Lima Belas Tahun Banua

KELUARGA ini adalah keluarga neraka. Katanya kami adalah bangsawan-bangsawan terhormat. Tapi, semua hanya penampakan saja. Tak lebih. Pemuja-pemuja setan di rumah ini telah merenggut semuanya. Kupikir nyawa Ayah juga tak lama lagi akan ditumbalkan oleh dirinya sendiri, ketika persyaratan dan aturan itu perlahan-lahan bertambah banyak dan menekan dirinya. Ya, kami adalah keluarga yang dipandang terhormat karena kami adalah pengikut Marpilapih.

Siapa pun tahu siapa itu Marpilapih. Para penyembah iblis nomor wahid di Bukit Sulap harus terikat dengannya—karena konon dialah iblis itu, tak terkecuali bagi kami, jin-jin yang hidup tak jauh berbeda dengan manusia. Kami memiliki apa-apa yang dimiliki makhluk yang tercipta paling sempurna tersebut. Kami memiliki daratan, sungai, gunung, rerumahan, hutan, istana, madrasah, tempat ibadah, dan masih banyak kelengkapan peradaban lainnya. Tapi sungguh, aku sudah tidak betah di negeri ini. Ingin rasanya aku pergi dari awang-awang yang menyeruput awan selatan Sumatera ini. Tapi aku selalu tak bisa, dan kerap dicerca sebagai makhluk yang tak tahu diri. Tak terima takdir dan tak bangga akan peradaban. Tak memiliki jiwa jinisme. Ah, dari mana mereka dapat istilah itu. Tak terlalu penting memang. Itu hanya bukti bahwa kami layaknya manusia-manusia Bumi.

Aku yakin, manusia juga punya Marpilapih, walaupun tak serupa benar dengan yang ada di entah berantah ini. Tapi entah mengapa, aku merasa ingin berada di Bumi. Aku pikir Marpilapih di sana tak sekejam di sini. Ah, aku merasa ini bukan ranahku. Aku benci Marpilapih di sini. Untuk apa ada aturan-aturan adat-budaya yang lebih mementingkan kehormatan kedaerahan daripada ketulusikhlasan dalam menjalankannya? Itu pun kehormatan yang dihormat-hormati sendiri. Tapi heran, mengapa orang memuja-muji darah biru kami, tanpa melihat kebat-kujut mati yang akan mencekik kehidupan kami.

* * *

ANAK perempuan bukan pewaris harta kerajaan. Anak raja atau orang-orang yang berbau kerajaan yang lahir tidak normal, di usia 15, dapat turun derajat menjadi abdi kerajaan—bahasa halus untuk pembantu, seorang pewaris kerajaan tidak boleh menikah dengan wanita yang lebih tua darinya kecuali untuk urusan mendapatkan anak laki-laki, dan setiap anak lelaki adalah pertanda baik dan kehormatan bagi keluarga kerajaan, karena ia adalah pewaris takhta.

Itulah Marpilapih, yang juga bisa menjelam jadi aturan-aturan yang mengebat-kujut kerajaan. Saat ini ia telah mencekik kehidupanku. Hanya menunggu waktu, aku akan menjadi gadis termalang di kampung besar ini. Kampung dengan raja kecil yang memahabesarkan dirinya.

Jelang usia 15 ini, aku lebih suka mengembara di hutan dekat kampung tetangga, mengintip musyawarah burung-burung di pelepah enau, menyaksikan tarian ular-ular sungai di dekat jeramba merbau, atau sekadar mendengar gemericik air yang menabrak bebatuan nan berlumut di Kelingi, sumber mata air yang menumbuk dasar dangkal alirannya.

Aku harus benar-benar memanfaatkan sisa-sisa waktu ini. Aku harus menikmati kebebasan sebelum menyongsong keterkungkungan sebagai pembantu di istana keluargaku sendiri. Paling tidak sebelum tiba-tiba aku memutuskan bunuh diri. Ya, sejujurnya, aku ingin bebas. Walaupun dengan cara memaksa ruhku meninggalkan jasad. Walaupun, mungkin, masuk neraka nantinya. Ah, aku juga mulai ragu apakah ada nian neraka-surga.

Aku tak pernah terharu sedikit pun mendengar rupa-rupa cerita tentang jasa-jasa kedua orangtua. Sedikit pun tidak. Biasa saja. Baik tentang seorang ibu maupun ayah.

Aku kerap memerhatikan bagaimana gadis-gadis kecil itu berharu-biru: saling bercerita tentang kebaikan ibunya yang selalu mendongeng menjelang tidur. Dan mereka tidur setelah sang ibu melahap berlembar-lembar halaman buku dongeng warisan buyut mereka. Aku yakin, sebenarnya mereka tidak benar-benar tertidur, alias berpura-pura, atau paling jauh mereka tidur-tidur ayam. Mereka melakukan itu semua bukan karena apa-apa. Mereka melakukannya karena turut merasakan bahwa perempuan yang berada di samping mereka saat itu sudah cukup parau suaranya, sudah berat jua matanya, dan sudah berbusa-busa mulutnya, memapas setiap kalimat yang mulai mengabur dari kitab cerita tersebut.

Calon-calon perempuan dewasa itu bercerita bahwa saat-saat terindah sebelum mati suri untuk melihat pagi adalah ketika sang ibu menyelimuti, membacakan doa tidur, dan mencium kening mereka dengan penuh perhatian, kasih sayang, dan cinta kasih yang dalam.

Mereka juga sering bercerita betapa ayah–masing-masing punya sebutan berbeda untuk laki-laki itu: papa, papi, daddy, bapak, pak e, apak, abah, atau sama sepertiku, ayah (ayah?! Puih!!)—memberikan perhatian besar terhadap batas ngaji, hafalan nama-nama rasul, kesehatan, bahkan sampai masalah yang tidak penting sedikitpun seperti kerapian pakaian, makan siang….

Ah aku masih belum yakin. Benarkah semua nyata adanya. Atau mereka berlomba-lomba menopengkan air muka, agar jangan tampak bahwa mereka keturunan Adam yang malang durja: hati yang meranggas dan kenyataan hidup yang masam, tiap malam mengepel lantai kamar yang memarun karena tetesan air mata merah. Darah. Mereka pasti tak terlalu berbeda denganku. Aku yakin itu ….

Walaupun Kek Guntur pernah menyuruhku untuk merenung beberapa kejap saja, aku tak bisa, lebih tepatnya aku tak mau mencoba. Untuk apa merenungi orang-orang yang tak menyisakan goresan emas dalam hidupku.

Ibu yang lebih tampak sebagai perempuan jejadian yang memakan masa hadapanku. Ayah yang lebih layak kupanggil lelaki serigala yang menggigit setiap bagian tubuhku hingga menyisakan jantungnya saja –sayang dia tak pernah melumatnya, hingga akhirnya aku hidup menggelambir amarah, dengan orang-orang liar yang bergelantungan di pantulan retinaku.

Aku sempat berpikir, tapi tak terlalu sungguh-sungguh. Mungkin karena aku tak pernah merasakan hal serupa, sehingga tiada gidikan haru, apalagi rinaian tangis, ketika Kek Guntur mengurai cerita tentang alangkah baiknya, alangkah tak terhingganya, dan alangkah mulianya jasa-jasa orangtua pada anak-anaknya.

Bagiku tak berorangtua adalah seribu kali lebih baik daripada berpunya. Ayahku diktator, suka main perempuan, sabung ayam, dan masih banyak lagi. Ia bangga dengan semuanya, karena ia satu-satunya pewaris tahta kerajaan yang masih dipegang kuat oleh penduduk yang sangat mengidam-idamkan menjadi bagian dari kedigdayaan palsu itu.

Ibuku juga setan. Ia telah menjerumuskanku dalam pelukan ayah, saat usiaku baru setara dengan jarum jam yang belum genap melintasi setiap angka penunjuk waktunya. Beberapa saat setelah aku lahir, ibu membawa dirinya entah kemana.

Aku lebih tersentuh ketika melihat Mak Anau saban sore melintasi pematang yang menghampar di kampung terpencil ini. Ketika mendapati tatapan senduku pada tubuh ringkihnya. Aku berpura-pura bersiul tanpa suara–bahkan seperti suara kentut yang tak sempurna, karena memang sejatinya aku tak bisa bersiul. Tapi tak selalu cara bodoh itu aku lakukan untuk menyembunyikan ketertangkapanku dari tatapannya. Lebih tepatnya, siulan abangan itu adalah cara yang refleks saja kulakukan apabila aku benar-benar mati gerak untuk berdalih.

Kadang aku memetik daun, mematah ranting lapuk, atau tiba-tiba mencium bebungaan, ketika masih sempat berpikir barang sejenak untuk bersandiwara dengan semua yang tiba-tiba kubisa. Tapi jujur, hati kecilku selalu berbisik bahwa perempuan itu pun sepertinya merasakan ketersentuhan yang serupa, sejak lama. Sejak aku pertamakali melihatnya– di mana sejak itu aku mulai tersentuh. Sejak aku mulai membodohi diri sendiri dengan siulan atau sandiwara rutinku. Mak Anau sudah tahu bahwa aku kerap memerhatikannya dengan perasaan terdalam hatiku. Tapi aku tak mau mengaku. Lagi pula untuk apa? Memangnya siapa dia?

Ya ya ya … aku benci semua serigala kecuali Kek Guntur. Aku juga benci semua jejalang kelamin kecuali Mak Anau. Menurutku, sebenarnya mereka berdua adalah pasangan yang paling sepinang bila berpadu. Ah, tak penting sekali pikiran itu.

* * *

AKU acapkali mendengar kalau masa muda adalah masa yang paling indah. Masa yang dimetafora para pujangga bak mawar yang sedang merekah. Namun bagiku, tampaknya ungkapan itu terlalu berlebihan. Itu tetaplah perumpamaan yang dipaksa-paksa indah di telinga. Semua hanya bunga-bunga kata, pengharum kebusukan kenyataan. Kalaupun aku memaksakan diri ’menjadi’ bunga, tiba-tiba saja pilihan untuk bermetamorfosa yang hadir di hadapanku adalah bunga tahi ayam, daun kentut, jelatang, ilalang berspinalus, atau miang yang berpadu dengan padi-padi menunduk.

“Ibumu memang wanita jalang. Jadi, kau tak mungkin berasal dari maniku. Aku normal, sehat, dan nyaris sempurna. Sedangkan kau, lahir dengan gigi jongor, bibir sumbing, mata juling, dan…ah kalau tak memikirkan Marpilapih, kau juga sudah kubuang jauh-jauh, Banua,” cerca Ayah saat usiaku sembilan tahun.

Saat itu, aku hanya bisa mencangkung di sudut bilik rumah kami yang dipenuhi pusaka dan barang antik dari Cordova dan China. Aku tak bergerak sedikitpun, mataku hanya menggapai-gapai Bi Inah, Mang Jali, dan Mbok Maryam yang mematung di balik gorden batik. Aku tak meminta bantuan mereka, aku hanya berharap mereka segera pergi, karena siluet tubuh mereka terlukis jelas di sana. Ah, aku terlambat. Ayah mendapati mereka. Tak lama, kudengar erangan minta ampun, capikan cambuk, cipakan tangan menampar, dan sumpah serapah khas serigala manusia—bukan manusia serigala.

“Ayah bisa melanggar Marpilapih, ‘kan?” tanyaku tepat di usiaku yang keempat belas, satu tahun yang lalu.

”Siapa yang mengurus kau?”

“Aku sendiri!”

“Ya, Banua, kini kau bisa berayat. Dulu, bagaimana kira-kira rupamu. Kau hanya bisa mengoek. Kau tak lebih dari onggokan daging anyir berdarah-berdarah dengan gerak yang sangat terbatas…”

Darahku mendidih.

“…dan saat itu, ibumu pergi jauh,”

Kutatap matanya hingga menembus bulatan hitam di dalamnya.

“Kau lupa ya, kalau aku keturunan raja. Melanggar Marpilapih, sama saja membunuh semua pengikutku, jin-jin abdi kerajaan.”

* * *

AKU benar-benar sumringah hari ini. Seperti masuk surga rasanya ketika Kek Guntur tiba-tiba bercerita malam tadi, “Ayahmu beristri tujuh, Banua. Ketujuh-tujuhnya melahirkan anak perempuan. Kalau tidak salah ada 16. Dan engkau adalah anak yang ke-16. Kakak-kakakmu sudah meninggal. Tak perlu kuurai cerita tentang itu. Nanti kau juga tahu. Atau kalau tak tahu, aku yakin kau cukup pintar menebak kekejian-kekejian marpliapih pada darah ayahmu. Kau tahu ayahmu bingung siapa yang akan mewarisi tahta kerajaan ketika semuanya perempuan. Kau tahu seperti apa Marpilapih mengazab para penganut dan orang-orang di sekitar penganut itu, bukan?”

Aku mengangguk ragu.

“Jangan hanya mengangguk, Banua. Kau tak cukup hebat dalam berkira-kira.”

Aku diam.

“Kau hanya memaksakan diri untuk mempercayai kata-kataku barusan, kan?”

Aku tetap diam.

“Tapi, Banua, aku juga tidak mengajakmu untuk tidak mempercayai Marpilapih. Awalnya aku juga tak begitu percaya. Tapi ternyata semuanya jelas terbentang terbentang. Azab, karma, dan hukuman-hukuman itu jelas menimpa pada sesiapa. Termasuk pada kami, manusia yang, entah mengapa, harus terbiasa hidup berdampingan dengan jin serupa kalian. Rupanya alam tak membatasi, namun justru menyatukan, dan membawa kami dalam derita yang berkepanjangan,” Kek guntur berhenti sejenak, mengelus rambutku. Aku merasa damai. “Semua nyata, Banua. Sampai istri keenam, semuanya meninggal tanpa sebab yang jelas.”

Aku mengerutkan kening.

“Dan topan, gempa bumi, puting beliung, banjir, longsor, bahkan sengatan halilintar beberapa kali menewaskan, membumihanguskan, memorakporandakan, bahkan memusnahkan  manusia dan tetek bengek peradaban kampung ini.”

 Aku masih khusyuk mendengar, berharap Kek Guntur segera menyambungnya.

“Kau tahu ibumu, Banua?”

“Jalang!”

“Apa lagi?”

“Lacur!”

“Apa lagi?!”

“Katakan sajalah, Kek, apa yang ingin Kakek tahu. Atau jangan-jangan Kakek lebih tahu dariku.” Aku mulai kesal.

Kek Guntur tersenyum.

Aku menatapnya dalam.

“Saat kau lahir tak normal, ayahmu kalap. Diusirnya ibumu dari kerajaan,”

“Dari mana Kakek mengetahuinya?”

Kek guntur tersenyum lagi.

“Bukannya Ibu yang meninggalkanku?” tanyaku seakan-akan menganggap pernyataan pertamanya adalah sebuah kebenaran yang sudah bisa kuterima.

“Kau harus belajar banyak mengaitkan sifat dan tabiat seseorang dengan keabsahan ucapannya, Banua.”

“Jadi Ayah berbohong?”

“Marpilapih tak mengatur perihal itu, kan? Apalagi yang berkoar-bingar itu seorang raja antah berantah,” Kek Guntur menyeringai.

Hening.

“Banua.”

Aku mendongak.

….

“Mak Anau adalah ibumu!”

Aku matikata.

“Ayahmu dapat wangsit untuk menikahi wanita yang dua puluh tahun lebih tua darinya agar dia berketurunan bujang. Tapi apa lacur, Mak Anau hanya melahirkan anak perempuan yang…”

* * *

AKU membuka wajah di balik kafan itu untuk yang keduakalinya. Ah Mak Anau, karena Marpilapih kau sampai seperti ini. Penduduk terlalu bodoh untuk melawan ayah. Mereka masih berusaha mempercayai bahwa Mak Anau mati karena ketuaan. Padahal ketika Kek Guntur tiba-tiba menghilang setelah menceritakan cerita surga padaku beberapa hari yang lalu, aku sudah cukup yakin bahwa ibuku ini akan bernasib sama. Walaupun ia seorang diri terbaring di alun-alun kampung ini, tapi aku sudah yakin di belahan kampung lainnya, Kek Guntur telah terlebih dahulu melepas ruhnya.

“Mengapa selama ini diam-diam kau menemui manusia itu, hah?” Ayah sudah ada di dekatku. “Banua, kau selalu bertegur sapa dengan Guntur, hah?”

“Mengapa kau tak pernah bilang kalau Mak Anau ini ibuku?“ Aku mendengus. Tanganku mengelus-elus geraian uban Mak Anau.

“Untuk apa, heh?” Ayah menyeringai, “kau perlu tahu. Dia hanya tumbal bagi dirinya sendiri. Ibumu berpikir pendek. Ia bersekutu denganku, seorang petinggi jin yang juga sekutu setan yang jangan-jangan pula ada sekutu dengan iblis yang jangan-jangan pula ada sekutu dengan Dajjal yang jangan-jangan pula ada sekutu dengan Iprit. Puas kau?!”

“Tidak, kau yang mengusir ibuku!” aku bangkit.

“Ya! Aku mengusirnya. Ia ingin kaya dan ingin menetap barang sejenak di negeri ini, padahal perempuan tua itu sudah berlaki. Guntur itu pula lakinya!”

Aku tambah terperanjat. Kerongkonganku serasa disekat.

“Untuk apa terkejut?!”

“Jadi?” aku tergugu.

“Ya! Kau manusia sebenar-sebenar manusia. Bukan jin yang memanusiakan diri seperti kami yang terikat Marpilapih. Berotaklah. Hanya kau, Guntur, dan Anau itu yang bisa melihat kami, kan? Penduduk yang lain hanya sebatas mempercayai dari berbagai tanda dan gejala alam yang kami rakit!”

Aku meneguk air liur. Tak pernah kusangka silsilahku adalah orang-orang yang selama ini kuakrabi.

“Sudah pernah kukatakan, tak mungkin ada darahku pada ragamu, Banua. Terlebih lagi, bercerminlah di Sungai Kelingi. Kaubandingkan rupamu dengan rupaku. Tak ada sedikitpun kesamarupaan benang yang menjahit daging kita, bukan? Aku nyaris sempurna, bukan? Jadi, sekali lagi, kau bukan hasil hubungan gelapku dengan Mak Anau-mu, walaupun kami pernah berpuas-puas melakukan perbuatan binatang itu, ha ha ha ….”

Aku terpekur.

“Siap-siap jadi abdi kami. Abdi seumur hidup yang hanya akan berakhir ketika bumi menutup riwayatnya, Banua.”

O o, aku baru sadar, hari ini usiaku tepat 15 tahun. Aku harus segera pergi dan terjun ke Kelingi. Mungkin dengan itu aku dapat segera menjumpai Mak Anau dan Kek Guntur. Walaupun aku tak tahu, di mana tempatku nanti bila jantung ini telah remuk tertumbuk bebatuan di bawah jeramba merbau itu. Sungguh, aku tak kalah berharapnya akan masih diberi kesempatan bertemu dengan Munkar dan Nakir untuk menjelaskan semuanya. * * *

Ankara, 2022





Bagikan:

Penulis →

Benny Arnas

Lahir 8 Mei 1983. Penulis 31 buku lintas genre—novel, cerpen, puisi, esai, catatan perjalanan, dan naskah lakon.

One Response

  1. Ya ampunnn, kangen banget ada cerpen seperti ini.
    Kok bisa Benny Arnas nulis cerpen lokal-mistis seperti ini pas doi di Ankara?

    Trims sudah memuat ini, Magrib!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *