DUA tahun yang lalu aku mengenal seorang perempuah paruh baya. Dia berpenyakitan yang hampir saja membunuhnya. Sebelah tubuhnya lumpuh. Lumpuh sebelah bagian badannya. Karena itulah mustahil baginya untuk bekerja seperti biasanya. Sendirian saja sehari-harinya, tuna-baca, asing terhadap sekitar, seluruh hidupnya telah dipasrahkannya padaNya. Dia mengimaniNya. Katanya dia mustahil bisa sembuh, karena itulah jadi buah bibir banyak orang di sekitarnya. Dengan segala yang demikian itu, baginya jadi sebuah keyakinan bahwa Tuhan yang Maha Kuasa sungguh mencintainya.
Suatu hari ada yang memedulikannya. Lelaki muda. (Ia, lelaki itu, juga tahu bahwa perempuan paruh baya itu bakal mati, tapi bukan itu melulu yang jadi kekuatirannya.) Ia merasa tertarik oleh keadaan perempuan itu. Dia tahu. Hal itulah yang tak pernah ia perkirakan sebelumnya. Ia ingin sekali berbagi tentang segala hal yang dideritanya: tiada lagi tempat bergantung, dan bagaimana kemudian ke depannya. Merasa bosankah dia? Tentu tidak.tak ada yang bicara padanya. Dia tersudut, seperti seekor anjing. Dia merasa putus-asa. Menurutnya lebih baik mati saja sekalian ketimbang menyusahkan yang lain.
Cekcok bisiknya seperti berebutan suatu hal. Lelaki muda itu mengerti. Meski, kiranya memang lebih baik mati saja ketimbang menyusahkan yang lain. Hanya satu hal yang terbukti: ia yakin dia takkan jadi beban siapapun. Dan tentu saja ia telah memberitahu perempuan itu—karena ia telah melihat tasbih itu: “Kamu masih punya Tuhan.” Itu benar. Tapi dia punya masalahnya sendiri. Jika dia kebetulan menghabiskan waktunya berdoa, jika matanya seakan mengalur kertas dinding, anaknya akan berkata: “Demikianlah, dia sedang berdoa lagi!” “Kamu ngapain?” yang lain tanya. “Bukan urusanmu, yang jelas itu lancang.” Dan perempuan itu terdiam, membisu, menatap anaknya seperti meledek.
Lelaki muda itu mendengarkan seluruhnya dengan seksama, rasa sakit yang asing menyesak dadanya. Dan perempuan itu melanjutkan: “Dia akan tahu ketika sudah tua. Dia akan membutuhkannya pula.”
Pikirmu perempuan tua ini telah terbebas dari apapun kecuali Tuhan, tak tergoda oleh apapun, kesalihan yang tak-terbatas, demikian mudah diyakini bahwa yang masih tersisa hanyalah nilai cinta, yang berujung pada kepasrahan seorang lelaki terhada Tuhan. Tapi jika cinta dalam hidup dilahirkan-ulang, Tuhan tak berdaya ketimbang kehendak manusia.
Mereka duduk mengitari meja makan. Lelaki muda itu diundang makan malam. Perempuan tua tak makan sebab sulit mencerna makanan di malam hari. Dia memojok saja, duduk di belakang lelaki muda yang tengah mendengarkannya. Dan karena merasa ia sedang diperhatikan ia tak dapat makan banyak. Meski begitu, makannya tetap berlangsung. Mereka memutuskan untuk melanjutkan acara dengan pergi ke bioskop. Sebab, saat itu, ada film lucu minggu itu. Ia telah dengan bahagia diterima, tanpa kira orang yang berada di belakangnya.
Tetamu sudah beranjak dari meja dan hendak mencuci tangan sebelum pulang. Tentu saja tak ada pertanyaan mengenai perempuan itu. Bahkan meski dia telah setengah-lumpuh, dia tak terlalu peduli mengerti atau tidak-nya film itu. Dia tak suka filmnya, katanya. Nyatanya dia tak mengerti sama sekali. Bagaimanapun, dia berada di pojok, asyik-masyuk dengan butiran tasbihnya. Demikianlah dia dengan segala keyakinannya. Tiga hal yang selalu di dekatnya yang telah menjadikannya begitu dekat dengan Tuhan. Selain tasbih, patung Kristus, atau Santo Yusuf, yang sangat keterlaluan, di kedalaman yang gelap itulah dia menempatkan segala pengharapannya.
Tiap orang telah siap. Mereka mendekat kemudian menciumnya dan mengucapkan selamat malam. Dia telah menyadari yang tengah terjadi kemudian mencengkeram kuat tasbih di tangannya. Tapi tampak jelas semagangat itu sebagai keputus-asaan. Semua orang sudah menciumnya. Hanya lelaki muda itu saja tersisa. Telah dinyatakannya rasa cintanya dengan jabatan tangan dan ia telah berbalik pulang. Tapi dia melihatnya sebagai seuatu yang mengesankan dengan kepergiannya itu. dia tal ingin sendirian. Dia pernah merasakan kesendirian yang menakutkan, lama, tanpa tidur, keakraban dengan dengan Tuhan yang membikinnya frustasi. Dia takut, hanya bisa mengandalkan seorang lelaki, dan, melekatkannya pada seorang lelaki yang telah menyatakan perhatian padanya, memegang tangannya, menggenggamnya, berteimakasih padanya dengan penuh desakan justifikasinya. Lelaki muda itu merasa malu. Yang lain mengajaknya untuk bergegas segera. Film itu dimulai pukul sembilan dan lebih baik tiba lebih awal sehingga tak perlu mengantri.
Ia merasa dihadapkan pada penderitaan yang mengerikan yang pernah dialaminya: bahwa penyakit perempuan tua itu bakal menjadi tontonan dalam hidupnya. Ia ingin meninggalkannya, tak ingin tahu, mencoba untuk menutupinya. Untuk sementara, ia merasa benci yang terlalu pada perempuan itu, dan hampir saja menempelengnya.
Akhirnya dia memutuskan untuk pergi, sementara yang sakit, bangkit dari kursi rodanya, menatapnya menakutkan suatu yang memastikan dan kian menjauh, menyamar. Kini tak sesiapa pun melindunginya. Dan, tak berdaya menjelang mati, dia sendiri tak tahu apa sebenarnya yang menakutinya, tapi dia merasa tak ingin sendiri. Tuhan tak berguna baginya. Semua yang dilakukan lelaki itu menjauhkannya dari orang-orang dan membuatnya sendirian. Dia tak ingin tak ada orang. Maka menangislah dia.
Yang lain sudah berada di jalanan. Erat sangat lelaki muda itu digenggam tangannya. Ia tengadah menatap jendela yang benderang, terawang mata kosong di rumah sepi itu. matanya terpejam. Anak perempuan itu berkata padanya: “Dia selalu memadamkan lampu ketika dia sendirian. Dia suka duduk di kegelapan.”
Lelaki tua mengeryitkan dahinya dengan penuh kemenangan, menjentikkan telunjuknya: “Ketika aku muda,” katanya, “ayahku biasa memberiku lima franc seminggu sebagai uang jajan hingga hari Sabtu harus masih tersisa. Ya, aku harus menabung. Terutama, ketika aku menjumpai tunanganku, aku berjalan sejauh empat mil melewati perkampungan dan kembali berjalan pulang. Kini dengarkan aku, anak-anak muda sekarang tak tahu cara memperlakukan diri mereka sendiri.” Tiga lelaki muda duduk mengelilingi meja bundar bersama lelaki tua yang satu ini. Diceritakannya petualangan-petualangan remehnya—aksi-aksi kekanakan yang berlebihan, tentang kemalasan yang dianggapnya kemenangan. Tak kunjung berhenti ceritanya, dan, dengan tergesa-gesa menceritakan segala hal sebelum ditinggalkan semua orang, menyebut-sebut dirinya pada masa lalu seperti hendak memesonakan mereka. Tujuannya supaya orang-orang mendengarkannya: dienyahkannyalah kilasan ironi dan olok-olok orang lain padanya. Lelaki muda itu menemukan padanya seperti layaknya seekor burung saja yang pada hari itu segala mengagumkan, tatkala menurutnya dirinya menghargai yang lebih tua darinya yang memiliki pengalaman lebih. Tak tahulah bahwa pengalaman adalah sebuah kekalahan dan kita mesti kehilangan segalanya agar dapat memperoleh sedikit pengetahuan. Ia menderita. Ia tak pernah mengungkapkannya. Lebih baik terlihat bahagia. Dan jika ia salah, ia bahkan lebih bersalah lagi untuk mencoba orang lain bersimpati padanya. Derita apakah yang dialami seorang lelaki tua ketika hidup telah merengut segalanya? Ia bicara dan terus bicara, dan perhatian orang-orang semakin berkurang. Lelaki tua itu tak lagi lucu, lelaki tua itu memang tua. Dan para lelaki muda laksana bilyar dan kartu, yang mempersetankan kedunguan dengan keseharian mereka.
Segera setelah itu ia sendiri, meskipun ia berusaha dan kebohongan yang disampaikannya demikian meriah. Tanpa usaha untuk meluangkan perasaan-perasaaannya, mereka pergi. Ia sendirian lagi. Tak lagi didengar: itukah hal yang paling menakutkan ketika menua. Ia menolak diam dan sendirian. Ia diberitahu bahwa ia segera mati. Dan seorang lelaki tua yang akan mati tidaklah berguna; bahkan teramat memelukan. Lepaskan. Harus bebas. Atau, setidaknya, paling tidak diamlah. Ia menderita, karena segera setelah berhenti bicara disadarinyalah ia telah tua. Namun ia belum bangkit dan beranjak, tersenyum ke sekelilingnya. Tapi wajah-wajah mereka terlihat berbeda atau terlihat kegirangan yang tak lumrah karena ketidak berhakannya bercerita. Seorang lelaki tertawa: “Ia tua, aku tak menyangkalnya, tapi kadang-kadang masakan yang enak dibikin dalam periuk tua.” Yang lain, bahkan lebih serius: “Begitulah, kita tak kaya tapi kita makan enak. Lihat cucuku kini, dia makan lebih banyak ketimbang ayahnya. Ayahnya paling sepon roti, sedang dia dua! Dan kau bisa melapisinya dangan saus dan keju perancis. Dan kadang ketika selesai makan dikatakannya: ‘Han, han!’ dan terus saja makan.” Lelaki tua beringsut. Dengan langkah pelannya, pendek-pendek seperti keledai berbelok, ia berjalan melewati kerumuna prang-orang di trotoar yang panjang. Ia merasa sakit dan tak ingin pulang. Biasanya ia cukup senang pulang mendatangi meja dan lampu minyaknya, makan di piring menggunakan jari-jarinya. Ia masih suka makan malam-malam dalam keheningan, dengan perempuan tua itu di hadapannya, mengunyah dengan makanan penuh di mulutnya, dengan kepala kosong, mata mengantuk. Malam ini, ia pulang larut. Makan malam mungkin sudah terhidang dan dingin, istrinya menunggu di ranjang, tak lagi mengkhawatirinya sebab sudah seringkali pulang larut tanpa diharapkan. Dia akan berkata: “Ia di bulan lagi,” dan demikianlah.
Dia terus saja berjalan dengan langkah-langkah tenangnya. Dia tua dan sendirian. Ketika hidup sampai pada ujungnya, masa adalah gelombang kemuakan. Segalanya tak terdengar lagi. Dia berjalan, berbelok di ujung jalanan, tersandung, dan hamper saja jatuh. Aku melihatnya. Konyol, tapi mau apa coba? Maka, dia lebih senang di jalanan, lebih suenang berada di sana dari(pada) di rumah, hingga perempuan tua berkerudung lusuh memanggilnya kemudian mengurungnya di kamarnya. Kemudian, kadang-kadang pintu terbuka perlahan dan sedikit ternganga sejenak. Seorang lelaki masuk. Berpakaian setelan cerah. Dia duduk menghadap lelaki tua itu dan tak berkata apapun beberapa lama. Tanpa gerakan, layaknya pintu yang menganga tadi. Beberapa saat dibenahinya rambutnya dan dia mendesah ringan. Ketika telah lama diperhatikannya lelaki tua itu dengan kesedihan yang sama beratnya tampak dari matanya, dia meninggalkannya, diam-diam. Gerendel pintu mendeklik di belakannya, dia ketakutan, dengan sakit perut yang terlalu. Di jalanan luar sanan, sesedikit apapun orang-orang yang ditemuinya, dia tak pernah kesepian. Dia senang bernyanyi. Dia berjalan agak lebih cepat: besok segalanya akan berbeda, besok. Tiba-tiba dia menyadari bahwa besok akan sama saja, setelah besoknya, bahkan hari-hari berikutnya. Dan dia terhenyak dengan kepatah-arangannya itu. Hal itulah yang membunuh seseorang. Orang-orang bunuh diri karena tak tahan akan sesuatu—atau, jika masih muda, mereka membuat epigram.
Tua, marah, mabuk tak seorang pun tahu. Kehendaknya menjadi akhir, berair-mata dan dikagumi. Dia akan khusnul khatimah, demikian adanya, dia akan terluka. Akan jadi pelipur laranya. Selain itu, akan ke mana dia? Dia selalu merasa tua sekarang. Lelaki memang tumbuh di usia tua. Mereka mencoba menyerah, dikepung keputus-asaan, kemalasan yang tak tertahankan. Mereka ingin jadi mandor sehingga bisa pensiun untuk tinggal di pedesaan. Tapi sekali saja mereka baikan bertahun-tahun, harus didengankannyalah suoaya percaya akan hidupnya. Jalan lebih kelam dan lebih kosong kini. Masih ada bebunyian di sana.
Perlukah kugambarkan sisi lain yang menyenangkan? Dengan yakinnya, dalam ruang gelap dan kotor, perempuan tua itu mengatur meja. Ketika makan malam terhidang dia duduk, melirik jam dinding, menunggu agak lama, kemudian mulai makan dengan seksama. Dia bergumam: “Ia di bulan.” Mungkin begitu.
Ada lima orang tinggal di sana: sang nenek, anak lelakinya, anak perempuannya, dan dua cucunya. Anak lelakinya agak dungu; anak perempuannya, cacat, menyulitkan; dan dua cucunya, seorang bekerja di perusahaan asuransi sementara yang satunya lagi masih bersekolah. Di usia enam puluh, neneknya masih mendominasi orang-orang itu. di atas ranjang terlihat fotonya ketika berusia lima tahun, berbaju hitam berkalungkan medali di lehernya, tiada kerutan di wajahnya. Dengan mata besarnya yang jernih, postur tubuhnya yang besar tampak melebihi usia yang disebutkan tadi, tapi kadang-kadang tak ketahuan jika dia pergi.
Mata jernihnya itulah yang menyimpan kenangan cucunya yang tetap saja membikinnya tersipu. Perempuan tua itu akan menunggu seandainya para pengunjung bertanya, menatapnya dengan kesungguhan, “Siapa yang benar-benar kau sukai? Ibumu atau nenekmu?” Permainan akan lebih baik dengan kehadiran anak perempuannya. Karena jawabnya: “Nenekku,” dengan, dalam hatinya, gelora cintanya bagi sang ibunya. Kemudian, ketika para tetamu terkejut dengan hal iut, sang ibu pun berkata: “Karena neneknyalah yang membesarkannya.”
Juga karena perempuan tua itu mengira bahwa cinta adalah suatu tuntutan. Pengetahuan yang dia sendiri pernah menjadikan cinta sebagai sesuatu yang kaku dan intoleran. Dia tak pernah menipu suaminya, dan sudah melahirkan Sembilan anak. Setelah kematiannya, di mendewasakan keluarganya dengan penuh semangat. Dengan sedikit peninggalan sebagai warisan, hingga mereka tua, mereka menjadi yang miskin di kota pinggiran itu.
Dan tentu saja perempuan ini tak kekurangan kualitas. Kepada cucu-cucunya, yang sedang tumbuh, dia hanya bisa menutup-nutupi hal itu. Seorang paman mereka telah memberitahu sebuah cerita penting: ia pergi mengunjungi ibu mertuanya, dan dari luar terlihat ibunya itu sedang bermenung di jendela. Tapi dia membukakan pintu meski tangannya berdebu kemudian meminta maaf karena mesti mengerjakan banyak hal sehingga hanya sedikit waktu yang dipunyainya. Harus diakui bahwa itu lumrah. Sebagaimana seharusnya terlelap setelah sebentar bercengkrama dengan keluarga. Dia menderita sakit hati pula. Tapi tak ditunjukkannya rasa sakitnya itu. diam-diam dimuntahkannya ke dalam tempat sampah di dapur. Lalu dia kembali ke ruang tengah, pucat, matanya berair, pamit kepada tiap orang untuk masuk kamar lebih dulu sebab mesti mempersiapkan makanan untuk seisi rumah: “Aku melakukan segalanya di sini.” Atau katanya lagi: “Aku tak tahu akan bagaimana tanpa aku.”
Anak-anak itu belajar mengacuhkan muntahan-muntahanya itu, “serangannya” sebagaimana katanya, adalah keluhannya. Suatu hari dia masuk kamar dan meminta seorang dokter. Anak-anaknya mengabulkannya untuk menyenangkan hatinya. Pada hari pertama dia mengalami sakit perut, hari berikutnya kanker hati, di hari ketiga penyakit kuningnya kian menguatirkan. Tapi anaknya yang paling muda bersikeras bahwa itu adalah hal lain, yang lebih mutakhir, dan tak ada keprihatinan nampak. Perempuan ini telah terlalu mengganggunya karena awal yang pesimstik. Dan taka da semacam keberanian yang sangat sebagai kejelasan dan penolakan cinta. Hari terakhir, anak-anaknya mengerubutinya, dia mulai memuntahkan semua isi perutnya. Dia melengos dan dengan enteng berkata pada cucunya: “Lihatlah,” katanya, “aku kentut seperti babi kecil.” Satu jam kemudian mati.
Karena cucunyalah, disadarinya bahwa ia tak mengerti yang sedang terjadi. Ia tak dapat menerima kenyataan bahwa telah disaksikannya keadaan seorang perempuan yang paling menakutkan dalam sepanjang hidupnya. Dan jika ia tanyakan pada dirinya sendiri apakah dirasanya dukacita, tak kunjung ditemukannya jua. Hanya pada hari pemakaman, karena riuh-rendah bunyi tangis, dia turut menangis, tapi dia tak ingin bermuka dua kemudian menceritakan kebohongannya pada hari kehadirannya itu. Ketika itu musim dingin yang cerah, sinar matahari terik. Di langit biru yang pucat, terasalah dingin saling berkelipan menguning. Pekuburan itu melandai, dan terlihatlah dari situ pancaran matahari di tepian pantai yang menggigil bercahaya, laksana bibir yang lembab.
Tak seorang pun layak bersama? Betapa kiranya! Seorang perempuan yang ditinggalkan menonton, dan lelaki tua yang berhenti didengarkan, kematian yang tak menebus apapun, kemudian, pada sisi lain, seluruh sinar dunia. Apa yang akan membedakan dengan semua ini? Inilah tiga tujuan itu, berbeda sekaligus sama. Kematian bagi kita semua, tapi kematian pun bagi setiap kita. Bagaimanapun, matahari masih menghangati kita.
==================