PERTAMA-tama, para penulis atau penyair di Indonesia patut bersyukur bahwa ruang publikasi karya sastra (baik prosa maupun puisi) di media massa sampai hari ini masih tetap ada di tengah-tengah situasi di mana tak sedikit media massa yang bertumbangan, meskipun di saat yang sama para penulis/penyair juga wajar bersedih karena sejumlah media yang tetap mempertahankan ruang sastranya itu kini tak lagi menyediakan honorarium. Sedih, bukan semata-mata soal uang atau materi, tetapi juga agaknya dengan demikian, kurasi di media massa tersebut menjadi lebih longgar dibanding ketika ia masih menyediakan honorarium, lantaran barangkali sebagian penulis atau penyair menjadi enggan mengirimkan lagi karyanya ke media tersebut.
Terlepas dari itu, berkat eksistensi ruang sastra yang masih bertahan itu, penulis/penyair masih terus mendapat pengumuman perihal karya-karya siapa yang tayang pada akhir pekan—dan kini ada juga yang tayang pada tengah pekan. Pengumuman itu biasanya akan disambut dengan riang gembira, terutama oleh penulis yang karyanya dimuat.
Namun, mengenai bagaimana sikap audiens (dalam hal ini terutama penulis/penyair lain) merespons tayangnya karya seseorang, saya pikir layak menjadi perhatian. Sejauh saya mengamati, kebanyakan atau hampir semua respons hanya berbentuk ucapan ‘selamat’ atau ‘keren’ atau ‘mantap’, atau sejenisnya. Ucapan-ucapan yang melambungkan kebahagiaan si penulis/penyair yang dimaksud. Seolah tak ingin merusak kegembiraan si penulis/penyair tersebut, sangat jarang atau bahkan hampir tidak pernah ada penulis/penyair lain yang merespons dengan memberikan masukan atau kritik (tentu saja setelah melakukan pembacaan yang serius dan cermat).
Setidaknya begitulah yang saya perhatikan di Grup Sastra Minggu di Facebook selama bertahun-tahun belakangan, yang saban akhir pekan konsisten mengumumkan karya-karya yang tayang. Tetapi, pada intinya bukan cuma di grup itu saja, di luar grup itu pun sama saja keadaannya.
Sebagai orang yang masih terus belajar, saya tidak tahu mengapa demikian. Lebih tepatnya, saya heran mengapa seolah-olah harus demikian. Saya tidak tahu sejak kapan atmosfernya seperti itu: apakah memang sudah berlaku sejak zaman ketika belum ada media sosial atau justru baru terjadi sejak kehadiran media sosial? Dan saya ingin sekali tahu, apakah tidak ada di antara anggota grup tersebut yang tidak terusik dengan atmosfer yang seperti itu? Apakah apresiasi terhadap karya sastra memang hanya harus berupa kata-kata ‘selamat’, ‘keren’, ‘mantap’, atau sejenisnya?
Bagi saya pribadi, kok ya, rasa-rasanya kata-kata itu terdengar seperti basa-basi penuh kehampaan; dan basa-basi, kita tahu, biasanya sejalan dengan kurangnya kadar perhatian, kurangnya kadar keseriusan, dan bahkan pada kadar dan oleh orang tertentu, tidak ada perhatian dan keseriusan sama sekali.
Maksud saya begini: orang-orang yang sekadar mengucapkan ‘selamat’ atau ‘keren’ atau ‘mantap’ itu, apakah benar-benar sudah membaca karya orang lain yang diselamatinya, dikereninya, atau dimantapinya? Saya tahu, pastilah ada yang sungguh-sungguh membaca sebelum mengucapkan ‘selamat’ atau ‘keren’ atau ‘mantap’, tetapi berapa banyak? Dan kalaupun memang sudah membaca dengan saksama, apakah ia tidak geregetan untuk merespons lebih dari itu? Apakah ia memang punya semacam pengendalian diri yang begitu hebat sehingga dirinya mampu menahan diri untuk tidak memberi tanggapan lebih dari sekadar kata-kata selamat yang penuh basa-basi atau kata-kata pujian kosong?
Saya kira akan tak berlebihan jika kita berasumsi bahwa ia memang tidak membaca karya-karya orang yang diselamatinya atau dipujinya itu; atau setidaknya, ia tidak/belum membaca dengan serius dan saksama.
Dianggap Iri dan Nyinyir
Dunia kekaryaan itu mestinya riuh dengan kritik alih-alih pujian kosong dan ucapan selamat yang hampa. Tidak cuma sastra, tetapi dalam hal karya apapun itu. Saya pribadi, pada setiap karya saya yang tayang, saya sangat menanti-nanti ada teman penulis yang menyampaikan tanggapan berupa kritik, misalnya, “Alinea pertamamu kurang enak, kurang mewakili isi cerita yang kamu tulis”; atau “Gaya ungkapmu terlalu bertele-tele, sampai-sampai kau lupa kalau porsi konflik yang harusnya kaupaparkan lebih detail malah tak tersampaikan”; atau “Penutup ceritamu terlalu klise. Tidak ada kesegaran di sana”; atau “Ceritamu tidak logis. Bagaimana bisa seorang gelandangan bisa dikenal oleh seorang menteri? Aku tidak menemukan penjelasan apapun yang menjadikannya logis”; dan sebagainya. Dengan begitu, saya bisa mendapat pelajaran dari kritik-kritik itu dan membaca ulang tulisan saya.
Beberapa kali saya pernah mencoba menerapkan apa yang saya harapkan itu terhadap karya teman-teman penulis/penyair setelah saya membaca secara cermat karya mereka, namun sayang hasilnya sungguh menyedihkan. Alih-alih mendapatkan tanggapan atau penjelasan atas kritik yang saya layangkan, penulis yang bersangkutan malah diam seribu bahasa. Barangkali mereka tak senang atau marah. Bahkan ada yang sampai meng-unfriend saya di Facebook. Pernah suatu kali, menyempil di antara orang-orang yang semuanya memberi selamat dan pujian, saya malah menuliskan komentar “tak sedap” pada unggahan foto karya seorang penulis di Facebook. Penulis itu saya tahu tergabung dalam sebuah komunitas sastra terkenal. Saya kritik puisinya, saya uraikan apa-apa saja keganjilannya, dan saya minta pertanggungjawaban dari si penulis yang bersangkutan. Sampai berhari-hari komentar saya itu tak berbalas, namun pada waktu yang bersamaan, penulis yang bersangkutan sempat membalas komentar-komentar lain yang memberinya ucapan selamat dan pujian.
Yang lebih menyedihkan, saya tidak tahu apakah ini benar atau tidak, seorang kawan berkali-kali mengingatkan saya untuk tidak usah repot-repot mengkritik karya orang lain karena, katanya, “Nanti kau malah dianggap nyinyir!” Yang lebih parah, kata kawan saya itu lagi, “Kau akan dianggap iri dan tak mampu.”
Ini barangkali perlu dikonfirmasi. Apakah benar kalau kita mengkritik karya orang lain, apalagi di ruang publik (misal unggahan di Facebook), kita akan dianggap nyinyir? Apa betul kita akan dianggap iri dan tak mampu? Kalau sampai apa yang dibilang kawan saya benar, itu sungguh gawat.
Kritik Adalah Bentuk Tertinggi Apresiasi
Sebenarnya apa yang saya sampaikan dalam tulisan ini, saya yakin sangat disadari oleh para penulis/penyair. Dari lubuk hati mereka yang paling dalam, lebih menginginkan dikritik daripada dipuja-puji, apalagi dipuja-puji tanpa disimak secara saksama karyanya. Hanya saja, barangkali, atmosfer yang selama ini terbentuk membuat laku kritik-mengkritik atau laku saling mengkritik menjadi redup, kalau bukan mati. Mengkritik seolah-olah pantang dan dosa.
Atmosfer yang saya maksud adalah atmosfer di mana para penulis/penyair kelewat menjaga perasaan orang lain sehingga sungkan mengkritik. Padahal masalahnya sederhana saja. Mana yang lebih penting: menjaga perasaan orang lain (tidak meruntuhkan kegembiraannya di hadapan publik) atau memberinya pelajaran berharga demi perkembangan atau perbaikan kualitas tulisannya?
Bagaimanapun, suka atau tak suka, saya kira kritik adalah bentuk tertinggi apresiasi. Di dalamnya terkandung pembacaan yang saksama (bahkan bisa berulang-ulang), dan itu berarti ada waktu dan tenaga yang tak sedikit yang diluangkan oleh si pengkritik. Dengan kata lain, kritik justru merupakan bentuk perhatian dan kepedulian yang serius dan mendalam terhadap karya yang kita hasilkan. Bukankah sejak awal kita menulis, yang paling kita harapkan adalah karya kita dibaca orang, apalagi dibaca secara serius?
Dengan atmosfer saling mengkritik, seorang penulis/penyair tidak akan sembarangan dalam berkarya. Upaya untuk menghasilkan karya yang sebagus mungkin, akan lebih ia tingkatkan karena ia harus bersiap-siap menghadapi kritik dari sesama penulis/penyair ketika karyanya dimuat. Laku kritik-mengkritik atau saling kritik saya pikir justru akan membuat dunia kepenulisan sastra kita lebih semarak, lebih bergelora, dan lebih hidup. Yang dikritik tak usah baper, yang mengkritik tak perlu sungkan. Mengkritik tidak berarti tidak sopan. (*)