Judul Buku : Teh dan Penghianat Penulis : Iksaka Banu Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia Cetakan : April 2019 Tebal Buku : vi1 + 164 halaman ISBN : 978-602-481-173-2
Kita masih paham betul bagaimana buku pelajaran sekolah bercerita mengenai penjajahan Belanda di Nusantara. Selain menjejali kisah perihal lama waktu terjajah yang mencapai 350 tahun, dan tentunya keliru juga banyak digugat sejarawan. Buku sejarah sekolah juga diisi dua pihak di latar kolonialisme: penjajah jahat (Belanda) dan terjajah yang tentu tidak jahat (masyarkat Nusantara). Yang sama kelirunya.
Kita semua setuju bahwa penjajahan itu ialah tindakan bengis. Tidak bisa dibenarkan. Tapi, apakah menyederhanakannya merupakan tidakan yang bijak? Sepertinya tidak. Memahami konteks dan dinamika suatu zaman dibutuhkan agar tak menimbulkan kekeliruan-kekeliruan yang berdampak buruk, terutama bagi pemikiran yang bisa berujung pada tindak kekerasan kepada sesama manusia. Misalnya saja rasialisme.
Upaya menyuguhkan narasi yang adil dikisahkan Iksaka Banu melalui buku antologi cerita pendeknya. Iksaka membalutnya dengan judul “Teh dan Penghianat” (2019). Ini merupakan upaya keduanya dalam pengisahan narasi kolonialisme yang adil. Upaya pertamanya terbungkus di buku dengan judul “Semua untuk Hidia” (2014).
Kita kembali ke buku “Teh dan Penghianat”. Di buku, kisah-kisah tak diisi dengan dua pihak yang berseberangan saja—Belanda jahat dan menindas, serta masyarakat Nusantara yang tertindas dan baik—tapi diisi dengan keberagaman sifat dan sikap para tokoh rekaannya.
Sifat dan sikap itu dilebur ke dalam masyarakat rekaan di buku. Keduanya dijadikan suatu ketidakpastian dan ketakterikatan dengan latar belakang bangsa si individu. Misalnya saja di cerpen berjudul Kalabaka. Tokoh bernama Hendrick Cornelis Adam yang juga seorang Belanda totok dibunuh bangsanya sendiri, lantaran memilih bersikap menolak pembantaian yang dilakukan bangsanya kepada penduduk Pulau Banda.
Belakangan kisah yang sama juga tergambar melalui film berjudul “De Oost” (2020). Johan de Vries yang diperankan Martijn Lakemeier, justru mengambil sikap bertolak belakang dengan negaranya, setelah melihat langsung perbuatan negaranya di tanah bekas jajahan. Film menampilkan peristiwa kekejian Westerling di tanah Indonesia.
Kita bisa tahu bahwa tak semua Belanda yang berada atau pernah di tanah Hinda pasti bersifat jahat, serta bersikap menindas masyarakat Hindia. Tokoh Hendrick dan Johan coba menjadi antitesisnya. Begitu pula tokoh-tokoh di cerpen Iksaka yang lain, semisal Kapten Simon Vastgebonden di cerpen Teh dan Penghianat, tokoh Geest di cerpen Variola, Kees di cerpen Di Atas Kereta Angin, dan tokoh-tokoh lainnya.
Bahkan kita bisa mendengarnya dari lagu gubahan biduanita asal Belanda bernama Wieteke van Dort, yang berjudul Geef Mij Maar Nasi Goreng di buku Rijsttafel (2011). Begini liriknya, Ketika kami meninggalkan negeri zamrud (Indonesia)/ Sama sekali tak disangka jika Negeri Belanda begitu dingin/ Tapi yang keterlaluan adalah makanannya, benar-benar payah/ Kentang, daging, dan sayuran, serta gula dan nasi/ Beri saja aku nasi goreng dengan telur ceplok//. Kita mengetahui, Belanda itu justru rindu. Tentu bukan perihal mengeruk kekayaan alamnya. Tapi soal lain, yakni hidangannya.
Benda Sebagai Pemicu
Dari ketigabelas cerpennya, kita bisa mengetahui bahwa Iksaka membangun mayoritas kisahnya dengan hal-hal kebendaan, entah itu yang terkonsumsi oleh perut atau pun tidak. Benda-benda jadi pemicu suatu sifat dan sikap yang muncul. Kita bahkan bisa menduganya sejak judul buku.
Mari kita tengok cerpen yang berjudul Di Atas Kereta Angin. Fiets atau sepeda jadi benda yang memicu perbedaan sikap di antara kedua Belanda: Kees dan Jan Buskes. Kees yang memperbolehkan bujangnya untuk bersepeda, bercelana, dan berselop, sementara Jan yang menolak ketiganya. Benda jadi hal yang memperlihatkan bahwa dua orang Belanda bisa memiliki sikap yang saling bertentangan terhadap masyarakat Hindia.
Kita beralih ke cerpen lain, cerpen berjudul Teh dan Pengkhianat juga dipicu dari suatu benda. Sesuai judulnya, daun teh jadi pemicu sikap tiap tokohnya. Kapten Simon Vastgebonden yang seorang Belanda, justru berlainan pendapat mengenai pemberontakan orang Tionghoa di perkebunan teh. Ia malah menyalahkan sejawat Belandanya atas tindakan rakus dan sadis kepada para Tionghoa.
Tak cuma itu, tokoh pribumi yang bernama Alibasah Sentot Prawirodirjo terkisah bersikap membantu Belanda. Pribumi itu justru membantu Belanda melawan pemberontakan. Terlebih, ia juga meredam pemberontakan sesama pribumi di Sumatra Barat, yang hari ini kita kenal dengan Perang Padri.
Di cerpen, Iksaka coba mengusut ulang sikap para tokohnya, baik Belanda, Indo, ataupun pribumi. Latar belakang bangsa si tokoh dengan sikapnya dimunculkan dengan dinamikanya yang adil. Kita diperlihatkan bahwa setiap sikap suatu bangsa dilebur jadi urusan yang lebih personal. Ia justru melibatkan tiap individunya. Sikap itu jadi terpisah dengan kebangsaan si tokoh. Tak ada generalisasi.
Selain kedua cerpen tersebut, kita juga bisa melihat bahwa cerpen-cerpen Iksaka yang lain dalam bukunya juga memuat sejumlah kisah yang dipicu oleh suatu benda. Sebut saja seperti Tegak Dunia yang dipicu oleh bola dunia, dan Semua Sudah Selesai yang menjadikan roti sebagai pemicu.
Kita bisa menduga bahwa Iksaka Banu tak hanya sekadar menjadikan benda sebagai pemicu latar peristiwa di cerpen-cerpennya. Ia justru ingin mengesankan bahwa benda tak hanya produk kultural semata. Melainkan bisa menjadi alat pengukur, mengenai bagaimana masyarakat menyikapi masyarakat—bangsa—lain melalui kebendaan. Pada zaman kiwari, kita bisa penasaran menganai bagaimana sikap individu-individu asal Belanda dan juga Indonesia terhadap sejawat sebangsanya, ataupun di antara keduanya. Mungkin, kita bisa menjadikan kue kering khas lebaran bernama kastengel atau bahkan bohlam Philip sebagai alat ukurnya.