Doa Ustaz Japar

ADA satu doa Ustaz Japar untuk dirinya sendiri yang belum dikabulkan. Tak ada orang lain yang tahu tentang ini, kecuali dia dan istrinya. Meski begitu, ia sudah dianggap sebagai jaminan terkabulnya keinginan siapa pun jika meminta didoakan olehnya. Entah sudah berapa banyak yang mempercayai itu, mulai dari pedagang kaki lima sampai pengusaha besar, bahkan tak sedikit tokoh partai yang kemudian menjadi elite politik atau pejabat kelas atas di pemerintahan. Nyaris mereka semua mempercayai doa Ustaz Japar memang makbul.

Entah bagaimana mulanya dia menjadi terkenal di kalangan para peminta doa itu. Yang jelas, dari sekian banyak orang itu datang karena rekomendasi dari kawannya, atau kawan dari kawannya, dan seterusya. Ada juga yang datang karena bisikan dalam mimpinya, yang hanya menggambarkan sebuah lokasi dan ciri-ciri sosok Ustaz Japar, tapi yang pasti mereka berhasil menemukan tempat tinggal sang ustaz.

Beberapa waktu setelah mereka datang untuk didoakan, mereka datang lagi dengan membawa hadiah atau sejumlah uang sebagai wujud terima kasih. Dan sebagian dari semua itu, Ustaz Japar berikan kepada panti asuhan atau panti sosial lainnya. Dia merasa, hadiah-hadiah dalam bentuk apa pun yang jika ia tumpuk-tumpuk tidak akan menjadi manfaat bagi perjalanan ruhaninya.

Namun, meski telah berhasil menolong sekian banyak orang dengan doanya, Ustaz sendiri merasa sedih. Ada satu doanya yang ia dawamkan sejak masih menjadi santri hingga ia punya dua anak belum juga dikabulkan. Ia memang kadang merasa doanya cukup agak terlalu berani kepada Sang Pencipta. Ia meminta diperlihatkan surga dan neraka sekaligus tempat dirinya di sisi-Nya, apakah langsung ke surga atau mampir dulu ke neraka. Ia sempat mengatakan doanya itu pada istrinya, tapi tak pernah mengatakan punya alasan pasti atas doanya itu. Istrinya tersenyum, tak menanggapi dengan antusias, dan hanya berkomentar “Abah berdoa kok ya aneh-aneh begitu”. Meski sudah merasa doanya memang aneh dan istrinya begitu, ia tetap yakin Sang Pencipta Maha Mengabulkan segala doa hamba-Nya. Ia pun terus mendawamkan doa khususnya itu.

Hingga di sebuah malam, suara pintu yang di ketuk berulang membuatnya terjaga dengan kepala terasa sedikit pusing. Ia menggeleng-geleng kecil untuk mengusir pusing itu. Dan sambil menutup mulutnya ia menguap, disusul dengan memohon ampunan Tuhan. Sesaat kemudian, sudut matanya melirik jam dinding dan mengetahui baru sekitar seperempat jam ia terlelap, lalu menggumam, pantas saja kepalaku pusing begini. Pandangannya kembali terarah ke jam dinding. Dari bibirnya mengalir lirih tanya penasaran. Siapa yang bertamu lewat tengah malam begini? Apakah seseorang yang sangat membutuhkan bantuan sehingga harus datang di malam yang sudah menginjak dini hari ini? Ataukah penjahat? Jika memang penjahat, bagaimana caranya mengelabui petugas keamanan perumahan yang sudah sangat pengalaman mengenali berbagai jenis karakter manusia itu?

Terdengar suara pintu diketuk lagi. Kali ini disertai salam. Suaranya khas laki-laki.

Ia ragu untuk menjawab salam itu, apalagi membuka pintu. Ia menimbang dan mencari cara terbaik mengetahui siapa tamu itu.

Terdengar ketukan di pintu dan disusul salam lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya, tapi suara salam tamu itu terdengar kalem, sama sekali bukan jenis suara kasar umumnya penjahat.

Baru saja ia mempercayai tamunya bukan penjahat, seketika itu juga terlintas dalam benaknya sebuah pertimbangan lain: pejabat yang tampak jujur, kalem, dan bertutur lembut pun nyatanya juga banyak yang sebenarnya adalah penjahat.

Sekali lagi terdengar salam dan pintu diketuk. Kali ini disusul sebuah panggilan. “Tolong, Ustaz, waktunya sudah semakin mendesak.”

Mendengar nada permintaan yang mengiba itu, ia tidak menimbang lebih dalam lagi, tapi tetap menjaga kewaspadaan dan kehati-hatian. Ia bangkit sambil menguap dan menutupkan tangannya ke mulut. Sekilas ia melirik istrinya yang tidur pulas sebelum ia beranjak membuka pintu kamar.

Ia berdoa lirih memohon perlindungan terbaik, jika tamunya ternyata seorang penjahat.

Namun, untuk berjaga terhadap kemungkinan buruk, ia menyiapkan pentungan dan bersiap terhadap serangan. Ia membuka pintu depan dengan hati-hati. Pintu terbuka sedikit dan tampaklah di hadapannya seorang lelaki jangkung berpakaian selayaknya santri berdiri sambil tersenyum. Senyum yang menandakan kebaikan. Ia merasa lega melihat itu. Embusan angin menguatkan aroma menenangkan dari sosok di hadapannya. Itu membuatnya berani meletakkan pentungan di samping pintu dan membukanya lebar-lebar.

Assalamu’alaikum, Ustaz. Selamat malam,” kata sang tamu.

Waalaikumsalam. Maaf, bolehkah saya tahu siapa Anda dan kelihatannya ada hal yang sangat mendesak sehingga menemui saya dini hari begini.”

Lelaki jangkung itu tersenyum. “Benar, Ustaz. Saya diutus untuk menjemput Anda. Dan kita harus berangkat saat ini juga.”

Ustaz merasa aneh. Seingatnya, ia tidak pernah membuat janji dengan siapa pun hari ini. “Maaf, saya tidak paham dengan kata berangkat yang Anda maksud. Siapakah yang mengutus Anda?”

“Ustaz tentu sangat ingat dengan permintaan Ustaz, bahkan mengulang-ulang setidaknya lima kali dalam sehari.”

Meski merasa aneh dengan jawaban tamunya, ia segera ingat dengan doanya yang memang ia ucapkan lima kali sehari. Hatinya perlahan berdebar antara senang dan khawatir. Ia menduga-duga mungkinkah sosok di hadapannya adalah malaikat. Ia sangat senang jika sosok itu benar malaikat. Tapi, ia tidak mau doanya dikabulkan jika caranya harus mati.

“Artinya saya harus mati?”

Sosok jangkung itu tersenyum. “Mari, Ustaz. Waktu kita semakin berkurang.”

“Maafkan aku, ya Allah. Tapi, aku tidak ingin doa itu dikabulkan jika caranya aku harus mati.”

Begitu kalimat itu selesai terucap, sosok jangkung itu bergerak cepat menjajari dan menyambar sang Ustaz seumpama kilat. Membawanya melesat.

Ustaz Japar merasakan dirinya dicengkeram dengan kuat dan sempat melihat sosok jangkung itu membawanya melesat sangat cepat melebihi kilat. Tak kuasa melihat dengan kecepatan tak terkatakan itu, ia pejamkan mata kuat-kuat. Bahkan, ia tak lagi bisa mengingat apa yang dirasakan tubuhnya selama melesat itu. Ia baru berani membuka mata setelah sosok jangkung memintanya membuka mata, “Kita sudah sampai, Ustaz”.

Perlahan dia membuka mata.

“Amati baik-baik yang tampak di sekitar Anda, Ustaz,” ujar sosok jangkung kemudian.

Ustaz Japar melangkah menyusuri jalan panjang yang tak tampak ujungnya sambil terus mengamamati sekitarnya dengan saksama. Setelah cukup lama mengamati, ia mengernyit bingung, karena di sepanjang perjalanannya ia tidak bisa memastikan apakah itu surga atau neraka. Ia tidak melihat api menyala-nyala, tidak melihat bidadari, atau sesuatu sebagai gambaran yang ia ketahui sebagai ciri-ciri surga atau neraka. Sebanyak yang ia amati, ia hanya melihat sangat banyak orang dengan kondisi memprihatinkan, sedangkan di sekitar orang-orang itu, agak ke bagian dalam, penuh dengan makanan berlatar gedung atau barang-barang mewah. Ia merasa getir dengan sikap orang-orang yang kecukupan itu terhadap mereka yang kondisinya memprihatinkan.

“Apakah ini surga atau neraka? Mengapa orang-orang kaya itu tak mau berbagi rezeki dengan orang-orang yang memprihatinkan itu?” akhirnya Ustaz Japar bertanya.

“Ustaz, bukan saya tidak mau mengatakan ini surga atau neraka. Tapi, tidakkah Ustaz melihat dengan baik siapa saja mereka itu? Tidak adakah satu atau dua orang yang Ustaz kenal atau ingat wajahnya?”

Ustaz Japar menatap sejenak sosok jangkung yang mendampinginya, kemudian memperhatikan lagi orang-orang di sepanjang tepi jalan itu dengan lebih saksama. Orang-orang yang terlewat dari pandangannya. Dan, akhirnya bisa mengenali sebagian dari mereka, terutama orang-orang yang tertawa-tawa di teras gedung mewah atau yang menghadapi makanan dan buah-buahan semeja penuh. Mereka itu yang pernah datang padanya dan meminta tolong untuk di doakan. Lalu, apa artinya semua ini? Ia bertanya dalam hati.

“Ustaz sudah mengenalinya?” suara sosok jangkung membuyarkan perenungannya.

“Ya. Mereka orang-orang yang meminta saya mendoakannya.”

“Doa apa saja, Ustaz?”

“Soal kekayaan dan jabatan atau keberhasilan karir mereka.”

“Sedangkan kepada orang-orang yang berlalu lalang di sepanjang tepi jalan ini, apakah Ustaz tak mengenalinya?”

Ustaz Japar memperhatikan dengan lebih saksama lagi. Cukup lama. Namun, tak ada yang ia kenali. Ia menggeleng.

Sosok jangkung tersenyum. “Doa seperti apa yang Anda panjatkan untuk tamu Anda?”

“Doa yang sesuai permintaan mereka; saya memohon agar hajat mereka berhasil, diluaskan dan dilimpahkan rezeki mereka.”

“Dan doa Anda untuk mereka dikabulkan.”

Perkataan sosok jangkung itu mengingatkannya pada doanya sendiri. Dia mengangguk. “Tapi, doa saya untuk diperlihatkan surga dan neraka rasanya belum dikabulkan.”

“Seperti saya katakan tadi, surga dan neraka soal gampang. Apa yang Ustaz lihat di sini adalah buah doa Anda untuk mereka dan doa khusus Anda. Ingatlah baik-baik sikap orang-orang yang Anda kenali itu.”

Ustaz Japar merasa tidak paham dengan keterangan sosok jangkung yang kini berdiri di hadapannya. Ia ingin meminta penjelasan, tapi sosok jangkung mendahului berkata. “Ustaz, ada doa yang Ustaz lupakan untuk mereka. Dan itulah jawaban yang Ustaz tanyakan tadi. Renungkan baik-baik doa yang bagaimanakah itu. Sebab, itulah kunci dari permintaan akan posisi Anda di sisi-Nya kelak.”

Kata-kata sosok jangkung semakin membuat Ustaz Japar mengernyit. Namun, lagi-lagi ia tidak sempat meminta keterangan lebih lanjut. Begitu kalimat itu selesai terucap, sosok jangkung itu bergerak cepat menjajari dan menyambar sang Ustaz seumpama kilat. Membawanya melesat.

Ustaz Japar membuka mata perlahan setelah terasa hawa hangat menyisir kulitnya dan mencium aroma tak asing. Ia mendapati dirinya berada di kamar dalam kondisi duduk di tepi tempat tidur. Ia melihat istrinya masih pulas. Dan, ia melihat jam dinding menunjukkan sesaat lagi waktu subuh. Apa yang baru saja terjadi dapat ia ingat dengan jelas, tapi ia mencurigainya sebagai mimpi belaka meskipun aroma khas sosok jangkung masih menempel di bajunya. Ia bangkit untuk memastikan. Pintu depan masih terbuka dan terlihat sebuah pentungan tergeletak di dekatnya.

Ingatannya segera melesat pada kejadian yang dialaminya dengan sosok misterius tadi. Ia mengingat semuanya. Tiba-tiba ia terhenyak, membuat matanya terbelalak karena menyadari kekhilafannya: sebuah doa yang ia lupakan. “Jadi, mereka abai kepada orang-orang miskin itu karena ketidaklengkapan doaku?” lirihnya. Ia terduduk. Berulang kali memohon ampunan Tuhan.




===================
Era Ari Astanto penyuka bika ambon ini lahir di Boyolali. Saat ini bekerja di sebuah penerbitan buku pelajaran di Solo dan aktif di komunitas Sastra Alit. Karya tunggal yang sudah diterbitkan adalah Novel berjudul Jika sang Ahmad tanpa Mim Memilih (Najah, 2013), The Artcult of Love (Locita, 2014), Novel Bertutur Sang Gatholoco (Basabasi, 2018), Novel Riwayat Bangsat (Basabasi, 2019). Karya antologi: Memoar Bermasjid (Diomedia, 2017), kumcer Masa Depan Negara Masa Depan (Surya Pustaka Ilmu, 2019), Memoar Ramadhan dan Merantau (Diomedia, 2019), kumcer Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya (Divapress, 2020). Cerpen-cerpennya juga tayang di beberapa media online. Buku terbarunya yang terbit: Novel dwilogi Nama yang Menggetarkan (Diomedia, 2020).

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *