AKU masih menahan-nahan, tapi Rusdi tetap nyerocos. Ia berusaha mengulitiku, membikinku tak berdaya. Padahal, kalau boleh jujur, injakan kakinya ke rumahku ini sangat tak kuharapkan. Soalnya sore nanti kedatangan tamu istimewa dan sebetulnya pintuku tak ingin kubukakan untuk siapa pun kecuali tamu itu.
Namun siang ini, tiba-tiba Jazz Rusdi mendarat di halaman rumah. Awalnya agak merasa berdosa ketika sebetulnya tak ingin kubukakan pintu untuknya. Tapi kemudian ia teriak-teriak memanggilku macam orang gila. Wah, kawan lama ini menyusahkan saja, jadi tak enak dengan tetangga. Terpaksa kubukakan pintu.
Usai pintu menguak, selepas berjabat tangan dan kupersilakan duduk di ruang tamu, yang keluar dari mulutnya pertama bukan sapaan, tapi nada-nada pamer dan seolah beraroma dendam.
“Bagaimana mobilku ini? Pajaknya saja bisa buat beli mobil lagi.”
Ia tersenyum tengik sambil kemudian mengangkat satu kakinya, metingkrang. Lengan kirinya ia letakkan di sandaran sofa. Edan, macam bos besar saja. Belum sempat aku menjawabnya ia sudah nyerocos lagi.
“Lihat,…” kata Rusdi. Tatapannya seolah menyuruh pandanganku mengikuti gerak tangannya yang bergaya bak motivator itu. “Kau harus memikirkan masa depan, Bung. Masa depan yang jauh di ujung realitas hidup sekarang. Pandemi ini, Bung, semua jadi serba susah. Kau harus bisa berpikir out of the box. Cobalah sedikit-sedikit mencontoh cara kerjaku ini. Lihat kan hasilnya? Biar kau tak tipes seperti mereka-mereka itu.”
Ealah, kaget aku atas ucapannya yang tak awas itu. Tanpa basi-basi, dan jauh dari pertimbangan. Cara ngomongnya ini masih berlagak seperti dulu. Temponya lambat, seolah lawan bicaranya dipaksa menyimak tiap detail ucapannya. Dan pada akhirnya bertujuan mengakui kehebatannya.
Namun aku hanya tersenyum saja menanggapi sambil bangkit dari kursi dan pura-pura menyibukkan diri menyiapkan susunan filtrasi akuarium untuk jualan ikan hiasku. Sehari-hari memang aku peternak ikan hias. Ada delapan akuariumku, lima kutaruh di ruang tamu, sisanya kusimpan di dalam yang memang kusiapkan untuk ikan-ikan yang sudah dipesan orang. Meski keadaan itu kuduga bakal dijadikan bahan Rusdi untuk menembakku, biarlah. Sungguh, apa pun itu, diam-diam aku tak ambil peduli.
Cuma ya begini susahnya, demi menjaga kekariban sesama, kita harus pandai membatasi diri. Ada aurat istilahnya, ada batasan-batasan biar orang lain tak merasa tersinggung. Sialnya aku ini memang orangnya tak tegaan. Walau sebenarnya memiliki cukup bahan untuk membuatnya megap-megap.
Tapi biarlah, aku juga tak kepingin membuatnya paham lantas mengakui. Toh, pengakuan darinya tak miliki pengaruh apa pun bagi hidupku. Kupikir mubazir waktu juga, sia-sia dong nanti napasku keluar hanya untuk hal yang manfaatnya nihil belaka. Apalagi kami juga jarang ketemu. Ini saja dia menghubungiku tiba-tiba sejak bertahun lamanya tak bertemu. Selepas lulus kuliah, kabarnya ia lenyap ke luar negeri.
Rusdi ini, dandanannya selalu necis, up to date. Katanya, sebuah kemunduran jika ia tak mengenal style bersolek. Kepercayaan dirinya akan pudar seandainya ia tak nyemplung ke dalam arus orang modern. Dari model berpakaian celana gombrong dan kemeja dibedah mirip rockstar, Robert Plant, hingga kini rambut pirangnya mirip artis-artis korea ala-ala Park Ji-min. Beruntungnya, ia memiliki kontur wajah yang mendukung. Makanya, ia sadar harus memanfaatkan itu.
Sebetulnya bagiku, sebagai teman, itu adalah kabar yang menggembirakan. Ia amatlah maju. Ia tanggap, lunak, dan bisa dipasang pada perubahan-perubahan.
Cuma sayangnya, kupikir kemajuannya itu ia bawa pada bentuknya semata. Semestinya nilai-nilai diri yang harusnya ia utamakan agar kelunakannya itu tak meleset. Coba lihat cara bicaranya, cara bertamunya, aneh. Mekanisme memulai pembicaraannya, harusnya dari basa-basi baru menukik ke inti. Tapi Rusdi ini membalik tata letaknya, obrolan basa-basinya diletakkan terakhir. Kesannya tak ada unggah-ungguhnya. Tidak njawani. Agaknya memang ada yang tak waras ini dari otaknya.
Bolehlah kalau ia ingin terlihat mentereng di hadapanku. Berkilau seperti kerlip berlian. Tak masalah. Malahan bakal membuatku senang melihat kemajuannya. Tapi sudah lama tak bertemu, harusnya ia tanya kabar dulu. Berkabar soal pekerjaannya, istrinya. Atau ngobrol sedikit mengenai masa lalu. Bernostalgia saja, remeh temeh. Atau ia masih saja menaruh dendam kepadaku? Selain pernah merebut pacarnya yang kebetulan sekarang jadi istriku, aku juga pernah mendamprat omongannya di seminar kewirausahaan. Ia langsung kincep. Seingatku setelah itu sikapnya kepadaku berubah total. Ada jarak yang memang sedang ia jaga.
“Orang-orang barat itu, Bung, sekarang ini, sedang merancang battle of mind?”
“Battle…?” jawabku sambil memperagakan atlet MMA. Gila. Kenapa pula aku ikut kejebur ke dalam arus pembicaraanya.
“Mereka sengaja menyiapkan maintenance yang rumit sekaligus menciptakan barang-barang luks yang seolah menjawab kebutuhan pasar. Di samping sedikit-sedikit memunculkan trend baru. Secara tak langsung orang-orang bakal terserang pola pikirnya. Yang tak kuat ya bakal tersisih. Lihat saja negeri ini, produsen kecil di ladang-ladang yang tak seberapa itu, mereka gagap pada perkembangan. Tampaknya orang-orang barat dulu tepat sekali merancang revolusi.”
O, baiklah. Ia mulai menyangkut-nyangkut soal konspirasi. Luar biasa. Jujur saja, sejak mengenalnya di himpunan kampusku dulu, aku mengakui teori-teorinya memang mutakhir, berdasar sumber yang terpercaya. Ia mampu menyelami ke alam pikiran yang lebih rumit dan sempit. Tapi sayangnya, beberapa kali kuketahui mesin dalam hatinya pada kenyataannya bergerak tumpang. Ia sering luput menempatkan diri.
“Coba kaupikir, kenapa Indonesia masih mengadakan impor beras? Padahal, negeri kita kaya raya?”
Aku mengrenyitkan dahi, tampaknya pembicaraannya melaju kian serius.
“Banyak sekali faktor, Bung. Salah satunya bisa ke efek kepercayaan, Bung. Ke-per-ca-ya-an!”
“Kepercayaan?”
“Betul, persis seperti itu. Orang Indonesia itu hobi berprasangka. Krisis kepercayaan. Petani Indonesia yang masih banyak mengandalkan keringat dan tak berusaha membuka matanya lebar-lebar, akan menjadi sansak bagi jaringan yang tidak terlihat itu, Bung. Dan Para Penguasa sudah kehilangan kepercayaan atas mesin yang geraknya lelet.”
“Begitu? Bukannya itu bisa mengarah ke soft-kriminalitas?” Aduh, bodohnya aku menanggapinya, mengaitkannya, ikut berkalimat macam-macam seperti dirinya.
“Hidup ini keras, Bung! Kalau kau tak mampu mengendalikan porosnya, kau cukup mengikuti dan memanfaatkannya. Nakal sedikit, itu bukan soal. Sebelum memikirkan jaminan kesejahteraan yang luas, kau harus memikirkan dulu perut sekitarmu, istrimu, anakmu. Paling tidak kau sudah selesai dengan kebutuhan pribadimu. Baru kau bisa enteng memikirkan hal-hal yang makro.”
Tuh kan. Sudahlah, tak ingin lagi aku menanggapinya macam-macam. Aku berusaha saja nylimur, bangkit dari kursi melangkah ke depan akuarium, memberi makan ikan-ikan hiasku. Sebetulnya aku hanya ingin memberinya tanda kalau aku tak tertarik pada obrolannya. Tapi, memang babi betul ini anak.
“Saya ini kemari ingin membagi pengalaman padamu. Biar ini…” ia menunjuk ke kepalanya, meski maksudnya mengarah ke kepalaku. “…komponen yang ada di dalam kepalamu ini jalannya biar gagah, outputnya nanti ya biar kinclong. Hidupmu biar tak begini-begini saja, Bung. Kudengar dari Aji, bendahara kita dulu, kau hanya jualan ikan hias. Ya kalau yang kaujual ikan-ikan kelas atas macam arwana. Tapi ternyata yang kau jual malah ikan-ikan menyedihkan macam oscar, koi, cupang seperti ini. Aduh-duh, aku kok merasa kasihan melihat kawan debatku dulu berakhir seperti ini.”
Oalah, memang benar-benar bandit ini anak. Agaknya mulutnya ini sudah salah kemasukkan sarapan. Ingin sebenarnya kupopor ucapannya, tapi entah kenapa sesuatu di dalam diriku memang sangat kuat menahan. Tetapi, semakin kutahan, kok ya semakin berahi pula keinginannya untuk menenggelamkanku. Terpaksa sedikit kupotong saja ia.
“Sebentar, Bung. Anda kok semangat sekali, kubuatin kopi ya?”
