Kotak Amal

PEMBANGUNAN masjid Muhajirin masih setengah jadi: beratap genting tanpa langit-langit, dengan dinding yang masih berupa bata tanpa plester. Bahkan sisa-sisa kaleng cat masih berserakan, bersebelahan dengan piring tempat makan kucing yang masih bersisa. Bersyukur bagian dalam masjid sudah cukup nyaman untuk jamaah beribadah; koleksi sajadah sudah banyak dengan pengeras suara yang bisa memecah seisi kampung kalau berbunyi. Apalagi jika menyangkut info warga meninggal, warga yang sedang makan bisa tersedak dan yang beraktifitas bisa terhenti, untuk sekedar mendengar siapa jatah usia warga yang giliran habis.

“Itu suara masjid gak kurang besar apa?” gerutu salah seorang warga.

“Maklum, itu sound system mahal, khusus pengadaannya dibantu oleh Pak Husni, ketua RT kita,” jelas warga lainnya.

“Alaa beliau aja jarang ke masjid.”

“Kendati jarang sholat, soal kebutuhan masjid beliau tidak pelit. Beda sama kamu, udah jarang ke masjid kalau diminta sumbangan juga medit,”

Begitulah celoteh dua warga Pak Husni setiap TOA masjid bergema. Dia tak mempersoalkan berita miring soalnya. Cuma satu permintaannya; setiap kali masjid mengumumkan para penyumbang di hari Jumat, namanya harus disebut secara lantang. Alasan klasiknya untuk memacu warga biar ikut nyumbang masjid.

***

Soal pemilihan nama Muhajirin ini juga bukan tanpa alasan. Selain merujuk pada makna dan cerita kaum Muhajirin pada zaman Rasul, makna hijrah yang terkandung juga sejalan dengan kondisi warga di sepanjang lorong, yang memang sebelumnya jauh dari nilai agama. Bahkan sepanjang berdirinya masjid masih saja kejahatan sering terjadi. Bahkan terakhir, Bendahara masjid harus diberhentikan gegera menggelapkan uang sumbangan warga. Sontak setelah kejadian itu, jumlah jamaah semakin sepi dan warga menjadi kurang simpati dengan para pengurus masjid.

***

Pergantian pengurus masjid pun tak terelakan. Pak Murtado ditunjuk untuk menjadi Ketua Masjid yang baru. Banyak pekerjaan rumah yang harus lelaki paruh baya itu selesaikan, terutama mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk sholat ke masjid dan meyakinkan warga agar mau bahu-membahu berderma demi pembangunan satu-satunya masjid di RT mereka sudah lama mandek. Dari banyaknya usulannya untuk kembali meramaikan masjid, Pak Murtado memutuskan dua cara; Pertama: menaruh kotak amal di depan masjid, agar para pejalan tergerak untuk berinfak. Kedua: membuka kesempatan bagi warga yang menyumbang dengan iming-iming nama mereka akan disebut lantang sebelum sholat Jumat dimulai.

***

Hari itu setengah warga sudah siap untuk melaksanakan ibadah sholat Jum’at. Terutama Pak Husni yang hari itu juga turut sholat.

“Aku tidak ingin ada warga yang lebih besar menyumbang dariku,” ucapnya kepada tetangganya yang masih belum percaya dia mau pergi ke masjid.

***

Seperti biasa, setelah warga sudah ramai. Pengurus masjid bersiap mengumumkan para dermawan yang rela menyumbangkan harta mereka untuk membantu pembangunan masjid. Kali ini karena yang menyumbang cukup banyak, Pak Murtado harus turun tangan membacakan nama para penyumbang, sebagaimana sudah ditunjuk warga menjadi Ketua Masjid yang baru. Ini juga menjadi inisiatifnya menciptakan kepengurusan yang bersih dan transparansi soal keuangan Masjid.

Satu persatu warga saling pandang pasca nama tetangganya disebut.

“Pak Murat, menyumbang kipas angin agar jamaah tidak kepanasan lagi,” sontak semua memandang ke arah Pak Murat.

“Siapa dulu dong, Murat. Pak RT bukan apa-apa,” ucapnya pongah sambil menatap Pak RT.

“Selanjutnya Pak RT, mendermakan uangnya untuk membeli satu truk batu bata beserta pasir dan semen-semennya,” umum Pak Murtado lagi. Semua mata langsung tertuju kepada Pak RT, sontak dia langsung berdiri dan tersenyum sinis.

“Selanjutnya ada Hamba Allah yang akan membayar iuran listrik dan air selama satu tahun,” kembali semua warga menjadi bertanya-tanya atas nama Hamba Allah yang ternyata lebih besar menyumbang daripada jamaah yang lain.

Saat semua riuh rendah soal siapa pemilik nama Hamba Allah, dari barisan paling belakang, seorang warga tegak dan mengaku dia Hamba Allah tersebut. Tidak lain dan bukan dia adalah Pak Arif — Bendahara yang dulu sempat menggelapkan dana masjid. Semua warga sempat terpancing emosinya.

“Dengan menyumbang sebanyak itu, emang bisa menghapuskan dosa-dosamu dulu, Pak!” celetuk salah satu warga membuat suasana gaduh.

“Betul. Jangan-jangan uang yang disumbangkan itu uang yang dulu dia korupsi!” warga yang lain tak kalah emosi, sehingga panitia harus bersusah payah menenangkan jamaah sampai sholat Jumat dimulai.

***

“Alhamdulillah … untung hari ini warga bisa legowo semua, Pak Murtado,” ucap Pak Lilik sembari menghitung uang hasil sumbangan dari kotak amal masjid.

“Betul. Biarin aja warga seperti itu, setidaknya mereka bisa berlomba-lomba dalam kebaikan,” tandas Pak Murtado sembari menyodorkan setumpuk uang penuh lipatan “25 Lima Ribu”

“Ini juga aneh-aneh kalau nyumbang. Masak lipatannya belibet kayak gini, pas dibuka cuma 2000 perak,” celetuk Jiwo yang merupakan termuda dari ketiga pengurus tersebut.

“Pak Kadir mau ke mana?”

“Ngambil kotak amal pinggir jalan, Pak?” sangat hapal, Pak Murtado hanya mengangguk.

“Oke. Sementara uang ini disimpan di kotak amal besar ini. Nanti kalau rekening masjid sudah selesai baru kita masukan ke bank,” ucap Pak Murtado langsung mengambil ancang-ancang untuk membubarkan mereka.

“Tapi sebelum bubar, Jiwo kamu beli nasi bungkus dulu di warung Bu Sri, sisanya belikan air mineral saja,” Pak Murtado menyerahkan selembar uang 50 ribu-an yang sebelumnya diambil dari kotak amal. Ketiga temannya saling berkedip satu sama lain.

***

Cuaca sedikit gerimis. Biasanya kondisi seperti ini dimanfaatkan warga untuk diam di rumah. Kebetulan waktu sholat Maghrib masih lama.  Di suasana seperti ini juga aku habiskan untuk tidur nyaman di kasur terempuk. Tapi percuma, ketenanganku terganggu oleh kedatangan seorang lelaki renta dengan tampang semrawut. Pakaiannya lusuh bak gelandangan. Semakin meyakinkan, karena dia datang dengan gerobak pembawa sampah yang masih bercokol anak istrinya di dalamnya.

Apa dia mau mengejar sholat ashar?

Atau dia mau berteduh karena gerimis?

Ah! Tidak mungkin!

Semua rasa penasaranku terhenti tatkala melihatnya hendak menuju kotak amal besar sambil mengelus-elus perut. Tak lama, mungkin hanya beberapa menit, lelaki itu nekat menggondol semua uang jamaah yang baru dikumpulkan oleh Pak Murtado.

Andai aku seekor anjing, mungkin bisa menggonggong atau melolong-lolong agar dia ketakutan. Tapi aku hanya seekor kucing kampung, volume suaraku pun terbilang kecil. Paling kalau aku mengeong, cuma dianggap kelaparan atau sedang bergelut dengan kucing lain.

Lalu aku menyaksikan keluarganya tampak bahagia usai lelaki renta itu menunjukkan berbungkus uang di dalam plastik. Jangankan menggonggong, mengeongpun aku tak sanggup. Air mataku merembes.




=================
ES Ayata, lahir di Pedamaran, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Penyuka sastra dan seni, baik menulis, melukis dan film. Karya cerpennya termaktub dalam beberapa antologi bersama dan media sastra. Serta beberapa novel, antara lain: Pasukan Hujan (2018), novel Sialang dan Kubu Terakhir (2019) yang menjadi novel pilihan Festival Sastra Bengkulu (2019) dan sinopsis pilihan Scene (2021). Novel terbaru Hewan itu Bernama Manusia baru selesai dirampungkan.

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *