka 18.30. Segerombol nyamuk mendengung di telinga. Sebagian menghantam kulit kaki dan tangan. Di kejauhan sana, lampu dari toko rempeyek pantau sudah bernyala, para pembeli tampak keluar masuk. Kendaraan roda dua maupun empat menembakkan sinarnya di jalan aspal persis di seberang pasar. Para pelapak cepat-cepat mengemas barang dagangannya. Dari titik berbeda terdengar suara mengobral ikan jenis lain. Itu mereka yang modal dasar dagangannya telah kembali. Mereka sudah mengantungi sejumlah uang sehingga punya modal untuk membeli barang baru keeseokan harinya. Jadi kalaupun sisanya dijual sangat murah, itu semua tinggal untung saja.

“Lima ribu. Ikan puyu sepiring lima ribu.”

“Tak empat ribu?”

“Angkut.”

“Dua piring tujuh ribu, ya?”

“Ambil tiga piring sepuluh ribu.”

Si pedagang yang mengobral ikan puyu sibuk membungkus dan menerima bayaran. Mak Long terkesima, tak mampu membuat perlakuan sama terhadap ikan pantau miliknya. Sejak empat jam pasar beroperasi, belum satu pembeli pun membawa pulang dagangannya. Pengusaha jajanan yang ia cemaskan akan datang menawar-nawar sampai mulut monyong, juga belum muncul.

Ke mana November membawa pengusaha itu? Tanya hati Mak Long, sekilas. Ia memukul nyamuk yang menikmati darah dari tubuhnya. Kaki, tangan, pipi, dan kening. Nyamuk juga berdengung-dengung di atas kerudungnya. Dari lubang hidungnya, ingus mulai merembes. Apa aku sedang flu? Tanya Mak Long, dengan suara parau. Ia kemudian mengusap mata dengan tangan kiri. Tangan kanannya menggaruk bekas gigitan nyamuk. Sesudah menghela napas panjang, ia lalu berkata betapa November kali ini sungguh sampai hati mengirim hujan ke matanya.

“Belum habis ikan pantaumu, Mak Long?”

Satu teriakan muncul dari arah masuk pasar. Mak Long mencoba mengenali suara itu. Pada hari yang remang, bola matanya sudah kurang mampu mengenali wajah seseorang dari jarak tertentu.

“Ini aku, Mak Long! Seperti biasa. Hehehe ….”

Pipi Mak Long menghangat. Sepasang bibirnya tertarik ke ujung, ia tersenyum setelah tahu siapa gerangan. Ikan yang sudah sempat disimpan kembali dikeluarkan, lalu dikemas dalam dua kantung plastik, yakni pantau perutnya sudah dibelah dan yang belum.

Sembari mengikat kantung berisi pantau, ia sekuat daya menyemangati diri sendiri. Aku tak boleh bersedih, ucapnya dalam hati, berupaya merawat harapan yang tertancap dalam di sanubari. Mak Long, tentu sudah hafal tabiat kehidupan. Dikalahkan atau mengalahkan. Jatahnya yang pertama. **

                                                                                                Riau, November 2021

=================
Jeli Manalu
, senang menulis dan berkebun. Ia lahir di Padangsidimpuan pada 2 Oktober 1983, dan saat ini tinggal di Rengat Riau. Cerpen-cerpennya terbit di media lokal dan nasional. Buku kumcernya “Kisah Sedih Sepasang Sepatu” tahun 2018.

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *