Ikan Salmon


SELEPAS
sholat subuh, aku menemukan istriku mengemasi sesuatu dari dalam kulkas. Bunyinya kresak-kresek! Dari kejauhan, aku hanya melihat sebagian wajahnya terpapar cahaya kulkas. Lampu dapur masih padam. Astaga, kantung matanya kian menghitam. Aku baru sadar semalam istriku tidak henti-hentinya membuka-tutup kulkas tua itu. Atau malah ia lakukan juga malam-malam sebelumnya, aku tak tahu. Aku memilih bungkam sambil terus memperhatikannya. Seketika bayang kengerian menjalari sekujur tubuhku.

Ingatanku merekam adegan sosok Kim Young Hye dalam novel Vegetarian karya Han Kang. Pada satu pagi, si lelaki mendapati istrinya berdiri termangu di depan kulkas. Tidak memerlukan waktu yang lama, perempuan ini mengemasi seluruh daging dalam kulkas itu. Ketika ditanya, ia hanya menjawab: aku bermimpi.

Aku memejamkan mata sejenak, mengorek yang tersisa di batok kepalaku. Seingatku, istriku tak pernah mengatakan ingin menjadi vegetarian. Namun, sejak kejadian celaka di meja makan itu, selepas ibu mertuaku pamit, aku merasa ada sesuatu yang tercerabut dalam diri istriku.

Sebulan yang lalu, saudara istriku—Irma dan Septi—datang berkunjung. Aku merasa dari sinilah akar masalahnya. Seperti biasa, dua orang itu selalu mengeluhkan penataan rumah ini yang menurut mereka kacau. Kali ini Irma hanya datang dengan suaminya, seorang fotografer. Anaknya yang bandelnya minta ampun, mereka titipkan pada mertuaku. Rendi datang lusa bersama Ibu, begitu kata Irma.

“Maka dari itu, kita hanya punya waktu sehari untuk merombak rumah ini!” lanjut  Irma sambil mencari-cari sesuatu yang tak jelas.

Aku terpaksa izin kerja sebelum kesabaran istriku benar-benar meledak akibat ulah dua adiknya ini. Terlihat Irma dan Septi mondar-mandir menata berbagai perabotan kami sesuka hati. Mereka seperti ditakdirkan memiliki kesamaan dalam segala hal. Maka tak heran jika dua perempuan ini sangat cocok dalam hal komposisi, warna, hingga suatu hal yang mereka anggap sebagai estetika ruangan. Sesuatu yang mereka pikir kami tidak memahaminya.

Lalu, istriku? Ia hanya diam, duduk di atas meja makan sambil menyangga dagu. Di hadapannya, ponsel menyala terang memperlihatkan proses delivery order dari salah satu restoran yang sebenarnya tidak ia sukai.

Aku paham. Istriku menahan geram. Oleh sebab itu, meski dia sebenarnya bisa memasak, namun lebih memilih memesan makanan saja. Menurutku, pilihan ini adalah jalan terbaik. Dari pada mendapatkan komentar soal cita rasa makanan yang sudah pasti tak cocok dengan lidah dua adiknya.

…. Mba, meja ini ngga cocok kalau di sini,

Hus, tambah vas bunga saja!

Iya benar, jadi tambah manis.

Duh! Kita harus beli korden baru, warna ini telalu kontras dengan suasana ruangan ini. Mas! Nanti beli korden ya!

Duh, mba, kenapa beli sapu yang warnanya ngga senada dengan warna ruangan si?

Duh mba? Kok pakai tisu merek ini si? Kan kasar…

Aku duduk di teras, menghadapi secangkir kopi yang telah dingin. Suara-suara itu bersaut-sautan mengisi kepalaku. Aku benar-benar tak bisa membayangkan bagaimana perasaan istriku saat ini. Barusan aku melirik dari celah korden, ia tidak ada di ruang tamu dan ruang tengah. Itu artinya, masih di meja dapur. Itu artinya, ia masih diam, menahan geram.

Di seberang meja, suami Irma masih sibuk dengan kamera Sony A4 miliknya. Baru saja ia bercerita baru membeli kamera itu seminggu yang lalu. Kemarin aku disewa sebagai fotografer di acara pernikahan anak Kapolda, bisiknya.

“Acaranya megah! Tamunya ribuan!”

Ia berkata demikian sambil sesekali mengibaskan telapak tangannya. Ada dua jari berhias cincin akik berwarna hijau dan merah delima. Di tangan satunya, ia memakai cincin emas. Baru pernah aku melihat fotografer bergaya parlente seperti ini. Apalagi ia ngakunya sering dipakai pernikahan mempelai muda yang belum genap 25 tahun! Yang katanya konsep pernikahan, dekor, dan sebagainya serba kekinian.

Aku berdehem sesekali, namun lelaki ini tetap sibuk. Beberapa kali ia memamerkan hasil jepretannya. Sejujurnya, bukannya aku tidak tahu mana foto bagus atau tidak. Gini gini aku juga sedikit paham beberapa teknik foto, mulai dari permainan komposisi, cahaya, dan lain sebagainya. Namun sekali lagi, sudah kukatakan dalam hatiku berkali-kali: fotonya tidak bagus! Bahkan tergolong jelek! Terutama dalam pengambilan objek utama. Sungguh polos, lugu, dan banyak noise!

“Mas! Kok belum berangkat si? Kordennya dong!” Irma datang menepuk pundak suaminya. Lantaran kaget, kamera di tangannya terlepas. Jatuh ke lantai! Terdengar bunyi sesuatu yang pecah. Entah apa. Aku pilih beranjak pergi tanpa permisi. Kudengar, Irma mengomel ini itu tak keruan. Irma mengeluhkan soal korden, tambah lagi soal kamera baru itu, sedangkan suaminya hanya diam. Terlihat menciut.

Aku paham betul, di antara hubungan suami-istri Irma dan suaminya, Irma-lah yang menjadi tumpuan ekonomi mereka. Adik tertua istriku ini adalah Guru SD, sudah A-Es-En, dan bersertifikasi! Dibandingkan suaminya yang kudengar memang sepi orderan, Irma lebih kuat berkuasa dalam rumah tangga mereka. Terlebih, sikap Irma yang selalu merasa superior dan super woman, seolah semua hal bisa ia tangani sendiri. Aku membayangkan suaminya hanya numpang hidup saja di rumah. Karena si bandel Rendy anak mereka pun yang mengurus Irma. Segala sesuatunya!

Besok malamnya, Ibu mertuaku datang. Kami makan malam bersama, di ruang makanku. Ruang makan yang disulap menjadi tempat yang begitu asing. Istriku tidak memasak. Atau lebih tepatnya tidak dibolehkan memasak. Dari pagi hingga hingga siang, kedua adiknya giliran sibuk di dapur. Kali ini istriku malah membuka laptop, menyelesaikan pekerjaannya: menerjemahkan cerita anak.

Kami telah menikah lima tahun. Aku bekerja sebagai editor di penerbit buku independen, sedangkan istriku penerjemah sekaligus editor cerita anak di salah satu penerbit mayor. Meski sebenarnya tidak ada bedanya antara penerbit independen dan mayor, namun di mata keluarga istriku seolah-olah derajat pekerjaan istriku lebih tinggi. Katanya, penerbit tempatku bekerja belum sebesar penerbit istriku. Meski kami sama-sama editor. Meski yang memberi komentar tidak tahu-menahu tentang dunia perbukuan. Namun, begitulah hidup, terkadang komentar orang lain memang lebih tajam dari pada pisau dapur kita sendiri.

Kami hidup sederhana dan berkecupukan di perumahan Anggrek. Tempat ini memang didominasi keluarga-keluarga tua yang sudah beranak cucu. Ada satu mobil sedan Civic Dx berwarna abu-abu keluaran tahun 1989 di garasi rumah kami. Mobil ini peninggalan almarhum bapakku. Aku adalah anak tunggal dan ibu sudah meninggal dua tahun setelah pernikahanku. Rumah ini adalah museum kenanganku, sejak kecil.

Setiap hari, aku selalu mengantar jemput istriku lantaran kantor kami yang saling berdekatan. Kami belum punya anak. Kami tidak ada niat menunda keturunan. Meski begitu, kami juga masih nyaman hidup berdua. Namun, sialnya hal ini justru yang sering dipermasalahkan oleh ibu mertuaku.

“Ibu sudah bilang, sebelum nikah, ngga baik kalau ada niat menunda keturunan.” di meja makan malam itu, percakapan celaka itu dimulai. Meski perkataan Ibu terkesan pernyataan yang dilontarkan bebas di meja makan, semua orang tahu, itu tertuju pada istriku. Dan aku!

“Ajeng mboten wonten niat menunda Bu, tapi kalau belum rezeki mau gimana lagi.”

Ngga ada niat menunda, tapi upayanya juga harus maksimal dong mba!” ucap Septi. Seketika aku menunduk. Aku benar-benar kaget dan tidak paham maksud bocah ini.

“Maksimal piye maksudmu? Masa aku dan Mas Haryo harus kawin terus setiap hari? Apa itu yang dinamakan upaya maksimal!”

“Ya bukan gitu tho mba, maksud adik sudah barang tentu, salah satunya rajin minum jamu ramuan ibu. Irma lihat masih utuh di kulkas, padahal itu kan kiriman ibu bulan lalu.” Irma menambahkan sambil sesekali melirik padaku. Sial! Apakah ia menuduhku mandul!

“Nah! Kan! Ibu kan sudah bilang juga! Ikhtiar itu juga lahir batin! Secara lahir minum ramuan juga ngga papa tho? Lagi pula, mulai sekarang cobalah kurangi masakan minyak-minyakan kayak gini!

Empat bulan terakhir, ibu mertuaku sering mengirimi istriku ramuan-ramuan yang kami tak tahu dari apa bahannya. Katanya, sebagai penambah kesuburan, ingat ikhtiar lahir batin!

“Perbanyak sayur! Lihat, kulitmu terlihat kering. Pasti kurang sayur! Orang zaman sekarang makanannya ngga sehat! Sukanya makan minyak!” ketus ibu. Aku sempat berdehem sambil tersenyum kemenangan. Selain ibu, kita semua tahu, juru masak utama malam itu adalah Irma dan Septi.

Meja makan sesaat hening. Aku melihat istriku begitu menahan sesuatu meledak di wajahnya.

“Begini lho Nduk,”tiba-tiba ibu memecah keheningan. “Ibu kuatir, ngga bisa melihat cucu kedua Ibu. Dulu, sebelum Bapak meninggal, ia ingin sekali melihat masing-masing putrinya sudah menggendong anak. Apa salah, kalau ibu juga bermimpi demikian?”

Suasana mendadak hening. Senyap. Istriku menunduk. Tanpa sadar aku melirik Septi, ia sekilas memandang istriku dan ibu mertuaku secara bergantian. Aku sudah tidak peduli melihat wajah menyebalkan suami Irma yang sedikit menyunggingkan senyum seolah ia adalah laki-laki terbaik yang bisa memberikan cucu pada ibu mertuaku.

Sore berikutnya, kami mengantar ibu pulang bersama saudara istriku yang lain. Ketika berpamitan, ibu sempat berbisik: ingat ya Nduk, ikhtiar lahir batin.

Langit senja terlihat murung, semurung wajah istriku. Ia duduk menatap ke arah gerbang rumah kami yang masih terbuka. Aku tidak menutupnya, lantaran sebentar lagi kami juga akan keluar. Cari makan malam sambil refreshing, begitu bisikku sesaat setelah mobil Irma keluar dari halaman rumah kami.

Namun, yang terjadi sebaliknya. Aku mendapati istriku duduk membeku menatap pagar. Tatapannya kosong.

“Sayang, sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Aku yakin Tuhan akan menitipkan keturuan ketika kita dianggap siap.” Aku merangkulnya dari belakang.

“Mas, aku terpikir suatu hal. Dan sudah kupertimbangkan masak-masak.” ucap istriku. Kemudian memberikan jeda lagi.

“Mulai sekarang, kita harus lebih serius untuk program hamil ya!”

Aku diam. Kemudian duduk di sampingnya. Menatap wajahnya dari samping. Sejenak kemudian ia menoleh padaku: Mas? Aku harus hamil.

“Iya, sayang, bukankah sejak awal, kita tidak ada niat menunda. Nanti kita bicarakan lebih serius ya. Sekarang, ayo masuk.”

Ia hanya diam. Kemudian memalingkan wajah menatap ke depan. “Aku harus hamil mas, secepatnya.” ucapnya.

Sejak hari itu, aku merasa ada keanehan dalam diri istriku. Setiap kali memasak ia menghindari masakan berbau daging dan lemak jenuh. Ia banyak menyetok ikan salmon, kacang-kacangan, keju, dan hati sapi. Pernah sesekali aku menemukan istriku duduk berlama-lama di depan laptop dengan makan kuaci. Sangat banyak! Bahkan sampah kulit kuacinya menggunung hingga tumpah berantak di bawah meja.

Pernah juga suatu ketika, aku memasak masakan kesukaannya: lele goreng. Namun, ia menyisihkan. Dan hanya makan nasi dengan sayur. Lele mengandung banyak merkuri, ngga baik untuk promil mas, begitu katanya.

Selain mengganti pola makan yang begitu signifikan, istriku lebih sering mengajak berhubungan badan. Bahkan bisa dipastikan setiap hari. Pernah juga sehari tiga kali, ketika kami sama-sama libur.

Hingga pagi ini, aku baru menyadari satu hal, istriku semakin jarang tidur. Ia makan terlampau banyak. Kami berhubungan badan terlampau sering. Tubuhnya terlihat lebih berisi namun kulitnya terlihat kusam dan kering. Aku juga beberapa kali mengeluhkan bau keringatnya yang berubah ketika kami bercinta.

Semalam, sepulang dari kantor setelah mandi dan berganti baju, secara sekilas aku melihat istriku mondar-mandir di dapur. Kupikir ia memasak sesuatu lantaran lapar di tengah malam.

Pagi ini, selepas sholat subuh, aku menemukan istriku mengemasi sesuatu dari dalam kulkas. Bunyinya kresak-kresek! Dari kejauhan, aku hanya melihat sebagian wajahnya terpapar cahaya kulkas. Lampu dapur masih padam. Astaga, kantung matanya kian menghitam. Aku baru sadar semalam istriku tidak henti-hentinya membuka-tutup kulkas tua itu untuk melakukan suatu hal. Atau malah ia lakukan juga malam-malam sebelumnya, aku tak tahu. Aku memilih bungkam sambil terus memperhatikannya. Seketika bayang kengerian menjalari sekujur tubuhku. Sial! Aku terlalu hanyut dalam gelisah yang tak kumengerti!

Aku nekat berjalan perlahan ke arahnya. Dengan tangan gemetar, aku membuka pintu kulkas lebih lebar.

“Sayang! Apa yang kamu lakukan!” teriakku kaget. Aku melihat istriku makan ikan salmon mentah!

Ia menoleh kepadaku, kedua tangannya memegang ikan salmon utuh yang cuil satu gigitan. “Aku harus hamil mas, secepatnya!” ucapnya sambil mengunyah. []

Ponorogo, Januari 2022





==================
Sapta Arif N.W. Berkarya sebagai Kepala Humas STKIP PGRI Ponorogo. Kini sedang melanjutkan studi pascasarjana di Unitomo Surabaya. Berkomunitas di Malam Sastra Pandawa (MSP). Selain itu, menghabiskan waktu untuk membaca, menulis, menjadi pendaras di lensasastra.id

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *