Sebuah Perjalanan Tanpa Waktu

PULUHAN kunang-kunang mengitari kepalanya. Sengat matahari dan tekanan udara menembus batok kepalanya. Kerongkongannya sangat kerontang, hingga ia sulit bersua barang sedikit saja. Titik-titik keringat bermunculan dari kulitnya. Peluh yang keluar tak sebanding dengan cairan yang masih tersimpan di tubuhnya. Ia sangat merindukan—bahkan membutuhkan air.

Mata lelah itu mencari-cari telaga yang diceritakan orang-orang berpakaian serba putih dan hijau sebelum keberangkatannya menuju perjalanan terakhirnya. Tetapi ia tidak melihat barang sedikit saja telaga jernih dan sejuk itu. Bahkan setetes air pun ia tidak mendapatkannya. Ia telah berjalan melewatkan waktu yang seolah tidak bergerak sedikit saja—sehingga meragukan bahwa waktu benar-benar ada atau tidak. Ia tidak mengetahui siang dan malam, sebab tidak pernah ditemukannya langit yang gelap nan sejuk, kecuali kegelapan yang sesekali menyergap pandangannya ketika ia ambruk kemudian tersadar kembali dengan dahaga yang jauh lebih mendera. Sejauh ia berjalan, matahari tak pernah berpaling dari tubuh ringkihnya. Ia seolah menjadi benda tata surya yang paling serakah dalam hal menyaksikan perjalanannya.

Nas menatap langit yang begitu menyilaukan. Matahari terasa begitu dekat, tepat di atas ubun-ubunnya. Kawanan burung berbulu hitam terbang melintasinya. Nas menghela nafas demikian berat menatap kawanan burung itu. Ia begitu iri melihatnya. Ia berpikir mengapa Tuhan tidak menjadikannya sebagai burung saja, agar ia dapat menuju suatu tempat begitu mudahnya. Andai ada kereta ekspres, atau mobil di tempat itu tentu akan mudah baginya untuk lekas sampai pada tempat terakhirnya. Ia juga akan sangat mudah menemukan telaga yang sering diceritakan banyak orang itu, terutama Syekhan dan kawanannya.

“Di telaga itu, jika kau meminum airnya, dahagamu akan benar-benar terobati. Bahkan kau tidak akan pernah merasa dahaga lagi kendatipun berjalan sangat jauh. Airnya begitu sejuk,” kata Syekhan dulu, ketika ia masih berada di perantauan.

“Apakah aku bisa ke sana?” tanyanya dengan nada meremehkan, seakan yang diucapkan Syekhan bualan belaka.

“Tentu. Semua orang dapat ke sana, Nas.”

Nas hanya mengangguk ragu. Pikirnya, bagaimana mungkin di tempat yang telah dipenuhi pencemaran fatal di muka bumi ini ada telaga seindah yang dikisahkan lelaki bertopi hijau itu. Sebuah telaga yang begitu jernih airnya, dan saking jernihnya dasarnya yang dalam terlihat jelas Serta memantulkan warna hijau zamrud. Jika pun Tuhan masih menyisakan tempat seperti itu di muka bumi yang telah dipenuhi limbah dan sampah mengerikan ini, pastilah hanya orang tertentu yang dapat mengunjunginya. Ada tiket yang harus dibayar mahal untuk ke sana.

Tempat itu pasti dijaga sangat ketat agar tidak sembarangan orang dapat mengunjunginya. Sebab ia yakin jika tempat seindah itu dapat dikunjungi semua orang, pastilah tempat itu tidak akan indah lagi. Tercemar dan rusak. Manusia adalah pengagum keindahan sekaligus perusaknya.

Ia tidak mengerti akan tingkah orang-orang seperti Syekhan  yang suka sekali berkhayal dan membual. Seolah surga dan neraka adalah miliknya, sehingga mereka begitu antusias membicarakan omong kososng itu. Kendati pun tidak masuk akal menurutnya, Nas tetap berupaya baik-baik saja, dan tidak menunjukkan pertentangan. Ia tetap berupaya menghargai perasan Syekan yang usianya jauh lebih tua darinya.

Tentang telaga itu, rupanya bukan ia saja yang mendengarnya dari Syekhan dan kawannya, melainkan kerabat dan keluarganya sendiri. Bahkan istri dan tiga anaknya memercayai bualan itu. Hal inilah yang membuat Nas murka.

“Mengapa kalian percaya? Mereka hanya pendongeng.”

“Benar, Pak. Aku pun tidak percaya akan adanya telaga itu. Syekhan terlalu mengada-ada,” timpal putra sulungnya.

“Syekhan tidak mungkin berbohong, Pak,” istrinya mulai angkat bicara ketika mendengar kata pendongeng.

Hampir saja ia menempeleng perempuan itu karena ucapannya. Namun kesadarannya masih utuh betul sehingga ia masih dapat menahannya. Namun dari gerakan dan raut wajahnya pun istrinya telah mengetahui bahwa ia marah. Sejak perdebatan itu, hubungan dengan keluarganya menjadi pecah dan berjarak. Bahkan perlahan-lahan istrinya meninggalkan ia.

“Syekhan yang terlihat suci itu telah merebut Ibu darimu, Pak.”

“Biarkan saja. Nanti pun ia akan merasakan akibatnya. Kesehatan akalnya telah hilang,” timpal Nas pada putra sulungnya.

Karena perpecahan dengan keluarganya, Nas jadi membenci Syekhan. Apalagi jika mendengar sesuatu tentang telaga hijau yang jernih dan ajaib airnya. Kisah itu selalu mengingatkannya akan luka perih ditinggalkan istri tercinta dan ketiga anak yang amat ia sayangi. Semua hanya karena Syekhan sialan itu.

Nas tersungkur. Tubuhnya berdebum menimpa tanah  kerontang. Air matanya mengalir menetesi tanah dan menguap begitu saja. Ia teringat Mar’ah dan anaknya. Pula telaga hijau nan sejuk itu. Ia menyesal mengapa dulu tak mempercayai kebenaran yang disampaikan Syekhan.

Seekor burung gagak hinggap di hadapannya, bertengger pada pohon yang kering dan tinggal ranting. Gagak itu menatapnya kasihan. Nas terlihat mengenaskan. Ia tengkurap di atas tanah panas berdebu.

“Apa telaga itu benar-benar ada?”

“Ya, ada dan sangat indah,” jawab gagak.

“Apa aku dapat ke sana?” suaranya yang semakin parau membuat gagak kasihan.

“Ya, tentu. Setelah berjalan sedikit lagi.” Gagak itu terbang meninggalkan seonggok tubuh yang lemah dibakar terik matahari.

Nas menatap tubuh gagak yang terus menjauh lalu menghilang. Ia membayangkan jika dirinya adalah burung itu. Ia memiliki sepasang sayap, yang dapat dikepakkan hingga membubung tinggi di angkasa. Menatap daratan yang gersang dengan pongah dan lekas menemukan telaga hijau itu. Mungkin saja dengan memiliki sayap,  ia telah berada di telaga itu dan menikmati keindahan serta kesejukannya bersama famili.

Tiba-tiba  ia ingat istri dan anak-anaknya lagi. Mereka sudah tentu berbahagia di telaga itu karena mempercayai Syekhan. Kecuali putra sulungnya. Ia  menangis dan membayangkan kemungkinan buruk apa yang menimpa sulungnya. Nar sama sepertinya, tidak mempercayai ucapan Syekhan dan menistakan lelaki itu. Pikirnya, barangkali putranya mengalami hal sama seperti ia. Atau mungkin lebih parah lagi. Ia rindu Nar yang selalu mendukungnya, meski pada akhirnya, Nar meninggalkan Nas lebih dulu dengan sejumlah pil penenang yang membuat Nar melayang dan menggigil kedinginan lalu pergi dari perantauan.

“Bangunlah Ayah.”

Suara anak bungsunya membuat ia mengerjap. Ia mencari arah suara itu, tetapi tidak ada siapa pun di sana kecuali langit yang terlalu silau dipandangi dan tanah yang memeluknya erat. Ia menghela nafas berat. Rasanya ingin mati, tetapi tidak bisa. Ia abadi hingga tempat tujuan akhir nanti. Susah dan perih itu pun abadi menyertai perjalanan Nas. Bahkan saat sedang terdiam pun masih terasa lelah sekan tidak ada istirahat baginya.

“Percayalah Nas, kau dapat ke sana. Kau hanya perlu air matamu.”

Suara lembut istrinya Membuat ia bangkit. Ia tidak pula melihat perempuan itu. Tetapi ia yakin suara itu suara istri dan anak bungsunya. Ia berjalan tertatih. Dalam benaknya tak henti memikirkan air mata yang dimaksud istrinya. Air mata seperti apa yang dapat memudahkan ia pergi ke telaga itu. Ia telah berkali-kali menangisi kepedihan dan penderitaannya dalam perjalanan tak berujung ini. Tetapi tak juga membuatnya dekat dengan telaga yang diceritakan Syekhan. Dulu ia tidak percaya dan kini ia sangat percaya meskipun tak pernah melihatnya. Barangkali lebih tepatnya ia memang berharap telaga itu ada agar ia dapat minum dan mengistirahatkan diri di sana.

Nas menyeka peluh yang bercucuran di dahinya. Ia tidak lagi mengukur jarak perjalanannya, sebab ia yakin perjalanan masih sangat panjang. Ia sudah lelah berkali-kali mengukur jarak langkahnya, yang tidak pula menemukan tempat perhentian yang sesungguhnya. Ia tidak akan menghitung tetes peluh yang terus mengucur dan mencari tempat berteduh. Ia terus berjalan dan merasakan lelahnya sendiri. Berkali-kali ambruk, ia bangkit lagi. Ia ingin menyerah tetapi tidak bisa.

Angin panas berembus menerpa kulitnya. Nas tidak merasakan kesejukan dari embusannya. Beberapa orang berlalu melewatinya tanpa memedulikan ia sama sekali. Ada yang berlalu begitu santainya tapi terlihat lebih cepat dari langkah Nas. Ada pula yang berlalu tergesa dan ada  yang berlalu dengan melesat begitu saja dengan keriangan di wajahnya. Nas hanya menatap orang-orang itu nanar. Ia tidak seperti mereka, entah apa sebabnya, ia tidak mengerti.

“Kita akan menempati suatu tempat indah dan akan abadi di sana. Hanya saja perlu banyak pengorbanan yang ikhlas untuk menempuh perjalanan ke sana,” kata Syekhan suatu senja, ketika Nas tak sengaja melihat Syekhan sedang bercerita di hadapan pengikutnya.

Dalam letih perjalanannya kini, ia melihat Mar’ah dan anak-anaknya sedang bercengkerama di sisi telaga yang hijau dan indah. Mereka berpakaian bersih dan rapi. Tidak sepertinya yang kusut dan lusuh. Bertapa akan bahagianya ia jika dapat berkumpul dengan mereka. Namun semua sudah terlambat baginya. Ia telah memilih perpisahan dahulu. Rindunya semakin tak tertahankan pada Mar’ah dan anaknya.

Tak terasa air mata telah membasahi pipi Nas. Setelah mimpi buruk yang terus menyiksanya, ia dihadapkan pada perjalanan menuju tempat akhir yang begitu menyiksanya.  Ia tersedu meratapi nasibnya sendiri. Ia terhuyung lalu bersimpuh entah pada apa. Ia ingin kembali ke perantauan untuk memperbaiki dirinya, mengumpulkan perbekalan yang cukup untuk perjalanan ini. Kini ia begitu lelah dan tersiksa tanpa bekal untuk melalui perjalanan yang bahkan jika waktu masih ada—tanpa memedulikan hilangnya malam—barangkali telah ratusan bahkan ribuan tahun Nas melalui perjalanan ini.

Nas bersujud. Ia ingin lekas mengakhiri perjalanannya. Ia sudah tidak tahan dengan terik matahari yang menyiksa dan dahaga yang kian mendera. Nas tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan tangis penyesalan yang dimaksud suara istrinya itu tak juga mengurangi deritanya.

“Sebutlah nama-Nya Nas. Pujilah Ia dan menangislah dengan mengucapkan panji-panji-Nya. Sebut pula nama Kekasih-Nya, Nas.” Suara yang datang tiba-tiba itu membuat Nas terdiam. Siapa yang harus dipujinya? Bahkan lidahnya begitu kelu untuk mengucap satu kata saja. Nas bergeming. Air matanya mengalir deras membasahi tangannya. Ia menangis dan menyesal telah berkhianat pada diri sendiri dan tak sedikit pun mengenal penciptanya ketika dirinya di perantauan dulu. Ia terlalu besar kepala dengan akal dan nafsunya sendiri. Nas hanya menangis. Hanya itu yang dapat dilalukannya. Tidak ada lagi yang lainnya.

Sukabumi, 2022






==================
Bia R lahir dan tinggal di Sukabumi. Beberapa cerpennya dibukukan dalam antologi bersama.

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *