HARI INI Minggu. Tak ada yang spesial. Tak seperti dulu. Meskipun saat ini saya merasa setiap hari adalah Minggu. Saya sedang tak punya aktivitas rutin, selain kesulitan tidur yang menyebabkan bangun siang. Padahal dulu Minggu senantiasa yang diidam-idamkan. Melihat tulisan terbit di media cetak lokal bahkan nasional. Momen yang menyenangkan. Awal-awal menulis––saya belum tamat SMA––menunggu Minggu penuh antusias. Malam Minggu saya kesulitan tidur. Membayangkan tulisan kami, saya atau ibu dimuat atau tidak. Membayangkan tata letaknya di halaman koran serta ilustrasi yang menyertainya.
Minggu pagi bangun dengan perasaan gegas. Bersiap pergi ke warnet terdekat, untuk mengecek koran dalam versi e-paper. Saya belum memiliki laptop maupun android masa itu. Pergi ke warnet adalah aktivitas menyenangkan. Intensitas debar Minggu pagi tak terelakkan. Rasa cemas yang berdentum dalam dada, akan tergantikan dengan sorak kemenangan begitu melihat tulisan dimuat. Meski tak jarang saya menelan kecewa. Pulang ke rumah dengan lunglai, tak membawa berita gembira buat ibu.
Apabila kabar gembira yang dibawa, maka saya harus bergegas mengayuh sepeda ke arah pusat kota, untuk membeli koran pertama yang tiba di kota itu. Pukul 11 pagi biasanya koran Minggu sudah habis. Di samping toko koran itu, diatas sepeda, dengan gemetar, saya buka halaman koran yang memuat tulisan saya. Bangga, sekaligus tak percaya! Nama saya tercetak di lembar koran yang lebar itu. Jarak 15 km pulang-pergi, keringat yang mengucur, sama sekali tak terasa.
Begitulah bertahun-tahun, bahkan setelah saya berpindah ke Medan untuk melanjutkan studi sarjana di Universitas Sumatera Utara. Minggu selalu dinantikan. Minggu menjadi hari menggembirakan. Selama di Medan, nyaris setiap Minggu tulisan kami dimuat koran. Bahkan beberapa kali dimuat bersamaan, di koran yang sama, di halaman yang sama.
Minggu adalah hari pertaruhan. Setelah kerja keras menulis, mengeditnya, lalu mengirimnya ke koran, menunggu pemuatan adalah pertaruhan. Bertaruh dimuat atau tidak. Menulis tentu saja butuh modal. Bahan bacaan, laptop, koneksi internet, meja, kursi, beberapa teknis lainnya, dan tentu saja yang penting dari itu semua ialah ide dan kemampuan menuangkan apa yang dipikirkan ke dalam bentuk kata-kata. Mudah? Kalau sudah biasa tentunya mudah. Sulit? Ya, kalau tak pernah mencoba.
Sangking produktifnya, saya bahkan membuat list honor tulisan agar memudahkan saat mengambilnya sekaligus, dua-tiga bulan sekali. Nominalnya tak banyak. Lantas bagaimana saya dan ibu bisa hidup layak dari hanya mengandalkan menulis? Kemari kawan, let me tell you a secret! Menulislah di media nasional. Honornya besar, dalam kisaran setengah sampai sejuta. Bayangkan, dalam sebulan bisa membuat 4 tulisan untuk media nasional berhonor setengah juta saja, maka sudah mengantongi dua juta. Enak? Tentu saja. Tertarik jadi penulis? Oho! Tunggu dulu.
Semua itu tak begitu saja saya dapatkan. Tentunya butuh proses panjang, bahkan bertahun-tahun. Saya butuh empat tahun untuk menembus Koran Tempo. Itupun barangkali karena saya beruntung. Pada umur 19 tahun saya sudah berhasil menembus The Jakarta Post dan umur 20 untuk Kompas. Berapa tulisan yang saya kirim sebelum akhirnya berhasil menembus media nasional? Tak cukup jari menghitungnya. Ketika itu, saya bisa bilang kunci untuk bisa menembus media nasional ialah teruslah menulis dan pantang menyerah.
Sayangnya kawan, kini semua sudah berbeda. Benar-benar berbeda dengan “masa kejayaan” yang saya lalui itu. Kini koran sudah sedikit. Sebutlah yang nasional, tinggal Kompas, Jawa Pos, Republika, Media Indonesia, yang masih terbit cetak. Sementara untuk media online ada Korantempo.co, Kompas.id, Detik.com, Basabasi.co, Cendananews.co, Bacapetra.co, Lensasastra.id, Beritabaru.co dan media yang memuat tulisan ini, Magrib.id.
Media diatas menyediakan honor yang jumlahnya merosot dibanding “masa kejayaan” yang saya lalui. Bahkan berdasarkan informasi terbaru, yakni Media Indonesia, Detik.com dan Cendananews.co menghentikan honor sejak 2022. Ini menimbulkan frustasi bagi sebagian besar penulis. Apalagi disamping soal honor, koran-koran cetak juga lebih memilih untuk memuat tulisan karya penulis tenar dan tinggi jam terbangnya. Sudah pasti koran cetak tak mau ambil risiko memuat karya penulis pemula, sekalipun kualitas karyanya bagus.
Sedihnya, penulis yang sudah tenar justru banyak berpulangan belakangan ini. Sebutlah yang sering muncul di Kompas, yakni Sori Siregar dan Budi Darma. Maka Kompas berstrategi dengan memancang cerita bersambung Sindhunata setiap harinya. Nama besar akan memancing minat pembaca, begitukan?
Alhasil media online menjadi sasaran serangan para penulis, muda dan senior, sama saja. Sebagian tak lagi mengharapkan honor, tapi lebih menginginkan karyanya terpublikasi oleh media “kredibel”––yang artinya mempunyai susunan redaksi, redaktur yang mumpuni dan publikasi yang rutin. Honor media online terbilang kecil, antara Rp 50-300 ribu. Angka yang tak bisa diharapkan untuk melanjutkan hidup layak.
Begitulah akhirnya nasib para penulis––menerima, tanpa bisa berbuat. Bagi sebagian penulis, menulis tak lagi menjadi aktivitas yang menyenangkan. Setelah selesai ditulis, bingung: hendak dipublikasikan dimana? Facebook dan grup Whatsapp? Ah, murahan sekali. Sudahlah tak dibayar, cuma dapat jempol palsu, dan sanjungan yang nir-faedah. Syukur tak dapat ejekan atau sinisme.
Ya, kawan. Beginilah situasi kita saat ini. Minggu hanya sekadar Minggu. Tak lagi mendebarkan. Tak lagi dinantikan. Ya benar, besok Minggu. Wahai para penulis marilah tidur hingga siang. Berhentilah berharap tulisanmu dimuat, dan mulailah berpikir untuk banting setir menjadi novelis atau sekaligus politikus.