Menyuarakan yang Tak Mampu Bersuara

Judul Buku : Tragedi di Halaman Belakang
Penulis : Eko Rusdianto
Penerbit : EA Books
Cetakan : November 2020
Tebal Buku : 191 halaman
ISBN : 978-623-91089-8-4

Berawal dari sebuah toko curah ramah lingkungan di Kota Makassar, seorang pekerjanya menawari buku ‘Tragedi di Halaman Belakang’ saat saya bercerita tentang betapa saya ingin mengetahui perihal pemenuhan hak-hak disabilitas di kota ini. Berangkat dari satu isu tersebut, Eko dalam buku ini tidak hanya menyuarakan perihal disabilitas di Kota Makassar, melainkan paradigma sosial terkait ini dan bagaimana normalisasi pelecehan seksual yang marak terjadi, terlihat dari penerimaan peristiwa pelecehan tersebut bagi pihak keluarga dan bagaimana mereka hidup bersama kabar ini.

Tampak siluet seorang bersenjata dengan pakaian militer lengkap dan peta Pulau Sulawesi pada sampulnya, menggambarkan beberapa bagian dari buku ini -yang tampaknya cukup banyak membahas peristiwa kekerasan di masa lalu dan mereka yang tersisa. Eko membungkus cerita dari orang-orang yang jarang diceritakan dengan gaya jurnalisme sastrawi yang mengalir, enak dibaca. Buku ini terbagi kedalam empat bagian: pertama, ingatan akan tragedi; kedua, orang Sulawesi dan cerita hidupnya; ketiga, orang-orang biasa dalam peristiwa DI/TII, dan bagian terakhir, jejak gemilang luwu. Sejarah kekerasan, eksekusi berat sebelah, dan pembunuhan menyisakan jejaknya hari ini, monumen batu yang mulai tua, lusuh, dan terlupakan, juga mereka, saksi hidup yang telah renta.

Siapa yang bisa lupa perihal pembantaian nahas yang terjadi dalam kurun waktu kurang setahun, dari Desember 1946 – Maret 1947 yang menewaskan 40.000 jiwa? Eko menuliskan peristiwa besar ini dari sudut pandang Andi Oddang, mantan Gubernur Sulawesi Selatan yang baru berusia 19 tahun saat peristiwa itu terjadi. Masih banyak yang tersisa, terutama tanda tanya yang dibiarkan terkubur tanpa jawaban dari para keluarga korban pembantaian Westerling yang tidak pernah terdata sampai hari ini. “Kami pasrah saja. Kalaupun pemerintah atau ada pihak lain yang ingin membantu, kami dengan senang hati akan menyambut dengan baik.” (Hal. 8)

Sejarah lain dari bentuk penyiksaan dan eksekusi berat sebelah diceritakan dalam kacamata para Tapol 65 yang berasal dari berbagai daerah di Sulawesi yang disentralisasi ke kamp. Moncongloe. Cerita para tapol 65 di kamp. Moncongloe menjadi salah satu yang menarik. Eko mengeksplorasi cerita ini dari beberapa pelaku langsung, menyulam potongan-potongan cerita menjadi satu cerita yang utuh. Yang tersisa dari para tahanan politik di masa lalu begitu sarat akan ketidakadilan, kekerasan, atau bentuk-bentuk kejahatan terhadap kemanusian.

Namun, saya bisa menangkap esensi lain dari kisah-kisah yang diceritakan para tapol; Muhammad Jufri Buape, Wharis Thahir, dan Rasiji Amrah. Peristiwa persekusi dari orang-orang bersenjata itu dan bagaimana mereka tetap hidup hingga lansia dan cukup sehat untuk menceritakan kisah-kisah tersebut menjadi bentuk resiliensi yang kokoh dari masyarakat Sulawesi sejak dulu. Resiliensi, bisa juga disebut sebagai daya lenting dipahami sebagai bentuk adaptasi manusia dari berbagai situasi kritis untuk dapat bertahan dan hidup dalam situasi-situasi yang tidak menyenangkan, sebagaimana yang terjadi di dalam Kamp. Moncongloe tersebut. Orang-orang bertahan dengan bertani, gotong royong, pekerjaan kolektif, dan pemanfaatan kapasitas tiap orangnya.

Melihat yang Tidak Terlihat

Saya tidak bisa berhenti berpikir tentang kedalaman ekplorasi yang Eko lakukan saat menulis buku ini. Sebagai seorang yang lahir dan tumbuh di tanah Sulawesi dan pernah menjejalkan kaki di tempat-tempat yang ia ceritakan, membaca buku ini menyadarkan saya betapa banyak peristiwa-peristiwa dan orang-orang yang terlewatkan. Banyak orang tertarik akan sesuatu yang besar, seperti angka-angka statistik yang seolah mampu memicu empati orang-orang. Tetapi, Eko menulis hal-hal besar dalam sudut pandang yang kecil, hal yang menjadikan buku ini penuh perenungan.

Secara pribadi, highlight dari buku ini terletak pada bagian dua, ‘Orang Sulawesi dan Cerita Hidupnya’ yang menampilkan delapan tulisan yang beragam. Ho Chieng Sie, atau Hae, seorang Makassar yang merantau selama 36 tahun tanpa pernah pulang. Eko dan lelaki renta itu menelusuri sisa-sisa ingatan Hae untuk menemukan keluarganya yang tersisa, membawa kesedihan dan rasa haru yang membuncah tatkala ia berhasil bertemu dengan ponakannya, menelusuri jejak-jejak keluarga yang hidup dan mengunjungi pusara mereka yang tiada. Juga penyampaian beberapa budaya dari beragam daerah di Sulawesi. Salah satu yang cukup menghibur adalah pondasi ayam bagi orang-orang Toraja. Secara umum, orang-orang lebih akrab dengan kecintaan masyarakat Toraja akan tedong dan babi sebagai hewan yang berperan penting dalam upacara kebudayaan Toraja. Buku ini justru menggali perpektif yang tidak banyak tergali, diberi judul ‘Cara Rumit Mencintai Ayam’. Dalam narasinya, Eko dengan baik menceritakan budaya sambung ayam dari perspektif orang Toraja yang menyenangi kegiatan ini, Andrias Lu’ku.

Membaca buku ini memberikan pengilhaman bahwa semua orang memiliki cerita mereka sendiri. Kasus-kasus kekerasan, kelompok marjinal, atau fenomena-fenomena di masyarakat diceritakan dalam sudut pandang mereka yang terlibat langsung, sehingga hal-hal besar itu terasa begitu personal dan dekat.

Saya juga cukup terharu dengan kisah penulis saat bertemu dengan Bissu Saidi, seorang Bissu yang kisahnya telah diceritakan dalam buku ‘Calabai’, salah satu mahakarya sastra yang menyenangkan dengan latar belakang kekayaan budaya Sulawesi Selatan, khususnya Bugis. Saya tidak menyangka bisa membaca Bissu Saidi dari perpektif orang lain. Dia, seorang yang berani untuk berbeda di tengah banyaknya tekanan sosial terhadapnya, termasuk upaya pembunuhan kelompok ekstrimis di masa lalu.

Bissu Saidi diceritakan dalam dua tulisan buku ini, ‘Takdir dan Kehormatan Seorang Bissu’ dan ‘Jiwa Damai Bissu’. Eko menceritakan cerita pertemuannya sekitar tahun 2001. Narasi Eko dalam menceritakan suasana, gerak-gerik dan cara bicara Bissu Saidi menghadirkan potret beliau yang lebih kaya. Saidi yang menyadari kondisinya berbeda dengan teman-teman lelaki seusianya. Perbedaan itu bukanlah hal yang memalukan, bahkan penunjukannya sebagai bissu diyakini Saidi sebagai takdir dan kehendak Tuhan. Sebuah kehormatan. Perbincangan Eko dan Daeng Serang dan Bissu Saidi memicu banyak kesadaran, salah satu yang paling berkesan adalah perkataan mereka terhadap Eko di halaman 181.

“Yang bisa menjadikan orang memiliki derajat adalah kata-katanya. Kata itu seperti ikatan, dimana yang bisa didengar hanya ucapan sementara kesetiaan dan kepercayaan diuji dari perkataan.” (Hal. 181).

Sejarah adalah pembelajaran, begitupun tulisan-tulisan dari buku ini. Tragedi di Halaman Belakang menyajikan isi dari isu-isu yang ada di Sulawesi Selatan. Buku ini menyediakan beragam liputan sejarah yang (saya percaya) tidak diketahui secara luas dari banyak perpektif. Isu-isu dalam buku ini dibahas cukup ringkas dengan narasi yang runut dan spesifik, sehingga para pembaca dapat dengan mudah terhanyut kedalamnya, apalagi dengan tulisan dari sudut pandang orang-orang biasa yang menambah kedekatan pribadi dengan mereka-mereka yang diceritakan di dalamnya.




Bagikan:

Penulis →

Nawa Jamil

Berdomisili di Makassar. Senang berkebun dan bepergian, dan menulis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *