BULBUL kekasihku…
Senang rasanya mendapatkan kabar darimu. Tujuh purnama kau tidak mengirim surat. Betapa aku merindukanmu, dan rindu ini benar-benar tak mampu lagi diibaratkan; seperti isi suratmu yang terakhir.
Bulbul tali rinduku…
Berdosakah bila aku membayangkan memeluk tubuhmu, atau membayangkan paruhmu mematuk kelopakku? Sumpah Bulbul, sering sekali saat angin malam mengerubungi tubuhku, aku selalu tergoda membayangkanmu. Kadang pikiran-pikiran liar itu tak dapat aku bendung; ia muncul begitu saja. Apakah itu hanya semata sir belaka?
Bulbul daging-darahku…
Jika benar tubuhmu kini kurus tak berdaging karena memikirkanku, maka maafkanlah aku yang lemah ini. Sebenarnya kondisi tubuhku pun tak kalah parah seperti tubuhmu yang kau ceritakan. Aku nyaris layu bagai selembar kertas ditimpa hujan. Namun bila kuingat pertemuan kita malam itu, tubuhku mendadak bergetar. Aku merasakan sesuatu masukiku; memenuhiku. Tapi aku tak tahu itu apa. Yang aku tahu, aku kembali bertenaga setelahnya. Hanya saja hal itu tidak pernah berlangsung lama, sehingga mau-tidak mau aku harus kembali mengingat peristiwa pertemuan kita. Terbayangkah olehmu sekuntum bunga yang terus bertahan hanya lewat mengingat pertemuan dengan kekasihnya?
Kau boleh saja berpikir kalau aku sedang memelas, atau barangkali merayumu agar kau segera menjemputku. Tapi demi kelopak yang memahkotahiku, ceritaku ini sungguh benar adanya.
Bulbul tambatan hatiku…
Jujur aku sempat menduga, jangan-jangan kau telah bermain api pada kuntum bunga yang lain. Setiap malam kau berkasih-kasih dengannya sambil membacakan puisi-puisi cintamu yang menggetarkan. Sementara aku, dengan kesetiaan yang gila ini terus saja menunggumu; bersama debar-getar yang tak kalah gilanya.
Tetapi Bulbul, seperti janjiku malam itu, aku sungguh tak berkeberatan jika kau membagi hatimu pada kuntum bunga yang lain. Aku sebenar percaya dengan semua ucapanmu, kalau hatimu memang tercipta untuk bunga-bunga. Tapi sungguh, aku tidak terima bila kau melakukannya sembunyi-sembunyi. Betapa menyakitkan hatiku; itu senyata-nyata perbuatan yang merendahkan martabat.
Aku tidak ingin martabatmu direndahkan, Bulbul. Meskipun dengan mewujudkan mimpimu itu, kau pun pasti akan direndahkan; dicemooh burung-burung serta bunga-bunga yang tidak pernah tahu maksud-tujuanmu. Dan aku sungguh tidak terima bila yang merendahkan itu burung-burung lawan politikmu.
Perlu kau tahu Bulbul, walaupun aku jauh dari hiruk-pikuk kehidupan negeri burung, aku sesungguhnya masih mengikuti perkembangan negeri burung melalui seekor Capung yang rajin mondar-mandir ke negeri burung. Melaluinya, aku tahu negeri burung sedang didera persoalan ekonomi yang nyaris stadium 4. Hutang negeri burung semakin membengkak, sehingga kau pun terpaksa menaikkan pajak-pajak.
Aku pun mendengar kalau saat ini kau ditekan lawan-lawan politikmu serta burung-burung pemodal besar yang menyokongmu pada pemilihan kepala burung tempo hari. Jujur, aku juga heran mengapa mereka begitu kukuh memaksamu mengambil sikap terhadap perang antara Negeri Beruang Putih dengan Negeri Tupai Tanah—seperti ceritamu dalam surat. Padahal apa urgensimu dalam persoalan itu.
Namun yang paling membuat hatiku terbakar-marah, tak lain tentu saja soal cemooh lawan-lawan politikmu perihal niatmu yang ingin memiliki banyak bunga. Betapa dangkal dan penuh sentimen argumen-argumen mereka terhadap niatmu itu.
Tapi percayalah Bulbul, aku akan tetap mendukung semua ide-idemu, pikiran-pikiranmu, tanpa satu hal pun yang aku sanggah kebenarannya. Bagiku itulah wujud cinta: menyerah-pasrah tanpa berpikir. Sebab cinta yang didasari pikiran-pikiran (untung-rugi) adalah transaksi. Patutkah cinta disamakan dengan jual-beli?
Bulbul surga duniaku…
Sesungguhnya aku begitu prihatin pada persoalan ekonomi yang sedang melanda negeri burung. Kalau boleh aku berpendapat, itu semua karena sistem ekonomi yang dianut negeri burung begitu melenceng jauh dari fitrah. Ditambah keserakahan burung-burung pemodal besar di negeri burung yang sudah kelewat batas. Mereka tega merusak sumber daya alam negeri burung demi memenuhi hasrat duniawi yang tak pernah cukup; bagai meminum air laut. Dan semua semakin diperparah dengan sifat rakyat negeri burung sendiri yang ikut-ikutan serakah seperti para burung pemodal besar. Mereka sanggup mempermainkan timbangan, kualitas produk, harga, bahkan sampai berani menimbun barang-barang kebutuhan pokok.
Saranku segeralah kau ganti sistem ekonomi negeri burung. Kembalilah ke fitrah; mengoptimalkan sumber daya alam negeri burung yang kaya dan subur. Jangan terlampau berambisi mengikuti negeri-negeri lain yang sesungguhnya sedang menuju kehancuran. Kalau kau tak sanggup melakukan itu, maka lepaskan saja jabatanmu! Itu hanya akan membuatmu semakin sulit tidur.
Sadar atau tidak, Bulbul, kau pun sesungguhnya telah pula berlaku zalim kepada rakyat negeri burung bila terus memaksakan diri memimpin negeri burung. Biarkan saja burung-burung palsu itu yang melanjutkan jabatanmu. Toh mereka juga pasti akan jatuh tersungkur bila terus bertahan pada sistem yang melawan fitrah.
Soal perang yang sedang terjadi, Bulbul, aku pikir sebagai kepala suku negeri burung, kau harus tetap berada dalam posisi yang menentang perang. Apa pun tujuan sebuah perang, pastilah selalu meninggalkan luka kesedihan dan dendam. Namun ada satu hal yang perlu kau cermati dengan seksama mengenai perang kali ini, betapa negeri-negeri di sekitar Negeri Beruang Putih dan Negeri Tupai Tanah tanpa sadar telah membuka kedok mereka sendiri. Lihatlah argumentasi-argumentasi politikus serta rakyat mereka yang cenderung bernada rasis. Sementara di tempat yang berbeda; yang jauh dari kedua negeri yang berperang itu, perang sudah berlangsung puluhan tahun. Tapi negeri-negeri di sekitar kedua negeri itu, hanya bisa diam seolah tidak tahu-menahu kejahatan kemanusian terjadi setiap hari terus menerus.
Maka berhati-hatilah Bulbul. Dunia ini sungguh penuh dengan tipu-daya. Apa yang kau dan aku lihat di permukaan, belum tentu gambaran yang sesungguhnya. Untuk itu, ingatlah selalu asal kita Bulbul, dan ke mana nanti kita akan kembali. Sebab semua perbuatan pasti akan dipertanggung jawabkan.
Bubul penyair hatiku…
Aku ingin bertanya, mengapa kau tidak menyertakan puisi cinta dalam surat terakhirmu kepadaku? Biasanya kau selalu mengirimi aku puisi cinta. O, aku tahu, pastilah beban menjadi kepala suku burung telah membuatmu sulit menuliskan puisi-puisi cinta. Sungguh, ingin rasanya aku ada di dekatmu; menemanimu melalui hari-hari yang sulit sebagai kepala suku burung.
Bulbul, aku benar-benar tergelitik dengan ceritamu tentang seekor burung hamil yang berdoa agar kelak anaknya menjadi kepala suku burung sepertimu. Jikalau menjadi kepala suku sungguh berat dan menderita, mengapa burung itu ingin anaknya menjadi kepala suku burung? Bukankah itu cita-cita yang konyol lagi keliru? Lagi pula apa enaknya menjadi kepala suku burung kalau setiap hari didemo dan diributi para pendengung.
Ya, memang benar, menjadi kepala suku burung adalah puncak khayalan paling menggairahkan yang bisa dibayangkan oleh rakyat negeri burung. Namun sekiranya burung hamil itu sadar harga yang harus kau bayar untuk menebus posisi yang sekarang kau duduki…
Ah, tak sudah memang kalau kita membicarakan hal-hal yang terkait dengan nafsu dunia; dan menjadi kepala suku burung sungguh nafsu yang paling menggairahkan. Mereka belum tahu saja bahwa menjadi kepala suku burung sebenarnya adalah kutukan ketimbang anugrah. Lihatlah, persoalan cinta kita pun tak kuasa kita selesaikan. Lantas, bagaimanakah akhir kisah cinta kita ini, Bulbul?
O, Bulbul, aku tidak ingin memberatkanmu lagi dengan pertanyaan-pertanyaanku. Aku tahu tugasmu sebagai kepala suku burung sangat berat dan berisiko. Biar nanti aku cari tahu sendiri jawabannya. Pintaku, segeralah selesaikan masalah ekonomi, perang, dan para pendengung lawan politikmu di negeri burung. Setelah itu jemputlah aku; bawalah aku ke taman Simurgh menyusul Hudhud, lalu hidup bersama Raja yang sesungguhnya.
Sampai di sini dulu suratku, Bulbul. Doakan aku tetap mekar sampai kau datang menjemputku. Duh, cepatlah Bulbul!!!
Kekasihmu…
Mawar Berduri.
Kalibata, 2022.