Menembus Aksara Rindu

Di Jejak Doa

ragaku selembar kain
warna-warni melingkari mata
mungkin esok kita beri bingkai

engkau tebarkan jaring
di sudut senyum cahaya
seakan ingin menembus putihnya sinar

di jalan ini, yang kita lalui
pintu masih terkunci
disini kita simpan jejak
yang tinggalkan bayangan kita

kita mulai menyulam waktu
membangkitkan kenangan, sebagian terpenggal
jubah yang pernah engkau gunakan
tak lagi menyisakan bayangan dirimu
ingatan kita merapuh tergerus hujan

aku mencoba menelisik ingatan
lewat puisi yang membungkus tubuhmu
di selembar mimpi masih menggurat kain tubuhmu
warna gelap mengaburkan pandanganku
engkau menjerit pelan
di lubang kunci yang telah patah
engkau satukan tubuhku
di ujung pena, mengukir kata-kata rindu

hujan terus membasahi bayangan kita
semua aksara tak lagi tersimpan di tidur kita
bayanganku pun mulai pupus
sirna, mengalir di jalan yang kita lalui
dan malam membisikkan gelisah

adalah bintang kejora di langit
berjanji melumat seluruh tubuhku
menyisakan jiwaku untukmu
yang ‘kau jadikan sayap pusara
bila sajakmu mengirim doa untukku

Malang, 2021




Di Dalam Dada

tatapanmu tajam, menusuk dadaku
lama menyimpan luka
sinar mengalir serupa aliran listrik, aku terkapar
penuh gelap ruang ingatanku
seharusnya luka ini
tidak bersemayam dalam dadaku
biarkan jadi puisi, mengobati cemas
terbasuh cahaya yang tumbuhkan rindu
bergelimang aksara dan abjad
yang memuisikan hari-hari kebenaran
di antara jejak para pendusta

Malang, 2021




Biarlah Hujan Membasahi Kemarau

Tak tersisa lagi butiran angin,
kesunyian seakan membunuh heningnya malam
hingga napas bagai gemulai riak tanpa syair

Entah kenapa jagat ini seperti membuatku merasa terkucil
berjuta barel beban seakan memanteli tubuhku

Kalau saja Ilahi berkenan membaringkan segala penat jiwaku
biarlah jasadku berjalan sendiri mengikuti langkahnya

Adalah hujan membasahi kemarau
hingga tangisanku mengalir tanpa wujud

Kemana lagi harus kubermunajat,
jika sabda-sabda cinta telah terbakar matahari

Malang – 2021





Cahaya Cinta

biarlah cahaya matahari itu
membakar jiwaku
hingga aku tak mampu
berkata tentang cinta
adalah cinta tak akan pernah menjadi sinar keabadian
selain sabda-sabda cinta Ilahi Rabb
yang tak pernah pupus dan habis

Malang – 2021





Daun Sunyi

membuka lembar puisi
serupa membaca daun
hijau yang menjelma kuning
waktu terus mengoyak
mengiris peradaban
bersenggama liar di tubuh cahaya
entah apakah ini makna sunyi
atau jalan menuju sufi

tinta kadang memudar
seperti daun tinggalkan aroma hijau
dan puisi tak selamanya
berselimut diksi
diam, menunggu waktu
bersayap di hutan-hutan
yang menggiring
senyapnya angina
menikung senja di kelokan kabut

langit tak pernah dusta
menghujani aksara
terkoyak-koyak
di lumbung kalimat
lalu terbaca
anak kecil bertelanjang dada
menanti impian di pucuk halimun
segarkan daun
dengan doa-doa polos
yang dibawanya
dalam sekeranjang daun layu

Malang, 2021





Di Kesunyian Sepi

sebagian ingatanku merapuh
morfem pun menjadi tempat luka
hanyalah riuh angina
membakar malam
di kesunyian sepi
kuselimuti lisanku
sangat kurindukan suluk tertiup
dari garis cahaya semesta alam
dan merobek jiwaku yang fakir

Malang, 2021




Di Bangku-Bangku Sepi

di mulutnya matahari
doa-doa tersimpan
seputih sinar memancar warna
menyapa lembut rambut berkilau
seakan titian rindu di helai rambut itu

dari punggungmu,
bangku-bangku bertelanjang diri
tersiram embun pagi
basah itu mulai beranjak, keringkan tubuh
seperti aroma mimpi membasuh dahaga
menguap diterjang cahaya pagi
melepaskan tubuh-tubuh dingin, berlari liar
di kelokan jalan, semburkan gelisah

engkau tetap memaku di bangku-bangku itu
perempuanku, tatapan matamu menghunjam
menindih rumput ilalang
engkau tinggalkan bekas cumbu mimpiku
yang merapuhkan cengkerama bunyi burung-burung
mengepakkan sayapnya di pucuk pepohonan
aromamu sungguh menusuk
seakan busur panah, menembus aksara rindu

adalah sepi engkau bentangkan
bagai menyanggah doamu
di antara riuh penat dan letih, tubuh kita
menunggu lama di teritis lapuk
dan menanti puisiku, yang masih tersimpan
di rak ingatan

perempuanku, engkau mulai menggigil
matahari pergi meninggalkanmu
disela cahayanya, ingin kupanggil namamu
kusatukan dalam diksi
dimana malam telah mengintip
memajang rembulan yang tersipu malu
memayungi teduh di pancaran senyum
tertelungkup dalam kisah rindu

kita duduk di bangku-bangku itu
kita bakar malam
di segenggam doa yang mengusir sepi

Malang, 2021





Bagikan:

Penulis →

Vito Prasetyo 

Kelahiran Makassar, 24 Februari 1964. Menulis cerpen, puisi, esai, Tulisan-tulisannya dimuat di beberapa media, antara lain: Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Republika, Suara Karya, Lombok Post, Magrib.id, Haluan, Travesia.co.id, dan Harian Ekspres Malaysia. Termaktub dalam Buku Apa Dan Siapa Penyair Indonesia (2017). Penyair yang pernah kuliah di IKIP Makassar, ini kini menetap di Malang, Jawa Tengah. Buku Kumpulan Puisinya yang telah terbit, Biarkanlah Langit Berbicara  (2017), dan Sajak Kematian (2017).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *