Kemana Dukamu Kini

Sajak Daun Gugur

di ujung bayang pohon itu
malam datang seadanya dalam diam
bahkan cahaya yang hinggap
sejak siur angin menjatuhkanku,
aku tak sekali merasa sendiri.

nyanyian pemanggil maut
sudah sepagi ini mengusir sunyi
menyambut peristiwa dengan hormat
sedang kantukmu hinggap di altar
bersuara seperti benang masuk jarum,
kain kehilangan motif
membuat jendela berwarna hambar.

ketika pada hari
tak ada mawar untuk mekar lagi,
hanya sisa malam yang sudah gelap
dalam gelas anggur
yang tertutup robekan plastik,
atau pada sajak daun gugur
yang kehilangan warna puitik.

Lebeng Barat,2022




Pagi, di Sebuah Kafe

Matahari datang pada kopi
Dengan wajah perempuan
Selepas ingatan jadi trapesium hijau.

Waktu mengusirku dari arus yang tak lurus
Dengan cuaca penuh konsonan,
Hingga di tepi meja itu yang tampak hanya basah
Dari sisa air mata di ranjang kos-kosan,
Puntung rokok yang tak sempat jatuh
Seakan-akan membuat pagi bernada jenuh.

Ya. Aku akan pulang sebentar lagi,
Pulang menyambut siang
dengan melodi bernada minor,
Tapi di kafe ini langit masih tampak rabun
Kulihat ranting-daun bermotif embun,
Ramai di sepanjang pekuburan
Membuatku takut menulis puisi,
Takut merayumu yang sekian kali.

Lubtara, 2021





Di Sepanjang Detak Rindu


Di sepanjang detak rindu
kita sepakat untuk selalu tua
merindukan masa kanak-kanak
yang adalah cara lain untuk mengilak.

Semakin larut waktu luka
menggenggam purnama di pergantian musim
ragu bagai melodi hanyut dalam hujan
riaknya menderu dalam bayang-bayang.

Aku tak punya luka
menjelang hujan bercermin di kaca jendela
hanya saja merasa takut
sebab maut semalam bermimpi buruk.
Maka dalam cinta ini
segala ketakutan akan hancur
serupa debu yang dipecahkan embun
tangisnya menyedihkan beragam daun.

Lebeng Barat, 2022




Yang Melintas di Persimpangan

Yang melintas di persimpangan
adalah tapal rindu
di sebuah sore yang datang bergamis.

Hanya waktu dan jejak
melepas langkah di atas tawa
bergantian melepas sedih.

Musim mula-mula terdiam
dari sekian purnama yang datang berdarah

Udara kembali mengabarkan luka
bukan lewat daun atau pun embun
melainkan lewat dingin yang jadi hantu
gentayangan di muka jendela
seperti mimpi-mimpi kesetiaan
menidurkan sunyi sepanjang malam.

Annuqayah, 2021




Pecah Senyummu

Pecah senyummu adalah gelas rindu
matahari tempat pagi menemukan cerah
di balik pintu, cermin terhidang lebar.

Sejauh doa ini
tangan hanya terangkat dari lutut
menggenggam tawa kecil dari surga.

Kemana dukamu kini
ledakan cinta dan ampas rindu
masihkah akan sampai pada mimpimu?

Dalam pejamku wajahmu haus
harapan berpuasa setengah subuh
antara tegak dan tersungkurnya bayang-bayang
hanya berkisah satu malam.

Annuqayah,2021





Fragmen Kebangkitan

            Kepada Ayahku: Baihaqi

(1)
Ia berangkat tepat ketika fajar bercahaya
membawa risalah cinta dari sanak keluarga
mengintai seribu peluh dan sejuta keinginan
pada sebuah pesona yang sembunyi di selat keraguan.

(2)
aku bayangkan, kebangkitan adalah bahasa lilin
di suatu subuh yang datang berdebu
tunas mawar, kembang pisang dan duri harapan
merupakan warna sepi di bumi pertiwi,
seperti desah angin rendah, kebangkitan selalu bersiur
mewartakan indah cahaya api di kota-kota tanpa matahari.

(3)
di atas kobar kebangkitan
kau jadi sumbu yang dibakar waktu
asapnya harum kasturi yang terdegar ke ujung mimpi
ketika tersedia rumah air mata di ceruk doa
ketika runcing luka lebih pandai menusuk dada
sunyi-sunyi semakin tumpah di atas kecemasan
segera aku baca rabun agar embun tak berani
menyentuh kepasrahan yang sedang kau ayun.

(4)
di atas kobar kebangkitan
ada yang ikhlas berdiri sebagai gelap
di mana kemungkinan hanya dibangun dengan sesaat
dan dusta tampak kabur, seperti daun merindukan musim gugur
terbang ke tengah samudra
hingga laut tak ditemukan arah dalamnya
dan angin tak dikenal sebab dinginnya.

(5)
di atas kobar kebangkitan
kau adalah api yang membakar tubuh sendiri
tanpa kekuatan, tanpa gelar bahkan tanpa jaminan
untuk sekadar jadi pupur
yang hendak mengembalikan rupa sesegar anggur.

Sumenep,2021




Dalam Puisi Ini

            _Aya Varagita

Dalam puisi ini, tak ada siapa-siapa
sunyi merapikan pakaian,
merapikan suara yang tak jauh dengan rupamu
namun aku masih pula sendiri
tak kutemukan warna kulitmu
di antara sadar mimpi-mimpiku.
Satu dari sekian banyak teriakan gelap
menulis kehilangan yang terasa baru
menyimpannya dalam berbagai wadah rindu.
aku resah, sayang.
namun terlanjur kuat
dan mengerti segala yang terikat
masih mampu untuk kucatat.
Maka janganlah kau coba pergi dari hidupku
karena semakin kau menjauh
rasa jenuhmu diintai kabar
dari waktu ke waktu
rasa sesalmu tak mungkin mudah pudar.
Temani saja aku dalam ruang ini
semakin pandai kau selami
gelap ini akan pergi,
hingga tak ada lagi; sunyi yang asing
dalam kesendirian kita masing-masing.

Sumenep,2021





Bagikan:

Penulis →

J Akit Lampacak

Lahir di Sumenep, Jawa Timur, pada 2000. Mahasiswa jurusan Teknologi Informasi IST Annuqayah. Bergiat di Lesehan Sastra Annuqayah (LSA). Karyanya sudah dimuat di berbagai media, buku puisi tunggalnya bertajuk Lampang 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *