Banjir
keyakinan orang-orang terkubur dalam agama yang dangkal.
pemahaman-pemahaman terbakar oleh prasangka tanpa sangkar.
saat hujan datang, hujjah pun mengambang, bersama banjir
yang mengapungkan kapar-kapar.
nun, rumah-rumah yang bertuhan kepada nabi, tenggelam sampai ke bumbungan.
pohon-pohon jeruk pucuknya melambai-lambai, buahnya yang belum matang
megap-megap dalam air dan arus keruh.
mereka menjangkau buah jeruk, apa yang dapat dijangkau tangan.
bersabda tentang surga yang ikut bertepuk tangan.
heran, kenapa agama dikekalkan pada aksi pencurian?
sedang Tuhan telah lama dipinggirkan dari hati yang ugal-ugalan.
beginilah banjir. ke mana-mana kubayangkan nuh mencari muatan;
aku hanya ingin menumpang dan lepas dari mimpi terkapar di hujan malam,
hujjah yang dingin di beku akal.
Kubang Raya 2021
Setetes Madu, Sungai Sedalam Kalbu
ia pernah datang padamu dengan setetes madu langka.
dari rimba puaka, dari sialang bercabang-cabang,
bersilang-silang tempat berzikir para siamang,
gelantungan demi gelantungan
batang yang tampak ngeri
tapi sungguh tiada pernah ada sesaji
pun doadoa keji, tempat hantu dan manusia membikin janji
**
tapi kemudian ia mabuk
dosa berseluk beluk
juga nafsu terkutuk demi terkutuk
yang lupa rukuk
yang lupa di antara dua duduk
“saksikanlah, ia lebih bahaya dari neraka
airmatanya siasia,
seluruhnya tipu daya”
**
tapi kudengar, kau menyebutnya perkasa
melambungkan namanya ke angkasa
padahal ia yang tersiksa, bagi seluruh antariksa
yang tak pernah kauperiksa karena sempurna percaya
**
katanya kepada diri, yang telah lazim menakar keji
“Assalamu ‘Alaikum hati yang nyaris sebundar zakum,
keselamatan bagimu. Tuhan Maha Melihat,
kau yang terlanjur jahat selalu ada taubat”
**
nasuha
nasuha
ia lempar paha, ia incar dada
ia takar airmata
ia seret tubuhnya ke dalam pinta, pinta di pintu tapa
pahala! pahala! hancurkan tubuhku yang berhala
izinkan hamba tetap manusia.
**
ia datang padamu
mengemis madu
setetes di lidahmu yang beribu
menjadi sungai sedalam kalbu
2021
Menyiangi Duri dari Doa Sunyi
ia berdiri, sembari menyiangi duri dari doanya yang kian sunyi,
ketika airmata jatuh ke langit, demi harapan yang senantiasa terasa sulit.
semula ia yakin kelahiran tak lebih darah yang berhasil mengental,
berubah jadi makhluk yang dihantarkan ke bola bumi.
seiring gulingan aus hari-hari pergi, ia perlahan mengerti,
ternyata hidup ini lapangan sepak bola yang luasnya tiada henti,
orang-orang terus berlari, saling tendang, sikut sana sini, demi
gawang yang digantung di awang-awang, hanya akan turun jelang kematian.
sebab itu ia belajar berlari, menjudikan kaki dan keringat di dahi,
berharap akan ada garis finis, dan lelah matanya sempurna magis.
haruskah ia memadamkan lilin, membakar sisa kalendar,
agar abunya ia persembahkan pada ibu di sela-sela sepiring ragu?
lalu ibu akan menerbangkan abu itu seperti
menghilangkan udara dari paru-paru.
maka ia tak membakar apa pun, bahkan lilin yang padam sebelum dinyalakan,
ia terpekur dalam tenang, ditenung bingung yang jelma perahu apung.
berlayarlah ia, berlayar ke atas sungai yang berantakan,
sungai dalam dunianya sendiri, sembari memutar bola api,
setelah memusar gelombang naluri, untuk menenggelamkan
hari-hari depan, dengan segenggam ketukan di pintu Tuhan.
Relung Rahasia, Pekanbaru 2015 – 2021
Memukat Hujan
di laut peluh.
kita menabah-nabahkan tubuh.
bersampan ruh.
mendaki hidup yang kadang seperti hendak membunuh.
beginilah takdir.
kita yang tergelincir dalam lubang yang fakir.
tapi setiap kali kita percaya Tuhan,
maka kemiskinan bukan muasal kekufuruan.
atas segala daya.
kita membaca suratNya dalam jaring-jaring airmata.
mengangkat pukat lebat hujan pinta.
Seladang, Desember 2012 – November 2021
Tangan
ada sebuah tangan. panjang. kian panjang. menjangkau apa saja; permata dari airmata,
buah dari biji surga, serta kalung dari kalang ayam langka. ia memiliki semua
yang bukan miliknya.
ada sebuah tangan. hilang. bersembunyi di sela-sela tubuh besar kebaikan.
ia memberi, memberi, dan memberi lagi; stroberi, rumah ramah, kuda sekandang,
juga harapan-harapan.
tanganku begitu nyata. begitu rata-rata. tak panjang, tak memanjang. tak hilang,
tak sembunyi. aku menangis dengan menampung getah dari tempurung lutut
yang retak, airmataku dari sebuah ledakan kata yang runyam. lalu, sebilah doa
paling tajam, membelah langit. mengeluarkan tubuh Tuhan–sebelah tangan.
langit bumi ternyata terbuat dari tubuh yang rebah dan pasrah, berdarah
seperti wajah kelahiran agama.
Kubang Raya, 24 Desember 2021