Ia tak menjawab, hanya menoleh dan menatapku dengan mata yang tampak runcing.
“Iya, kopi temanggung. Pahit atau manis?”
“Aduh. tak usahlah, Bung. Aku ke sini sebenarnya juga membawa niat baik padamu. Kebetulan aku sudah bawa kopi sendiri asli dari kafe baruku. Melihat realita hidupmu yang, maaf, mengenaskan seperti ini, aku ingin menawarimu pekerjaan.”
Ia langsung nyelonong ke mobilnya. Tak berlangsung lama ia kembali masuk membawa botol kopi dan menyodorkannya kepadaku.
“Kafe baruku ini kunamai Brenchtje, Bung. Dengan gaya Indis Belanda. Penyeduhan kopinya, Bung, sudah memakai mesin speedster. Kau tahu, Bung, mesin yang kumaksud itu? Wah, sepertinya kau terlalu lama bergaul sama ikan-ikanmu itu, sampai kopong begitu otakmu.”
Kami tertawa, namun gelak tawa kami tentu berbeda pemaknaanya. Ya, aku hanya ingin menyenangkannya saja.
“Sebetulnya, kafe baruku ini sedang membutuhkan waiters, Bung. Daripada berjualan ikan yang untungnya hanya mentok untuk makan sehari-hari, lebih baik kerja di kafeku. Soal gaji, beres. Tak perlu pusing. Lebih lah dari sekadar UMR. Kau harus memikirkan istrimu, Bung. Istrimu itu, perlu sekali-kali diajak berlibur. Ya, tapi kalau sehari-hari kau ngurusi ikan melulu, mau berlibur pakai apa?”
Ia tertawa lantang. Babi. Bisa-bisa kutumpahin sisa kopi ini ke mukanya. Namun kau beruntung, Rus, dering ponselku menyelamatkanmu. Pak Soeryono, juragan ekspor tuna dan sidat ke Jepang, tamu istimewa yang kumaksud, menelpon.
“Ya Pak, saya di rumah, langsung ke sini saja. Masih hafalkan rumah saya?”
…..
“Tenang, Pak, sudah saya simpan di tempat aman.”
…..
“Seperti kemarin, Pak, 500 juta.”
Aku melirik ke arah Rusdi. Ia tampak memperhatikan percakapan singkatku.
“Siapa sih? Kek orang sibuk saja kau ini.”
“Ada sih, klien.”
“Lagakmu bilang klien segala.”
Aku nyengir pahit kepadanya. Namun kurasa itu cukup membuatnya kehabisan bahan. Buktinya ia terlihat keki, dan tak lagi berkalimat-kalimat menjengkelkan seperti tadi. Bahkan, ia tiba-tiba meminta izin kepadaku untuk ke toilet. Mual kan perutmu, Rus? Biar mati penasaran dia.
“Lurus saja, nanti mentok ada akuarium, nah setelah akuarium belok ke kiri.”
Setelah Rusdi ke belakang, tiba-tiba klakson mobil mercy berbunyi beberapa kali di halaman rumah. Pak Soeryono! Ini dia. Daripada mengurusi Rusdi yang tenggorakannya perlu disemprot soda api itu, lebih baik kubukakan pintu, mempersilakan juragan ini masuk, membicarakan hal-hal yang lebih bergairah.
“Aman kan ikannya?”
“Beres, Pak.”
“Ini saya bawa teman. Dia sama seperti kita, pecinta arwana. Dia dari Jepang, tapi sudah lama pindah ke Indonesia.”
Aku mengangguk sambil memperkenalkan diri.
“Harga yang Sumo 500 juta seperti yang di kontes kemarin ya? Gamau dikurangin lagi nih?”
“Wah, belum berani saya, Pak. Itu paling susah bridingnya, bertahun-tahun.”
“Okelah, katanya kau ternak juga yang Batik Myanmar? Nah, ini si Nakata tertarik. Barang langka itu. Berapa pun dibayar.”
“Serius ini, Pak?”
Namun, di tengah percakapan kami, mendadak Rusdi muncul dari balik gordin ruang tamu. Bahkan tiba-tiba ia meminta izin pamit kepadaku, katanya ada urusan. Aku mengangguk padanya,
Dengan gegabah, dan tak hati-hati, kepalanya kejedot ruas atas pintu ruang tamu. Tampak sekali ia panik dan seolah sedang menyimpan sesuatu. Biarlah, memang orang tak waras. Aku kembali duduk, dan tentu dengan sumringah melanjutkan penawaran yang menggiurkan ini.
===================
Nafi Abdillah. Menulis puisi dan cerpen. Seorang pembelajar di salah satu padepokan di selatan Jawa Tengah. Hari-harinya ia habiskan dengan menulis dan mengurusi penerbitan buku indie (Sirus Media). Ia juga bergiat di Komunitas Sastra Kamar Kata Karanganyar dan Forum Malam Sastra Pandawa. Karya-karyanya pernah tersiar di beberapa media cetak maupun online dan beberapa kali menjuarai ajang perlombangan menulis tingkat nasional.