Pecahan Bayang-bayang Nasib


Nyanyi Pait

aku tenggelam di dasar bunyi igauan, tubuh pecah pada tanah
sungai dan liang lahat adalah bahasa batu-batu yang rebah

dan menimpa bunyi sore yang bergesek di udara, ketika angin
sembunyikan semburat mega-mega di bawah kepak sayap

dari kengerian rasa sakit yang panjang, berbisik di antara julai
rumpun ilalang di sepanjang petang yang kesepian, ranting-ranting

hanya disinggahi kelam bayang-bayang, bekas cakar merah
yang menggores udara menjelang bintang timur timbul

kicau gaduh burung-burung yang pulang membawa mimpi
terbang ke dalam sarang nyanyi pait para petani yang tergusur

suara, akulah nasib, yang berangkat menyambut pekat seluruh
kekisruhan pikiran kota-kota, penat memekikkan kerentaan

detik demi detik yang terkumpul menjadi satu titik kebisuan
kematian tanpa upacara, penguburan bangkai-bangkai cinta

2021




Genap

saat hujan genap seperti ratap kesedihan, kotamu dan kotaku
satu jantung yang basah, menggigil dan merah, bintang-bintang

airmata yang bersinar, gambaran napsu binatang kesepian yang bersembunyi di balik diri yang berlumuran darah dan darah

pecahan bayang-bayang nasib, doa yang bersemoga keajaiban
mimpi buruk yang mabuk maut dan tidur para gelandangan

diselimuti demam, suram suara jam dalam hujan yang
mengetuk hatimu, menggigilkan kamar kelam lapar

kau membentur-bentur permukaan benda-benda jadi gema
musik yang genap bernyanyi pada tubuh-tubuh nestapa

2021




Kutuk

bulan ketiga telah mengutukku menjadi sepasang ikan yang bimbang berenang pada laut tanpa gelombang, peragu datang sebagai kesedihan

waktu, dan membawa detik jatuh yang menjadi airmata karang, berumah dalam diam aku kisut di permukaan malam, terapung pada bulan yang

memikirkanku sebagai seorang lelaki yang menduadi satu sisi dingin, di lainnya padam, ada setiap angan-angan aku bergeser seperti pasir dalam

pikiranku sendiri, sungai hanyalah rasa getir yang mengalir tanpa ujung, dan kesusahan hidup yang menjelma batu-batu yang kelak menamakan |

nisankukabut berhalimun di sepanjang batas pantai, dan mayatku tubuh pulau yang kosong, hanya suara-suara saut sepi waktu yang melampiaskan

kemarahan pada diam, hanya sebentuk napsu yang mengutukku sebagai penyair gagal

2021




Pohon

ketika sungai mengalir ke atas dan bertemu langit, ketika laut bergelombang udara malam menguapkan kabut membungkus lutut

bongkah-bongkah keriput dari usia waktu yang tua dan mati
bersama rumput-rumput, tanah, segala yang pernah singgah

dan larut oleh sejarah, menyerap jejak, dan mencatat yang tampak
pada cuaca dan burung-burung yang memanggul nyanyi sedih

di atas hutan-hutan yang berubah menjadi padang, ketika tandus
adalah angka-angka yang terbang mengendus gedung-gedung

yang berdiri memanjang di penanggalan, melukis kejahatan pada
setiap warna yang mereguk matamu ke dalam ceruk airmata

bukit-bukit, dan seluruh rasa sakit yang menanggung seperti waktu
yang mengalir, dan kembali mengalir waktu seperti kesunyian jantung

dan darah yang kembali merah dari kelahiran dan kematian pohon-pohon
yang menjadi bayang-bayang mengunjungi masa depan di kepala kosong

2021




Bahasa

bahasa tuhan terterjemah dalam kamus puisiku, membawa Tanya
ke padang-pedang terik si majnun, menyeret beribu-ribu luka

pada jejak-jejak yang terlupa dalam sejarah pemaknaan bangkai
lantas, pada makam apalagi kau mencuri bunyi kata-katamu hai

penyair yang telah mengorbankan takdir pada sebutir getir
nasibmu waktu yang berkatrastopi dalam imaji-imaji kematian
yang ambigu, suaramu adalah paradoks masa depan, kunang-kunang
yang bangkit dari keterasingan malam yang mencabik rindu

dalam gelap seribu mimpi kau mencari di kota-kota manhattan yang memanggil keramaian orang-orang tentang dunia luar

datang sebagai rumah paling gaduh yang menanti perpisahan
yang mengigau tentang cinta sebelum maut memulangkan jasad

tapi tuhan telah menyerahkan bahasa kepada semesta
yang kautafsirkan dalam tiap doa, bahasa tak lahir dari hampa

yang larut lamat-lamat dalam diam, ia nyanyian digemakan
dada selepas napas mengendarai musik di lautan instrumentalia

2021

Bagikan:

Penulis →

Khanafi

Lahir di Banyumas, Jawa Tengah. Tulisan-tulisannya berupa puisi dan cerpen tersiar di beberapa media massa baik daring maupun cetak, seperti: Detik.com, Koran Tempo, Magrib.id, Beritabaru.co, Langgar.co, Ceritanet.com, Sastramedia.com, Litera.co.id, Linikini.id, Kompas.id, Tembi Rumah Budaya, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Radar Banyuwangi, Radar Banyumas, dll, serta terikut dalam beberapa buku antologi bersama. Sehari-harinya bekerja sebagai editor lepas dan penjual buku lawas. Kumpulan puisi pertamanya bertajuk Akar Hening Di Kota Kering (2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *