Merayu Dunya
/1/
nyala matahari memeluk pagi
embun yang jatuh cerminkan diri
ia ingat basah wajah peneduh
dan upaya memantrai hari yang acuh
hujan mencabik genangan dan sungai
yang mengaliri kata-kata ilahi
ia ingat barisan doa sujud terakhir
yang jatuh menyentuh akar dan zikir
akankah cahaya terbit bila cuaca
tak mekarkan warna-warna
pada dua mata duha yang terbuat
dari serpihan bara mahapralaya?
/2/
satu denting sisa gerimis yang riciknya
menerpa tengadah pemilik taman
dan tangan sebasah sabda
mengusap bekas ciuman pertama
inilah muasal dosa menggenapi alasan palsu
yang diucap di mulut sumur
kembara bayang-bayang hilang
di air tenang yang disentuh mahatangan
semua beralih rupa jadi kenangan
tak ada wajah tunggal
tak satu pun manunggal
o, nestapa berlalu dari wujud asal
/3/
demi menutupi hari yang baka
ia pun mengubah cahaya
jadi benang yang ia sulam sementara
seperti kata-kata yang disingkap dari jendela:
terakhir kutemukan nama itu
setelah membuka pintu
dan siang mengintai
di celah bayangan gontai
ia berjalan ke reruntuhan dunia
dengan langkah buta
perlahan menghampiri
dari arah yang suri
/4/
seperti nasihat-nasihat lama
ia turuti matahari duha
saat seluruh wajah menyala
di barisan yang paling pertama
cermin-cermin mulai terbuka
darinya terpancar derita
seluruh titik mula ditempa:
“akankah kau bersedia umpama bencana
diikat sepanjang abad bergema
demi menebus cinta
yang kita ingkari
semenjak dihapus dari kitab suci?”
Yogyakarta, Januari 2022
Tersesat di Hutan Hujan
tetes air yang tajam, tunjam memotong rumputan. walau cuaca runtuh, hijau pohonan tak menghalangiku menjemputmu dari deras kicau kekacauan sungai yang dibelah sebatang bilah. lantas perahu yang datang musti fasih membaca arah agar sampai pada batu yang dilucuti sengat matahari.
semua yang menyembah rawa dan jeritan yang dilemparkan dari seberang telah sampai kepada jalan yang terhapus. mulailah dendang kedasih bergetar di punggung katak sang pemanggil hujan. angin jatuh ke mata, suara dedaun menyambut gugurnya hawa musim dingin.
hutan sering menelan pendatangnya. tapi arah lain lebih tak pasti. tanganmu yang pilu membasuh kuyub langit. batin gigil menuntun buta perjalanan panjang ke arah senja wajahmu menemui rupa yang dituju. amat tabahlah para pejalan yang berpaling dari tamsil bunga-bunga: ciumlah!
Banjarnegara, September 2021
Wajah Cermin yang Basah
bulan hanyalah debu yang terlempar setelah meminjam cahaya wajahmu. di balik cermin yang menghalau kekalahan, malam berubah kelamin. kegelapan telanjang di hadapanmu, menjelma bahaya yang mengendus anyir luka.
tanah yang melahirkanmu mengutuk setiap persembunyian. seorang nabi memunguti tangisan. dipindahkannya sungai ke dalam dada. ingatkah kau pada mata embun yang mengintip: barangsiapa berkaca padaku akan menyesal selama-lamanya!
kutegaskan padamu bahwa yang basah hatiku. bertahun kesementaraan mengalir dari ceruk penglihatan meski tak bisa melihat diri sendiri. moga engkau jadikan rupaku memuliakan mimpi. manakala kau pandang lagi takkan ada sepi yang mampu mengubah takdir ini.
Banjarnegara, September 2021
Dunya, 1
di kamar yang hampa
aku melupa
dan malam yang sendirian
aku lenakan
Yogyakarta, Januari 2022
Dunya, 5
bila kita pasrahkan tubuh
jadi sepatah kayu dalam tungku
akankah cinta menyala
di dalam api-Nya?
Yogyakarta, Januari 2022