DARI tempatnya berdiri -di atas sepasang kaki yang gemetar dengan telapak dan tumit yang pecah-pecah dan masih tersisa jejak darah kering (oh, ia tak mau memandang kaki yang membuat pandangannya berpendar-pendar memabukkan itu), dataran di kejauhan terlihat seperti hamparan permadani bulu beruang hitam. Terdapat bercak-bercak putih yang berkilauan saat diterpa cahaya surya. Mau tak mau Bana harus memicingkan matanya untuk melihat dengan jelas bukit kapur di kejauhan dan itu akan membuat kerut di sudut matanya menjadi begitu kentara dan dalam.
Kau menua dengan enggan, begitu cetus Nea pada suatu malam yang begitu kering dan sunyi di bawah langit hitam. Ia mengarahkan sorot senternya ke wajah Bana sembari menyeringai. Itu seringai yang manis, kalau saja ia lebih muda sedikit seperti beberapa tahun ke belakang. Ia menyukai perempuan yang lebih muda, namun ia juga menyukai Nea.
Bana menelan ludahnya dengan susah payah. Bukit kapur dan nyalang matahari membuat pandangannya berpendar. Sepertinya benar kata Apa Suku, jangan menyakiti matamu dengan menatap masa lalu. Tapi Bana ingin meneduhkan hatinya dengan menumbuhkan satu dua pohon di atas bukit kapur itu. Pohon yang semula kecil, kini semakin tinggi dan menjulang. Lalu beranak-pinak dan kehijauan menjalar begitu cepat menyelimuti punggung bukit dan dinding-dinding kapur putih yang tadi berdiri angkuh; menghilang dalam sekejap. Tapi itu hanya dalam pandangan Bana saja.
Ia tak melihat sisa bubungan asap yang masih mengepul dari balik bukit atau mengingat seperti apa wajah kampung yang ditinggalkannya dalam kondisi luluh-lantak dengan panas api yang seakan memanggang seluruh kehidupan di sana. Tak ada tarian bocah-bocah lelaki bertelanjang dada dengan pelepah pisang merupa kuda tunggangan di antara selangkangan. Tak ada senandung Ama yang begitu menikmati rutinitas paginya membungkus kue-kue mangkuk tradisional yang akan dijualnya ke pasar: ia terus bersenandung sepanjang perjalanan ke kota kabupaten yang dilaluinya tanpa alas kaki; ia tetap bersenandung sembari melayani ibu-ibu pejabat kota yang menjadi pelanggan setianya. Bana kerap memikirkan mengapa masih ada ibu pejabat yang menyukai kue sederhana buatan ibunya, sedangkan mereka selalu membawakan kerabat dan kenalannya kue-kue modern dengan hiasan krim gula yang cantik-cantik. Tapi pikir Bana tak berlanjut panjang karena pada suatu waktu ia menemukan jawabannya tanpa disengaja.
“Kue kampung pedalaman itu selalu membuat rindu. Mungkin karena ia berasal dari tanah tak terjamah atau beraroma hutan yang menenangkan. Atau mungkin saja senandung penjualnya itu mantera penambah cita rasa,” gurau seorang ibu muda berpakaian minim yang baru saja berlalu dari lapak jualan Ama. Ia menjawab pertanyaan temannya yang terheran-heran melihat begitu lahap ia menghabiskan dua kue mangkuk yang baru dibeli.
“Wangii..” Perempuan muda itu menyorongkan sisa kue mangkuk di tangannya, tepat ke depan hidung temannya. Tawanya pecah berderai ketika temannya mendekatkan hidung lalu mengangguk-angguk tanda setuju dengan ucapannya.
“Benar, kan?”
“Iya juga.”
Bana menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia ingin menghapus semua gambar yang melintas di manik matanya. Aku harus segera pergi. Kalau tidak, usiaku akan berakhir di sini. Tanpa arti. Tekad yang diucapkannya di dalam hati memaksa kaki Bana kembali melangkah. Sesekali rasa pusing di kepalanya begitu terasa menghantam, membawa tubuhnya seakan-akan melayang dan berputar bagai gasing. Kalau sudah begitu, ia menghentikan langkah sesaat dan memegangi kepalanya. Dataran pasir hitam yang dijalani Bana itu seperti tak berujung. Ia hanya melihat garis fatamorgana di kejauhan. Saat pusingnya mereda, dari garis itu akan bermunculan pohon-pohon kecil yang membuat pandangannya teduh dan semangatnya kembali tumbuh.
Sembari berjalan, ingatan Bana maju mundur tanpa kendali. Ia bisa melihat siapapun yang ada di perkampungan di balik Bukit Kapur itu. Ama, Apa, Nea, Sola, Ambe dan para lelaki penjaga kampung yang selalu rewel kepada perempuan-perempuan tua. Ia juga masih mengingat keriuhan penduduk kampung menyambut kehadiran beberapa orang lelaki bertubuh kekar yang menyandang bedil di bahu dan menghunus belati di genggaman, akhir bulan lalu. Ama bilang mereka pengembara yang tersesat. Mereka mengagumi perkampungan kecil di tengah hutan itu sebagai kawasan eksotis yang langka -entah apa maksud kata-kata tersebut: Bana tak mau ambil pusing memikirkannya. Ia hanya mengingat para lelaki kekar itu kerap mencuri-curi pandang ke arah Nea, Puja dan Alea, tiga kembang hutan yang tengah merekah mekar. Tapi Bana mafhum, itu bukan pandangan kurang ajar dari hasrat jalang lelaki sebagaimana yang diperlihatkan seorang pemburu liar yang tertangkap beberapa hari sebelumnya. Pemburu itu menyergap Alea di hulu sungai dan mencoba melakukan perbuatan yang kurang baik padanya. Sola memergokinya dan mendaratkan gagang cangkul di tangannya ke kepala laki-laki itu dengan entak ayunan penuh kemarahan. Pemburu itu beruntung tak mati; hari itu, melainkan keesokan paginya (Apa Suku menjatuhkan hukuman penggal leher kepadanya karena dianggap telah mengotori kehormatan kampung).
“Lelaki dihormati karena kemampuannya menguasai gelegak api di sini, yang menjalar ke seluruh tubuh dan melumat isi kepalanya,” terang Ama sembari menunjuk ke arah kelamin Bana, memegangi bahunya, kemudian menunjuk ke kepala, ketika anak lelaki satu-satunya itu menanyakan kenapa lelaki itu harus dipenggal. “Darahnya akan mengembalikan kesucian kampung dan hutan kita. Dengan demikian roh-roh penjaga tidak akan marah,” imbuh Ama.
Bana manggut-manggut, meski tak mengerti sepenuhnya kata-kata Ama. Ia memandangi kelaminnya sembari sibuk bertanya sendiri, di mana letak gelegak api itu. Ketika tak juga menemukan jawabannya, seekor kelinci hutan yang keluar dari liang telah meraup perhatiannya. Ia gegas meraih tombaknya dan mengendap-endap mendekati kelinci, lalu.., Crap!! Mata tombak tertancap sempurna ke tubuh kelinci yang bergerak-gerak liar meregang nyawa, sebelum diam selamanya.
Sebuah tepukan cukup keras mendarat di bahunya. “Istimewa, Bana.” Bisikan hangat menerpa telinga Bana, dan ia tak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pemilik suara itu: Nea!
Sepasang mata Bana semakin berpendar. Ia membayangkan pohon-pohon di kampungnya yang rindang, dengan akar-akar tumbuh membesar di atas tanah; Nea dan ia kerap duduk di sana saat petang. Biasanya mereka saling bertukar cerita. Nea pandai bercerita. Dengan sepasang matanya yang bulat dan jernih, bibir tipis yang begitu lincah menguntai kata-kata, Nea kerap meneruskan cerita yang dibawa Apanya dari kota. Apa Nea seorang petani yang rajin -begitu rajinnya hingga hampir seluruh lahan kosong di hutan menjadi lahan pertaniannya. Apa Nea menanam apa saja; sayur, buah, padi, jagung -apapun sepanjang ia bisa tumbuh.
Bana mendengar cerita Nea. Tapi kemudian para lelaki pengembara yang kekar-kekar itu menghapus wajah Nea dan memenuhi penglihatannya. Langkah Bana menjadi begitu berat dan lelaki di matanya mulai tertawa. Mereka menunjuk-nunjuk ke arah Bana, seseorang malah mengarahkan jempol tangannya ke bawah. Pusing di kepala Bana semakin menjadi-jadi. Wajah Nea menghilang, Ama juga, Apa Suku juga, tapi wajah para lelaki kekar itu malah semakin membesar di pupil matanya.
“Pergiii!!” teriaknya marah. Dalam hati Bana minta maaf kepada Ama. Ini pertama kalinya ia merasakan kemarahan yang begitu kental dan lekat di tubuhnya. Kata Ama, lelaki tidak boleh mudah mengeluarkan amarah. Tapi Bana sudah telanjur marah. Ia marah sejak dari Bukit Kapur. Ia berlari menghindari kobaran api yang mengepung kampung dengan membawa kemarahannya yang seperti muntahan lava gunung.
Bana mengibaskan tangannya untuk menghalau mereka. Tapi para pengembara itu menghindar dengan gesit. Bana terus mengibas-ngibaskan tangannya dengan sekuat tenaga. Bukannya menghilang, para lelaki kekar itu justru semakin kencang tertawa. Mereka mengacung-acungkan belatinya ke depan wajah lelaki muda yang tengah murka itu dengan tawa yang berkumandang memekakkan telinga.
“kalian para pendosa jahanam! Pergilah ke neraka!!”
Bana terus memaki sembari berusaha memukuli para lelaki di depannya. Tapi tinjunya menampar angin, membuat energinya tersedot cepat dan tubuhnya terhuyung-huyung, untuk kemudian terjerembab ke atas pasir hitam. Butiran-butiran pasir seketika berlompatan ke wajahnya ketika lelaki muda itu jatuh tertelungkup dengan mata terkatup dan degup jantung yang tak beraturan.
*****
Bana melihat Ama berdiri di depannya dengan senyuman khas. Kedua tangannya terulur ke arah Bana.
“Bangun, Nak. Bangunlah. Lihat, kampung kita sudah kembali.” Ama menunjuk sekelilingnya. Bana mengedarkan pandangan dari sepasang mata yang terasa nyeri. Bana seolah tak percaya. Ia mengamati pepohonan menjulang di depannya, rumah-rumah beratap ilalang, orang-orang kampung yang berlalu-lalang.
“Kita sudah kembali ke kampung, Nak.”
Bana menggeleng lemah.
“Itu Nea!” Ama menunjuk seorang perempuan muda di kejauhan, duduk menyandar beralas akar pepohonan. Ada seseorang bersamanya; seorang lelaki berdada bidang, dengan sebelah tangan menggenggam tombak bermata merah. Bana terperangah.
Ini tak mungkin, bisiknya lemah. Ia mencoba melihat dengan lebih jelas. Ama tersenyum di depannya. Nea di kejauhan seperti tak menyadari kehadirannya. Tapi.. tapi.., jelas saja ia tak menyadari kehadiran Bana. Lelaki yang duduk di atas akar pohon yang menjadi temannya bercerita itu…, Bana! Itu dirinya! Tapi bagaimana mungkin?
Denyut kepala Bana semakin menjadi-jadi seperti tengah dihantam batu kali berulang-ulang; pecah, namun utuh kembali. Pecah lagi, utuh kembali.
Apa-apaan semua ini?!
Semakin keras berpikir, Bana semakin merasa lemah. Ia kembali terseret dalam pusaran di kepalanya. Ama menghilang, Nea dan lelaki di akar pohon juga menghilang. Tapi pepohonan di kampung dan rumah-rumah beratap ilalang tak juga mau hilang, lekat dalam tatapan dan ingatan Bana; berputar-putar perlahan membawa Bana ikut dalam pusaran. Lalu segalanya kosong dan Bana tak tahu lagi apa yang terjadi sesudahnya. Dunia lenyap dari ingatannya.
*****
“Heii!! Kemari!!”
Seseorang berteriak dekat sekali ke telinga Bana. Setelah berwaktu-waktu hanya sunyi, dengan bunyi sekeras itu rasanya kepala Bana ingin pecah berkeping.
Langkah berat sepasang kaki mendekat.
“Apa? Ada apa?”
“Coba kau lihat!”
Bana mencoba membuka matanya. Ia melihat dua orang lelaki bertopi baja aneh dengan penutup wajah dari sejenis kaca tipis dan berbaju hangat lusuh penuh debu – debu seolah-olah melumuri tubuh keduanya dengan begitu sempurna seperti hendak menukar kulit asli mereka-berdiri di hadapannya. Keduanya terperangah dan kedua mata mereka membelalak sehingga terlihat seperti ingin keluar dari kelopaknya dan meloncat, kemudian menggelinding ke dekat kaki Bana. Lama keduanya terdiam dalam kondisi demikian; seakan-akan seorang tukang sihir telah menyerukan mantera dan menjadikan mereka patung untuk beberapa saat.
Salah seorang tersadar dan ia mulai mengusap-usap matanya dengan gerakan kasar. Lalu ia memandang temannya dan menyadari bahwa temannya juga melakukan hal yang serupa. Keduanya mulai tersenyum.
“Kita berhasil menemukannya!!” Salah seorang berteriak duluan, dengan suara yang menggema hingga ke lembah-lembah jauh. Hey, lembah?
Bana mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Berapa lama ia tak sadarkan diri? Kenapa semua yang di hadapannya begitu asing? Ke mana Bukit Kapur di kejauhan? Pasir hitam?Kenapa semua hanya tebing-tebing batu? Apakah kedua telapak kakinya sudah sembuh?
Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi rongga kepala Bana. Tapi ia tak mampu mengingat apapun selain namanya, Bukit Kapur dan Pasir Hitam yang pernah ditapakinya. Dan sejauh ia memandang, tak sekalipun ditemukannya bentuk Bukit Kapur, apalagi hamparan pasir hitam. Yang ada hanya tebing-tebing batu dan dataran keras dan tandus. Ia bahkan merasakan kegersangan itu di bawah telapak kakinya. Bana ingin menunduk untuk melihat kedua telapak kakinya yang penuh darah dalam ingatannya. Tapi ia mencemaskan kepalanya akan kembali pusing dan kesadarannya akan hilang sebelum ia memahami sepenuhnya apa yang terjadi dan siapa dua lelaki yang ada di depannya.
“Aku tak percaya kita berhasil menemukannya! Sebuah pohon peninggalan masa lampau. Aku benar-benar tak percaya ini!!” Seruan itu membuyarkan lamunan Bana.
“Biarkan aku menyentuhnya sebentar saja. Aku ingin mencium dedaunnya dari dekat. Pasti akan berbeda sekali dengan daun-daun yang kita hasilkan di laboratorium emerald botani.”
Bana mengernyit, mencoba memahami kata-kata lelaki itu. Tapi tiba-tiba ia teringat satu hal; ia lelaki yang berasal dari kampung di tengah hutan. Bana merasa begitu bahagia. Ah, ia akhirnya berhasil mengingat satu hal lagi!
Lelaki itu terus mendekat ke arah Bana.
“Hati-hati! Jangan sampai kau mengacaukan penemuan kita!”
“Tidak. Paling aku hanya akan memetik satu dua daunnya saja, untuk contoh dan bukti ke dewan kota.”
Lelaki itu terus mendekati Bana dengan langkahnya yang penuh kewaspadaan, cermat dan terukur dan wajah yang tak sabaran. Ia mengulurkan tangan. Hey, apa yang akan dilakukannya kepadaku?!
Bana mendadak panik. Tangan itu menyentuh tubuhnya dengan wajah bahagia. Ia ingin menghalau lelaki itu dengan tangannya. Tapi kedua tangannya begitu kaku dan sukar digerakkan, seolah-olah kedua tangan itu telah membatu saja.
Lelaki itu mendekatkan wajahnya ke tubuh Bana. Ia mencoba menjauhkan tubuhnya, namun lagi-lagi gagal. Bana merasa tubuhnya pun ikut menjadi batu dan lekat sepenuhnya ke bumi. Apa-apaan ini? Apakah roh-roh hutan telah mengutuknya tersebab pelariannya dari kobaran api yang membumihanguskan kampung tempo hari? Tapi ia harus selamat untuk mencari bantuan bagi kampungnya. Para pengembara itu adalah orang-orang jahat yang ingin menguasai lahan kampung mereka. Seseorang harus tahu kabar itu dan hanya Bana yang tersisa.
“Wangi sekali.” Lelaki di dekat Bana tersenyum puas setelah berhasil menelusuri tubuh Bana. “Kini aku akan memetik daunnya,” tukas lelaki itu tak sabaran.
“Hati-hati. Kenakan sarung tanganmu dengan benar atau kita takkan pernah sampai ke laboratorium dan mati di sini.” Temannya mengingatkan.
“Tenang. Aku akan berhati-hati dengan harta kita ini.”
Lelaki itu bergerak seakan-akan ingin mencabut sesuatu dari tubuh Bana. Bana mencoba menegakkan tubuhnya. Tapi tak bisa. Ia hanya bergerak sedikit, sebelum sebuah rasa sakit yang tak terperi menghampiri tubuhnya seperti sengatan kalajengking raksasa.
Aaaaarrgghhh!! Bana berteriak sekencang-kencangnya. Tapi ia bahkan tak mampu mendengar suaranya sendiri.
“Aku berhasiill!!! Kita berhasil. Oh, betapa mengharukan semua ini. Perjalanan kita tak sia-sia.” Kedua lelaki itu berangkulan dalam kegembiraan yang nyata.
Dalam rasa sakit yang tak tertahankan, Bana menatap dua helai daun yang ada di tangan lelaki yang meloncat-loncat kegirangan di depannya. Bana benar-benar tak mengerti apa hubungan dua daun itu dengan rasa sakit yang dirasakannya. Namun pelan-pelan ia paham, kutukan roh-roh hutan itu benar adanya. (*)
==============
R. Yulia, lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada 22 Juli. Berdomisili di Jl Cempaka VI No.96 Perumnas Helvetia Medan, Sumatera Utara. Karya-karyanya berupa cerpen dan puisi pernah dimuat antara lain di Harian Kompas, Majalah Sastra MAJAS, Seputar Indonesia (SINDO), Tribun Jabar, Tabloid Nova, Majalah Anita Cemerlang, Gadis, Sekar, Lisa, Gaul, Jelita, Story, Bobo, Harian Waspada, Analisa, Jurnal Medan, Singgalang, Haluan, Padang Ekspres dll. Buku antologi yang memuat karyanya dalam 3 tahun terakhir Antologi Sajadah (2019), Antologi Pemenang Lomba Cerpen Fa Harris dan YBWS (2020), Antologi Pemenang Lomba Cerpen Pilihan KOSAMBI (2020), Pandemi Pasti Berlalu (2021).