Mengurai Waktu

Setapak Cahaya

Temaram hilang
pada cahaya malam
diantara gugus bintang
yang bertebaran.

Temaram hilang
dalam setapak cahaya
diantara gegap-gempita
yang mengeluh pada semesta.

Yang bercahaya
hanya luka derita
sebuah jiwa
dalam dekap rengsa.

Juni, 2022




Melihat Rumput

Angin menerpa tubuhmu
sampai tulang dan dagingmu
kau tetap berdiri dan melagu.

Burung pipit memintamu
untuk hati-hati terhadap waktu
sebab ia nyawamu.

Kau sekali lagi melagu
dan kudengar suaramu
melengking di telingaku
dan angin merampasmu.

Juni, 2022




Dua Hari

Dalam dua hari
engkau menanti
tentang kabar yang merampas hati
iya, merampas hati.
Kabar yang tak pernah mampu kukabarkan
kepadamu kemarin.
Selain kata maaf
juga kata selamat tinggal untukmu
yang sudah tiada, sebelum kelahiranku.

Juni, 2022




Ibu

Letihmu makin terkubur
bersama senyum indah pagi hari.

Kulihat lautan mimpi
kau ingin aku jejali
nyaliku kau uji.

Yang paling berat bagiku
bukan pilihan mimpi
namun melihat keningmu terkikis mentari.

Juni, 2022




Pena

Kau berjalan sesuai jemariku
di atas balutan putih tanpa garis
aku meringis, aksara apa yang harus kutoreh habis.

Suara burung telah mengadu di pikiranku
nyaring, lenting di atas telinga
menunggu pena, menuliskan kisahnya.

Dan aku
masih menjadi patung yang menunggu pemahatnya
dalam lamban gerak kata, dan aku lupa.


Juni, 2022




Lamban

Angin pagi masih hangat
dalam kecupan tubuh yang mengigil
mengurai waktu kian lambat
pada perjalanan kaki mungil

Kenangan apa yang harus kulupa?
Bisikku tiba-tiba. Mereka tak mendengarnya.

Juni, 2022



Bagikan:

Penulis →

Jenia Xaviera

Asal Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia. Puisi Teri di Laut Biru adalah puisinya yang terpilih dalam Festival Sastra Internasional Gunung Bintan 2019. Cerpennya berjudul Sekat Bulan (Flash Fiction) termasuk cerpen pertamanya yang dibukukan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *