Fana dan Baqa dalam pandangan Imam Al-Qusyairi

SEBELUM masuk dalam pemikirannya alangkah baiknya kita mengenal imam Al-Qusyairi terlebih dulu. Al-Qusyairi atau yang memiliki nama lengkap Abul Qasim Abdul Karim Khawazin lahir pada bulan Rabiul awal tahun 376 H/ 986 M di kota Ustawa. Tidak banyak yang mengetahui kehidupan masa kecil Al-Qusyairi kecuali sedikit. Di antaranya bahwasannya beliau menjadi yatim sejak masih kecil selanjutnya diserahkan kepada Abul Qasim Al-Alimani seorang sahabat dari keluarga al-Qusyairi.

Al-Qusyairi bercita-cita meringankan beban apa yang telah dikeluhkan masyarakat. Oleh karena itu beliau pergi ke Naisabur untuk belajar ilmu hitung yang berkaitan dengan pajak. Pada saat itu Naisabur berposisi sebagai ibu kota Khurasan yang sebelumnya tempat para ulama dan pujangga. Setelah sampai di Naisabur Al-Qusyairi belajar berbagai ilmu pengetahuan pada seorang guru yang dikenal sebagai imam yaitu Abu Ali Al-Hasan bin Ali An-Naisabur dan lebih dikenal sebagai Ad-Daqaq.

Pengertian Fana’ dan Baqa’ Perspektif Al-Qusyairi

Istilah fana’ oleh kaum sufi dipakai untuk menunjukkan keguguran sifat-sifat tercela. Sedangkan baqa’ untuk menandakan ketampakan sifat-sifat terpuji. Jika pada diri salik tidak ditemukan dari salah satu kelompok sifat ini, maka pasti ditemukan sifat-sifat lain. Barang siapa kosong (fana’) dari sifat-sifat tercela, maka sifat-sifat terpuji mengada. Barangsiapa dirinya dikalahkan oleh sifat-sifat tercela, maka sifat-sifat terpuji tertutupinya.

Ketahuilah, apa yang menjadi sifat seorang salik pasti mengandung tiga hal,yaitu af’al, akhlak, dan ahwal. Af’al (perbuatan-perbuatan salik) adalah tingkah laku manusia yang diperagakan dengan kemampuan ikhtiarnya. Akhlak merupakan perangainya. Akan tetapi, keberadaannya selalu berubah seiring dengan tingkat penanganannya berlangsung mengikuti perjalanan pembiasaan. Sedangkan ahwal merupakan awal langkah keberadaan kondisi salik. Ahwal mengembalikan posisi salik pada tahapan awal. Kejernihannya terjadi setelah kebersihan af’al.

Dengan demikian, keberadaan ahwal seperti akhlak. Karena jika salik turun ke gelanggang kehidupan untuk memeranti akhlaknya dengan hatinya, lalu meniadakan sifat-sifat jeleknya dengan kesungguhan jihadnya maka Allah menganugerahinya dengan perbaikan akhlak (maqam baqa’). Demikian juga jika salik menekuni penyucian af’al-nya dengan (pemanfaatan) curahan (rahmat) yang diperluaskan untuknya. Maka Allah pasti akan menganugerahinya pembersihan ahwal-nya, bahkan menyempurnakannya.

Barang siapa meninggalkan af’al tercela dengan lidah syariatnya, maka dia fana’ dari syahwatnya. Sebaliknya barang siapa fana’ dari syahwatnya, maka dengan niat dan ikhlasnya dia menjadi baqa’ dalam ibadahnya. Barang siapa zuhud dalam dunianya dengan hatinya, maka dia fana’ dari kesenangannyaa. Jika fana’ dari kesenangan dunia, maka dia baqa’ dengan kebenaran tobatnya.

Antara Af’al, Akhlak dan Ahwal

Barang siapa terobati akhlaknya sehingga hatinya fana’ dari sifat hasud, dendam, bakhil, rakus, marah, sombong, dan sifat-sifat lain yang merupakan jenis kebodohan nafsu, maka dia fana’ dari akhlak tercela. Jika fana’ dari ketercelaan akhlak, maka dia baqa’ dengan fatwa dan kebenaran. Barang siapa telah mampu menyaksikan gerak aliran kekuasaan-(Nya) dalam manifestasi pemberlakuan hukum-hukum (ketuhanan), maka dia dikatakan sebagai orang yang fana’ dari perhitungan dua kejadian yang berlaku pada semua makhluk.

Barang siapa fana’ dari bayangan pengaruh-pengaruh sesuatu yang berubah-ubah, maka dia baqa’ dengan sifat-sifat al-Haqq. Selanjutnya barang siapa dikuasai oleh kekuasaan hakikat (penampakan al-Haqq) sehingga tidak bisa menyaksikan hal-hal yang berubah-ubah, baik berupa zat, bekas-bekas, tapak-tapak, catatan-catatan, maupun reruntuhannya, maka dia fana’ dari makhluk dan baqa’ dengan Al-Haqq.

Fana’-nya salik dari af’al yang tercela dan ahwal yang rendah, dan dengan ke-fana’-an (ketiadaan) af’aI dan ke-fana’-an dirinya dari dirinya dan keseluruhan makhluk dengan ditandai ketiadaan rasa pada dirinya sendiri dan sesuatu yang di luar (makhluk), maka dia menjadi fana’ dari af’al, akhlak, dan ahwal . Jika salik benar-benar fana’ dari ketiga-tiganya, maka tidak boleh ada sesuatu dari ketiga fana’ tersebut muncul (mengada).

Apabila dikatakan seseorang fana’ dari dirinya dan keseluruhan makhluk, maka sebenarnya dirinya masih ada dan keseluruhan makhluk juga masih ada. Akan tetapi, orang yang mengalami demikian sudah tidak lagi memiliki pengetahuan, rasa, dan kabar yang berkaitan dengan dirinya dan semua makhluk. Hakikat dirinya masih ada, keberadaan keseluruhan makhluk pun masih ada, namun dia sudah lupa terhadap dirinya dan mereka. Dia tidak mampu merasakan keberadaan dirinya dan semua makhluk. Hal itu disebabkan kesempurnaan (klimak) kesibukannya dengan sesuatu (Dzat) yang lebih tinggi dari itu semua.

Contoh Fana’ dalam Kisah Yusuf

Barangkali kamu pernah menyaksikan bagaimana gambaran seorang pria yang masuk ke ruangan seorang penguasa atau raja yang bengis. Tentu dia akan kebingungan dan kehilangan nalar. Dia tidak sadar terhadap keberadaan dirinya dan orang-orang di majelis raja. Bagaimana bentuk ruangan yang dimasukinya, apa isinya, dan bagaimana rupa dirinya, dia tidak tahu dan tidak mungkin mengabarkan perihalnya.

Dalam Al-Quran, gambaran semacam ini pernah diperlihatkan Allah dalam kisah Nabi Yusuf a.s.

فَلَمَّا رَاَيْنَهٗٓ اَكْبَرْنَهٗ وَقَطَّعْنَ اَيْدِيَهُنَّۖ

“Maka, ketika wanita-wanita itu melihatnya (Nabi Yusuf a.s,), mereka mengucapkan takbir (takjub) dan (lalu) memotong tangan mereka (sendiri).” (QS.Yusuf: 31)

Wanita-wanita bangsawan Mesir ini ketika melihat ketampanan wajah Yusuf a.s. saat melintas di depan mereka, mereka terkejut, malu, kagum, dan amat kesengsem. Sehingga tidak terasa pisau yang dipegangnya memotong tangan mereka sendiri. Mereka adalah selemah-lemahnya manusia.

وَقُلْنَ حَاشَ لِلّٰهِ مَا هٰذَا بَشَرًاۗ اِنْ هٰذَآ اِلَّا مَلَكٌ كَرِيْمٌ

“Dan, mereka mengatakan, ‘Maha Sempurna Allah, tidaklah ini manusia melainkan malaikat yang mulia.” (QS. Yusuf: 31)

Ini merupakan gambaran makhluk yung lupa terhadap keberadaan (kondisi) dirinya ketika bertemu makhluk yang lain.

Maka, bagaimana menurutmu jika seseorang tersingkap (muka syafah) dari tabir yang menutupi Al-Haqq. Jika makhluk saja bisa lupa akan keberadaan rasa terhadap dirinya dan sesama makhluknya, maka apa tidak akan lebih menakjubkan jika yang ditemuinya adalah Al-Haqq.

Fana’ dalam Keburukan, Maka Baqa’ dalam Kebaikan

Barangsiapa fana’ dari kebodohannya, maka dia baqa’ dengan ilmunya. Siapa yang fana’ dari syahwatnya, maka dia baqa’ dengan tobatnya. Barang siapa fana’ dari kesenangan dunia, maka dia baqa’ dengan zuhudnya. Siapa yang fana’ dari angan-angannya, maka dia baqa’ dengan kehendaknya, dan demikian seterusnya dalam keseluruhan proses penyempurnaan akhlak.

Jika salik fana’ dari sifat-sifatnya yang tersebut di atas, maka dia naik dari ke-fana’-annya yang fana’ dari fana’-nya. Salik yang mengalami fana’ semacam ini sadar akan ke-fana’-annya dan melihat proses ke-fana’-annya. Hal ini seperti yang tergambar dalam syair di bawah ini:

“Suatu kaum tersesat di tanah lengang yang sunyi kaum yang lain tersesat di medan (gemuruh) cinta maka mereka fana’ kemudian fana’ kemudian fana’ (lagi) dan baqa’ dengan baqa’ dari (karena) dekatnya dengan Tuhan”

Yang pertama fana’ dari dirinya lalu muncul sifat-sifatnya, dan ke-baqa’-an sifat-sifatnya mengada dengan sifat-sifat A l-Haqq, kemudian  mengalami fana’ lagi dari sifat-sifat Al- Haqq, lalu muncul kesaksiannya bersama penampakan Al-Haqq, kemudian timbul fana’ berikutnya dari kesaksian ke-fana’-annya bersama kehancuran dirinya dalam wujud Al-Haqq.



Bagikan:

Penulis →

Fadhel Fikri

Co-Founder Sophia Institute, Palu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *