DUA laki-laki gempal mengempang laluannya. Keduanya menggenggam parang panjang. Belum lagi Pakcik Sangkot sempurna turun dari sepedanya, seorang di antara kedua pria itu sudah menghunuskan parang ke arah leher pedagang kain berusia setengah abad itu. “Kalau mau selamat, jangan coba macam-macam,” hardiknya
Benak Pakcik Sangkot berputar menimbang keadaan. Umurku boleh tak muda lagi tapi tak sudi aku mati konyol, didengarnya suara kecil dari ceruk pikirannya. Kalau pun aku mati paling tidak kedua bajingan ini juga harus mati.
Sekelebat dia teringat kejadian sepuluh tahun yang lalu. Bagaimana di tangannya⸺tangan seorang pendekar dan guru pencak silat yang disegani⸺dua orang begundal macam begini terkapar mencium tanah. Untung tak sampai mampus. Tapi itu kan sepuluh tahun yang lalu. Barangkali sekarang ini gerakku tidak lagi segesit dulu, karena itu aku harus merebut parang, begitu gumam di rongga kepalanya.
Sembari menstandarkan sepeda, sekilas Pakcik Sangkot mengerling posisi tegak si penodong yang terbuka, serta merta tebersit siasat menghajar burungnya. Dia tahu risikonya sangat besar. Tapi jika tendangannya tepat menghunjam di kemaluan begal itu, cukup untuk membuatnya roboh menggelepar. Dalam hitungannya cukup dengan satu sapuan tendangan, parang sudah bisa berpindah tangan. Kalau pun tak menang, paling tidak dia tidak mati sendirian. Persis ketika sepeda sudah tegak di atas standar, dia mendengar bisikan halus suara perempuan bernada perintah di telinganya.
“Jangan kau ikuti hawa nafsu. Jangan bertarung. Jongkok! Merokoklah kau dulu!”
Kepada penodong itu Pakcik Sangkot berujar, “Aku tak bakalan mengapa-ngapa. Kelen ambil semuanya. Permisi aku duduk, aku mau merokok.”
Orang itu tidak berkata apa-apa. Didekatkannya parang ke badan Pakcik Sangkot, yang sudah terlanjur berjongkok. Ujung parang hampir menyentuh songkok di setentang ubun-ubunnya. Perlahan Pakcik Sangkot merogoh saku baju. Yang dikaisnya bukan bungkus rokok sigaret. Hanya satu batang rokok lintingan tembakau dibungkus klobot kering jagung muda. Sontak dia ingat siapa yang memberinya rokok itu. Api memercik dari batu mancis tua yang tergesek gerigi roda logam kecil yang dipulaskan jempolnya, menyalakan sumbu mancis yang berminyak. Diisapnya rokok itu dalam-dalam. Menguar aroma rokok kelembak-kemenyan. Tiga sedotan, asap yang dihembuskan menyebarkan wangi kemenyan. Seorang begal hampir selesai mengikatkan bal kain dagangan Pakcik Sangkot ke sadel sepeda motornya. Begal berparang, dengan mata nyalang bernyala, ketat mengawasi Pakcik Sangkot.
Baru Pakcik Sangkot menyadari, betapa posisinya saat ini membuatnya sama sekali tidak berdaya. Dalam keadaan berjongkok di ujung hunus parang, dia tidak bisa bergerak sedikit pun. Dalam situasi begini perampok itu akan dengan mudah memancung lehernya begitu mereka selesai membereskan barang dagangannya. Tiba-tiba dia menyesal mengapa tadi mengikuti saja perintah dalam bisikan itu.
Baru saja Pakcik Sangkot hendak mengisap rokoknya sedotan yang keempat, ketiga orang itu disentakkan oleh suara harimau mengaum. Gelegar aumannya seakan dekat di sisi telinga. Nalurinya membimbing Pakcik Sangkot memandang ke arah Timur. Dari jarak sekitar setengah kilometer, di antara barisan pangkal batang pohon rambung tua yang tajuknya tinggi menjulang, dari balik kepulan debu lantai kebun yang kering dipanggang kemarau, di antara daun-daun kering beterbangan, tampak olehnya sosok Ompung[1] berbelang itu menggebu berlari kencang ke arah mereka.
Kedua begal itu nampak seperti ingin melarikan diri. Pakcik Sangkot sempat melihat parang jatuh dari tangan begal yang menodongnya, sebelum keduanya yang nampak ketakutan bukan alang kepalang, limbung lalu roboh ke tanah. Tak sadarkan diri.
Sekujur tubuh Pakcik Sangkot menggeletar, menyadari Ompung melangkah melintasinya, menghampiri kedua begal itu lalu bergantian menjilati kepala keduanya. Serasa jantung Pakcik Sangkot hampir lepas dari sangkutannya. Apa jadinya kalau dia terpaksa menyaksikan sang raja hutan mengerkah kepala kedua begal itu dan melantak di depan matanya. Untunglah, ternyata tidak. Hanya menjilati saja. Setelah itu Ompung berbalik ke arahnya seraya mengeluarkan suara seperti berdeham. Dengan langkah gontai melangkah menuju arah Timur dari mana tadi dia datang, meninggalkan Pakcik Sangkot yang masih ternganga.
Rokok kelembak-kemenyan masih mengepulkan asap, masih terselip di antara telunjuk dan jari tengah tangan kanannya yang menggeletar. Aroma kemenyan memenuhi udara.
Pandangan matanya lekat pada makhluk yang berjalan membelakangi, menjauh hingga sosoknya hilang di kejauhan. Kesadarannya berangsur-angsur kembali. Dipandanginya tangan dan kakinya. Baru menyadari, dia sudah terduduk di tanah, bukan lagi berjongkok. Dan masih gemetaran. Untuk menenangkan diri, diisapnya rokok klobotnya pelan-pelan. Sembari memikirkan bagaimana caranya dia bisa segera mencapai emplasemen, meminta pertolongan untuk meringkus kedua begal itu.
Sejurus kemudian tampak olehnya empat orang berboncengan dua sepeda motor bergegas ke arahnya. Pakcik Sangkot mengenali keempat orang itu. Dua orang di antaranya adalah centeng, sementara yang dua lagi polisi pengawas kebun. Kedua polisi itu menyandang bedil laras panjang. Rupanya senyampang mereka patroli mengawasi pencurian lateks yang belakang ini kerap terjadi, mereka melihat Pakcik Sangkot dan dua begal yang terbaring itu.
Kedua centeng memapah membantu Pakcik Sangkot berdiri. Seorang polisi memberi minum air dari sebuah veldples yang dibawanya. Yang seorang lagi menghampiri kedua begal yang tergoler pingsan, bergantian menarik kedua tangan seorang-seorangnya ke belakang tubuh dan memasangkan gari. Sembari menunggu siumannya kedua pentolan begal residivis, yang mereka sudah hafal wajahnya itu.
Ketika melihat Pakcik Sangkot mulai tenang, kedua polisi itu menanyakan apa sesungguhnya yang baru terjadi. Pakcik Sangkot menebarkan pandangan ke sekeliling. Dia melihat jejak Ompung bertebaran di sekitar dirinya dan kedua begal itu. Dan di sepanjang jalan tadi yang dilaluinya. Sungguh aneh keempat orang-orang ini tidak melihat apa-apa.
***
Pakcik Sangkot tak mungkin melupakan, hari itu Jum’at pertama di bulan Rajab. Dia sedang berjualan di poken[2] sebuah kampung di pinggir onderneming Brussels. Matahari masih sepenggalah tingginya. Ketika itu pembeli belum lagi ramai berdatangan.
Ke jongkonya mampir seorang nenek lanjut usia, tapi nampak sangat sehat dan gesit gerak-geriknya. Tubuhnya yang mungil dibalut kain pelekat hijau dan kebaya satin kuning potongan nyonyah. Kerudungnya kuning senada kebaya. Meskipun tersamarkan oleh keriput tapi wajahnya menampilkan guratan kecantikan masa mudanya yang pasti sangat jelita. Yang tidak biasa, aroma semerbak wewangian yang menenteramkan perasaan memancar dari tubuhnya.
Sedap kali wanginya. Tak pernah kucium minyak wangi macam ‘tu, kenang Pakcik Sangkot membatin.
Saking terkesima oleh pesona sang nenek dan sibuk membayangkan betapa cantiknya nenek ini ketika gadisnya, Pakcik Sangkot sampai menggeragap ketika sang nenek menanyakan apakah ada kain pelekat cap padi.
“Ada, Mak. Yang halus ada, yang biasa pun ada. Umak mau yang mana?”
“Yang halusnya-lah kuambil. Aku mau tujuh helai. Ada ‘nya?”
“Ada, Mak.”
Pakcik Sangkot menyebutkan harganya. Si nenek tak menawar. Sementara ketujuh kain pelekat itu dibungkus, nenek mengeluarkan uangnya untuk membayar. Diangsurkannya uang itu kepada Pakcik Sangkot, sembari diambilnya bungkusan kain.
“Kau ambil duit pulangnya, sama-sama ikhlas kita ya,” ujar sang nenek.
“Banyak kali lebihnya ini, Mak, alhamdulillah. Iyo Mak, kalau aku pastilah ikhlas,” sahut Pakcik Sangkot.
Hanya sejurus saja. Pakcik Sangkot menyimpankan uang ke dalam tasnya, ketika dia mengangkat kepalanya lagi nenek sudah tidak kelihatan. Dijulurkannya lehernya untuk melongok ke kiri dan ke kanan tetap saja nenek itu tidak nampak lagi.
“Cepat betul Nenek ‘tu bejalan. Macam menghilang dia,” gumamnya.
Dia tak tahu kenapa, tiba-tiba hatinya berdesir. Dikeluarkannya lalu dibukanya tas tempat menyimpan uang tadi. Tujuh helai daun kering tergolek di dalam tas itu. Jumlah lembar yang sama dengan uang yang dibayarkan nenek tadi. Dadanya berdegup kencang. Pikirannya melayang kepada cerita ayahnya di masa kecilnya dulu tentang orang Bunian, yang menghuni hutan tua. Mereka ini makhluk halus yang hidup bermasyarakat seperti lazimnya manusia. Kendati tidak kasat mata di hadapan manusia, kecuali ketika orang Bunian itu sengaja memperlihatkan diri, konon alam mereka seakan bersentuhan dengan alam manusia. Ada barang-barang keperluan mereka yang serupa dengan manusia. Kain adalah salah satunya. Dan nenek tadi membeli kain pelekat cap padi. Makin kuatlah Pakcik Sangkot curiga nenek itu orang Bunian. Kalau setiap kali berbelanja uangnya daun kering, lama-lama tumpurlah aku. Mudah-mudahan hanya sekali ini saja, bisik hatinya. Dia lalu beristighfar. Setelah itu dia berusaha mengikhlaskan.
Waktu melintas, musim berganti, tahun berlalu. Usaha perniagaan Pakcik Sangkot sudah membesar. Semakin laris dan berlipat untungnya. Persis setahun sejak kedatangannya yang pertama, pada hari Jum’at pertama bulan Rajab, nenek itu datang lagi. Pakcik Sangkot tak melihat ada perubahan pada perawakan dan wajah si nenek. Masih mengenakan kebaya satin kuning, kali ini berhiaskan sulaman bunga raya, dan kerudung berwarna kuning. Hanya kainnya yang berbeda. Pakcik Sangkot mengenali kain pelekat yang dikenakannya. Salah satu dari tujuh helai yang “dibelinya” setahun yang lampau.
“Panggil aku Mak Rodiah,” ujarnya mengenalkan diri.
“Aku mau beli tujuh helai kain pelekat cap padi yang halus. Masih ada barangmu?”
Ingatan Pakcik Sangkot melayang ke peristiwa setahun yang lalu. Tapi dia sendiri tak tahu kenapa dengan tangkas dia menjawab, “Masih banyak, Mak. Silahkan Mak Rodiah pilih.”
Tujuh helai kain pelekat halus itupun dibungkus rapi. Seperti adegan tahun yang lalu: kain berpindah tangan, Mak Rodiah membayar, tujuh lembaran uang baru dimasukkan ke dalam tas, ketika Pakcik Sangkot menengadah lagi Mak Rodiah sudah raib. Laksana ditelan bumi. Perlahan dibukanya kembali tas penyimpanan uang. Tujuh helai daun kering berkilau di dalamnya. Dielus-elusnya perlahan-lahan. Akan disatukannya dengan tujuh helai daun tahun yang lalu, yang sekarang tersimpan rapih di dalam kotak kecil mirip tepak sirih yang sengaja ditempahkannya. Untuk menyimpan “uang-uang” itu. Sebagai kenang-kenangan.
Jum’at awal bulan Rajab di tahun yang ketiga, Mak Rodiah datang lagi. Sejak kedatangan yang pertama kalinya, Pakcik Sangkot memperhatikan Mak Rodiah hanya datang kepadanya dan hanya membeli tujuh helai kain pelekat cap padi. Hanya itu.
Dia pun memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang sudah lama disimpannya dalam hati, “Kenapa Mak Rodiah tak pernah membeli di pedagang lain?”
“Tidaklah, jang. Bukannya mauku sendiri. Kau sendirian ‘nya kerabat kami di sini. Orang-orang ‘tu, orang lain ‘nya semua, bukan kerabat kita.” Kerabat kita? Kalimat itu mengiang dalam benak Pakcik Sangkot.
Menyalahi kebiasaannya yang datang membeli pelekat cap padi setahun sekali, setiap hari Jumat pertama di awal bulan Rajab, kali ini Mak Rodiah datang lagi sebulan sejak kedatangannya yang ketiga. Pagi hari Sabtu, sebelum kejadian itu, adalah pertemuan mereka yang keempat. Sebagai mana ritual biasanya, Mak Rodiah kembali membeli tujuh helai kain pelekat cap padi yang halus. Selain tujuh lembar uang kertas, dikasihkannya sebatang rokok tembakau lintingan dalam klobot kering jagung muda.
“Sengaja kubikinkan ini untuk kau Sangkot. Kau isap nanti ya. Sebatang saja ‘nya.“
“Terima kasih, Mak.”
Perlahan Pakcik Sangkot menyelusupkan rokok itu ke dalam saku bajunya.
Ketika poken kukut, menjelang bersiap-siap pulang, menambahi stok barang dan melanjutkan berjualan di gajian besar di emplasemen Pernantian, Pakcik Sangkot menghitung dan merapihkan uang perolehan dagangnya hari itu. Berdetak keras jantungnya. Tujuh lembar uang kertas yang masih baru, dari Mak Rodiah tadi, tidak berubah menjadi daun kering.
Rupanya itulah pertemuan mereka yang penghabisan. Bulan Rajab tahun keempat dan tahun-tahun berikutnya berlalu tanpa kedatangan Mak Rodiah. Sesekali ada juga Mak Rodiah datang dalam mimpinya. Menyertai di belakangnya, dalam kegelapan, nampak bergerak-gerak sepasang nyala berbentuk mata. Dari arah mata menyala itu sesekali terdengar suara berdeham seperti yang dulu pernah didengarnya. Mak Rodiah hanya memandangi dari kejauhan, tanpa bicara sepatah kata. Hanya tersenyum saja. Tak lama. Lantas pergi lagi.
Pada saat kedatangan yang terakhir, sambil menerima pemberian sebatang rokok lintingan, diliputi keingintahuan mengenai siapa sebenarnya, dan bagaimana asal-usulnya, Pakcik Sangkot bertanya di mana Mak Rodiah tinggal.
“Tempatku jauh, di Sorba Huta[3],”jawabnya.
Sekejap Pakcik Sangkot tertegun, namun langsung paham. Terjawab sudah semua misteri itu. Tidak ada seorang manusia pun yang bermukim di Sorba Huta. Kecuali hanya orang Bunian.”(*)
[1]Ompung = Panggilan untuk menghormati harimau (ompung berarti kakek), karena pantang menyebutnya dengan harimau (Mbah, di Jawa).
[2] poken = Pasar (hari pekan) yang diadakan sekali dalam sepekan. Pedagangnya berdatangan dari berbagai tempat.
[3] Hamparan hutan tua yang hampir tidak pernah diinjak manusia, dipandang sebagai hutan larangan karena orang Bunian bermukim di hutan ini.
2 Responses
Aku suka. Bahasa melayu itu puitis.
Terima kasih. Apresiasi ini menyemangati.