Manusia, Kisah yang Tak Selesai

DUNIA dibentang dengan corak kisah; mulai dari sukacita, hingga harubiru. Rupa-rupa warna cerita ini saling tumpang-tindih dalam sebuah “dialog” mengenai manusia. Pada percakapan itu, manusia adalah pengisah, dan sekaligus sebagai “kisah” yang tak habis-habisnya diceritakan.

Selagi menjadi pengisah, manusia menguliti hal-hal “asli” dalam diri atau di luar dirinya. Dan terpenting, saya kira, melalui cerita manusia “mengada” dirinya. Atau sewaktu jadi kisah, manusia digambarkan punya tabiat ganjil dan bahkan melampaui tapal batas “mustahil”.

“Manusia,” kata George Gerbner, “adalah satu-satunya makhluk yang suka bercerita dan hidup berdasarkan cerita yang dipercayainya.” Itu artinya, manusia mendapat informasi dan pengetahuan mengenai diri dan hidupnya berdasarkan cerita-cerita yang dilihat atau didengar.

Gerbner berpendirian bahwa, belakangan manusia memperoleh cerita-cerita itu melalui media. Pada kulminasi pendakuan profesor komunikasi ini, saya bangun asumsi: paras media tak sekadar sarana informasi, tetapi medium yang menumbuhkan “nilai”—karena seperangkat keyakinan itu, manusia “bersikap”.  

Sejarah membilang,  peradaban manusia dimulai dengan tradisi lisan; kisah Alkitab, mitologi Yunani, dan dongeng—teoretikus komunikasi memdaku, era itu manusia berada pada fase komunikasi tradisional. Ibarat peti, tradisi lisan menampung seantero pengetahuan manusia; tentang tafsiran alam semesta, menerka perangai manusia, dan ramalam dunia masa depan.

Cikal bakal komunikasi “modern,” diawali bangsa Mesir Kono menggunakan papirus mengirim surat dan mencatat kisah, tahun 2000 sebelum masehi. Disusul bangsa Cina memperkenalkan sistem tulis. Selanjutnya penemuan alat cetak buku tahun 1900, adalah penanda peradaban modern: orang bertutur menggunakan teknologi—“lidah” modern asing nun ganjil.

Ihwal yang mulai “lenyap” dari orang modern, adalah mereka telah menanggalkan lidah tradisional dipunya sejak kecil, untuk mewarisi “kisah”. Padahal, “tanpa kisah manusia terempas dari komunitas, menjadi individu yang mengidolakan diri sendiri,” begitu yang dibilang Joseph Campbell scholar mitologi.

Insan modern, hemat Campbell, yang absen “kisah” adalah sekumpulan orang yang “jiwa”-nya teperosok sedemikian rupa. Insan modern ibarat seekor burung yang meranggas habis bulunya, dan kita bisa bayangkan bagaimana seekor burung tanpa bulu?

Kondisi orang modern digambar panjang lebar Aldous Huxley penulis dan filsuf Inggris dalam novel “Brave New World” terbit tahun 1932. Atau George Orwell sastrawan Inggris pada novel “1984” terbit tahun 1946.

Brave New World,” adalah ramalan sebuah masyarakat yang sudah berubah total di bawah pengaruh teknologi reproduksi manusia, pembelajaran sambil tidur, dan manipulasi psikologis. Sama halnya, “1984,” meramalkan masyarakat masa depan yang sepenuhnya dikontrol dan dijajah kekuasaan politik, bahasa, dan teknologi.  

“Dunia baru” dalam cengkeraman Politik

Melalui “Brave New World,” Aldous Huxley menggambarkan dunia tentram yang diisi tokoh-tokoh ganjil. Semisal Bernard salah satu tokoh yang merasakan keanehan dalam hidupnya atau hidup orang-orang. Perihal itu membuat dirinya depresif, agresif, serta reklusif; dan sialnya, Bernard hidup dalam sebuah masyarakat menuhankan prestasi dan produktivitas.

Bernard punya sahabat bernama Homhltz, seorang ilmuwan pintar dengan karir gemilang. Tapi sangat disayangkan, bakat jeniusnya tak tersalur, terhambat oleh pemerintah yang protektif. Itu sebab Homhltz merasa terpenjara.

Takdir mempertemukan dua makhluk depresi ini dengan Jhon, seorang pemuda yang datang dari jauh—sebuah negeri yang masih asing dengan nama-nama seperti: cinta atau tuhan. Kehadirannya di negeri Utopia bikin gaduh: ke mana ia pergi, selalu ia tanya sesuatu hal. Jhon membuat orang-orang mempertanyakan kembali “hakikat” keberadaan mereka di negeri Utopia tersebut.

Dunia masa depan, dalam kaca mata “1984” George Orwell, adalah dunia dalam genggaman diktator. Dan sang diktator menggunakan alat pengawasan untuk melanggengkan kekuasaan. Teleskrin, alat itu menyerupai “intelijen” mengawasi masyarakat sipil yang mau melakukan tindakan makar.

Teleskrin tak sekadar “mata-mata”, melainkan juga alat propaganda. Cara kerja teleskrin mirip televisi. Tapi yang unik dari alat itu, tidak ada yang bisa mematikannya. Teleskrin punya fungsi ganda: ditonton orang, dan kemudian mempertonton tingkah laku orang tadi.

1984,” adalah potret masa penuh penderitaan tiga negeri; Oceani, Eurasia, dan Eastasia yang dipimpin partai sosialis dan sistem totalitarian. Tapi novel ini fokus menceritakan Oceani, khusnya London di mana tokoh utama hidup.

Oceani dipimpin oleh Big Brother, Bung Besar yang parasnya tertera di poster-poster yang tersebar seantero negeri. Sistem kediktatoran, membuat warga takut dan patuh. Segala aktifitas warga diatur: mulai dari waktu tidur, hiburan, baca buku, bahkan ekspresi wajah dan pikiran.

Teleskrin bekerja sangat efektif. Itu sebab Bung Besar begitu enteng mempertahankan kekuasaan, dengan menebar ketakutan dan memodifikasi tingkah laku warga. Dengan begitu nyaris tak ada aksi kolektif warga menumbangkan kediktatoran Bung Besar. 

Syahdan, “dunia baru” bukan cuma hagiografi dalam imajinasi Huxley dan Orwell. Dunia baru adalah dunia dalam cengkeraman diktator bengis. Dan menjadi rahasia umum, media sebagai “kaki-tangan” ke-kuasa-an itu. “Siapa menguasai media, dia menguasai dunia,” begitulah kata “pemikir masa depan,” Alvin Toffler.   

Itu artinya, satu persatu ramalan Aldous Huxley atau George Orwell, mulai terbukti. Dan itu diawali di Jerman, tahun 1934. Di sana, media berparas “ganda”—media baik verbal, audio, dan visual yang semula saluran informasi dan mendidik orang, menjelma “pasak” bagi penguasa mengukuhkan kekuasaan.

Bilamana dalam “1984,” Bung Besar  memakai Teleskrin sebagai alat mata-mata dan propaganda. Maka, “Gambar… termasuk film… jauh lebih cepat, ketimbang bacaan untuk membuat orang memahami pesan tertentu,” tulis Adolf Hitler diktaror Jerman Nazi dalam Mein Kamf.  

Hitler dibantu Joseph Goebbels menteri propaganda, mendirikan Kamar Film Reich, yang kemudian dari sana lahir film anti-semit atau anti-Yahudi: Robert und Bertram (1939), Jud Suss (1940), Die Rothschlids (1940), dan Der ewige Jude (1940). Film-film ini menggambarkan ras Yahudi sebagai orang yang licik dan jahat.    

Seperti diyakini Hitler, film jauh lebih cepat membuat orang terpengaru. Itu sebab Schutzstaffel, militer Nazi, tak gentar membantai 6 juta manusia kaum Yahudi—ini pula menandai Perang Dunia II tahun 1939-1945 yang menelan korban 50-70 juta jiwa.

Kisah tragis pemusnahan manusia ini, sekilas dilukiskan Bernhard Schlink profesor hukum Jerman, dalam novel “Der Vorleser” terbit tahun 1995—kemudian diadaptasi sutradara Staphen Daldry jadi film “The Reader” tahun 2008. Dalam film itu Hanna Schmitz, diperankan Kate Winslet, seorang mantan penjaga di Auschwitz.

Dihadapan hakim, Hanna membuka mulut: setiap bulan ia memilih sepuluh orang perempuan untuk dimasukkan ke kamar gas. Lalu dimusnahkan. Hanna juga yang mengunci 300 wanita dan anak-anak di dalam gereja sedang terbakar. Karena dosa itu, Hanna divonis penjara seumur hidup. Hanna depresi. Kemudian mantan penjaga di Auschwitz itu, menggantung diri.

Selang dua tahun kejayaan Nazi, razim fasis Italia Benito Mussolini menaruh pasarnya pada poster dan juga terukir satu frasa: “Film adalah senjata terkuat,” terpajang di Gerbang Cinecitta, sebuah rumah produksi film yang didirikan Mussolini pada tahun 1936.

Seperti sang Fuhrer, Mussolini diktator Italia itu menyebarkan propaganda melalui film. Dengan kata lain, film adalah “dapur” meramu ke-kuasa-an—dan dari ramuan itu diperoleh 2.972 film untuk meyakinkan warga: “Negara, menurut Fasisme, dapat meraih semuanya; tidak ada nilai manusia atau nilai spiritual yang dapat hadir….,” begitulah bunyi Doktrin Fasisme (1935).

“Dunia baru,” benar-benar nyata. Dunia yang dihuni manusia menuhankan prestasi, mengidolakan diri sendiri dan itu adalah wujud sebuah negara dipimpin seorang diktator. Penguasa adalah “mahkluk buas; sombong, agresif, dan rakus,” begitulah diingatkan Noccolo Machiavelli filsuf Italia, 492 tahun silam, dalam risalah “Penguasa”.

Machiavelli berdalih, seorang penguasa dalam merebut kekuasaannya dengan pelbagai cara, bahkan paling kotor sekalipun—meminjam frasa Doktrin Fasisme, “tidak ada nilai manusia atau nilai spiritual.” Bilamana kekuasaan sudah di genggaman, patut mempertahankan dengan “tangan besi”.  Setiap perlawanan adalah “virus”, segera dimusnahkan.

“Dunia baru” dalam cengkeraman teknologi

Ada satu diktum penanda manusia abad kiwari: “I shop therefore I am,—aku berbelanja maka aku ada.” Itu artinya, belanja sebagai indikator keberadaan manusia. Belanja adalah “esensi” manusia era ini.  

Itu mengapa, orang “kritis” berdalih, manusia abad kiwari berideologikan komsumerisme: pahaman yang membikin manusia untuk membeli atau memakai barang secara berlebihan tanpa mengulik nilai gunanya. Hari ini andai mereka membeli barang, itu bukan karena kebutuhan, melainkan hasil “bujuk” dari kesadaran “palsu” yang diciptakan media.

Herbert Marcuse anggota Frankfurt School berpendirian, media massa melalui iklan, adalah alat yang dipakai pemodal untuk  hegemoni ke-“sadar”-an semu itu: jadi ini, pakai ini, dan makan-minum ini. Dengan nada sinis, Marcuse berdalih, iklan yang tumbuh subur di media adalah usaha kapitalis membikin orang sejagat jadi “konsumer”—masyarakat konsumerisme.

Belakangan kapitalisme tidak dilihat semata-mata penguasaan alat-alat produksi atau mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya dari tiap barang atau jasa yang diproduksi. Jauh lebih darapada itu, kapitalisme berhasil mengusung satu “nilai”—pandangan hidup bagi orang modern. Melalui budaya konsumer, mengsugesti orang modern, bahwa apa yang kau konsumsi adalah seperti apa kau. 

Dengan begitu para pemodal itu, ditopang kerja media berhasil membawa manusia modern tiba pada sebuah gerbang “hiper-realitas”—dalam bahasa Jean Baudrillard—sebuah dunia yang nyata-nyata tidak dan bahkan menjadi sangat kabur. Pada gerbang “kabur” itu, saban detik orang modern dibuat “mabuk” jargon konsumsi yang dikibar iklan media. Padahal yang tersembunyi dari frasa jargon itu, adalah “dikte”: rayuan untuk pakai ini dan minum ini.

Orang modern wajib tahu ini, media  punya kemampuan merekonstruksi kesadaran kamu: baik personal ataupun massa. Sebuah pesan sudah “diramu” sedemikian rupa oleh media, sebelum disebar lewat berita, film, atau iklan. Pesan-pesan ini tak lagi “murni” musababnya ada campur aduk “tangan kedua” di sana. Ada kepentingan lain di sana.

Fakta ini menjungkir balik gagasan orang modern, bahwa apa yang dikabarkan media selalu benar—dan karena itu orang sejagat terbuai dan bersuka cita, sebab media bisa diandalkan menyelesaikan persoalan individu dan sosial mereka. Atau iklan berbaris di media bisa mengobati kesepian, mengangkat harga diri, dan menjamin kebahagiaan keluarga.

Di tepian ini, iklan media tak sekadar mempromosikan produk, tetapi memasarkan nilai, sikap, perasaan, dan gaya hidup. Itu sebab sebuah pandangan agak “estrem”, diajukan Baudrillard: “Segala bentuk media pada hakikatnya tak sekadar menggoda orang mengonsumsi komuditas. Yang paling berbahaya, media menciptakan konsumerisme sebagai cara pikir, dan bahkan moralitas.”

Hemat Baudrillard, orang mengonsumsi sesuatu bukan semata-mata kepada produk itu, melainkan seperangkat nilai-tanda yang ada pada produk tersebut. Semisal, seorang membeli tas bermerek Luis Vuitton. Bukan lantaran ia membutuhkan tas itu. Justru yang ia beli adalah nilai tanda dari tas itu—hal-hal ini yang tertanam di kepala: tas merek Luis Vuitton mewah, kelas atas, dan impor.

Seperangkat nilai ini yang membikin orang modern, jadi “konsumer” pemakan segala barang dan jasa. Saban detik ke-sadar-an mereka dikontrol dan diesksploitasi oleh “kuasa” pemodal. Orang berduit ini, ditopang kuasa media, menjajah orang modern melalui iklan dan berita gaya hidup dan fashion selebriti—sebuah pesan yang menggaris tapal batas “definisi”: jika ingin seperti idola kita, maka pakai dan makanlah seperti mereka.

Manusia abad kiwari telah dikontrol dan dijajah kekuasaan teknologi—media informasi komunikasi canggih, seperti inilah ramalan Aldous Huxley atau George Orwell, sembilan puluh tahun silam. Dan kini para teoretikus komunikasi membenarkan eksistensi “dunia baru” itu.

Dunia baru, dalam bahasa Marshal Mcluhan, adalah global villag. Mchuhan mengandaikan dunia kini ibarat sebuah desa yang sangat besar. Pihak yang membikin “desa raksasa” ini adalah media massa dan disusul internet—teknologi global ini memangkas jarak dan waktu. Akhirnya orang sejagat berkumpul dan berserikat, bercakap dan bertransaksi, dalam satu “ruang” tanpa sekat.

Di tepian lain, kehadiran teknologi global ini, lambat atau cepat akan tergeser habis “aksara” dan “lidah” manusia lokal—lidah yang memamah pangan lokal, digantikan dengan lidah global mengunyah rupa makanan yang tersaji di meja modernisme.

Adalah Daniel Larner teoretikus komunikasi, melalui bukunya “The Passing of Traditional Society—Memudarnya Masyarakat Tradisional,” terbit tahun 1980-an. Ibarat “kitab suci” bagi pemuja kemajuan. Studi Lerner tentang Balgat Turki memainkan peran penting dalam membentuk ide-ide Amerika tentang penggunaan media massa—kini media sosial—untuk mempromosikan ekonomi dan sosial di negara-negara pasca-kolonial.

Dengan satu doktrin: jika ingin pembangunan berhasil, hanya satu jalan, yaitu jalan “barat”—jalan barat: modern, rasional, dan maju. Namun siapa menduga sebuah niat “terselubung” diselip. Penggunaan media massa dan kemudian media sosial, justru sebagai jalan melestarikan kapitalisme dan dan membikin orang-orang, jadi masyarakat konsumtif.

Media massa dan media sosial kini menjadi “agama” bagi orang modern, begitulah kata Garbner. Sebuah “jalan hidup” yang menggoyahkan taring ideologi atau agama abad sebelumnya. Sebab doktrinya disimak dan didengar khidmat oleh orang sejagat yang berbeda secara ideologi, budaya, serta agama—doktrin itu berhasil menggentarkan hati dan mempengaruhi bawa sadar pemeluk agama konvensional. “Meraka menonton televisi (youTube, Tiktok dan media sosial lainya) seolah-olah sedang berada dalam gereja,” pungkas Garbner.

Media massa dan media sosial menciptakan “dunia baru”, dunia maraton keinginan: manusia ibarat pelari bergerak tergesa-gesa dari hasrat “ini” ke hasrat “itu”. Waktu senggang yang biasa dihabiskan bersama kerabat atau ritual meditatif. Malah dipakai keluar rumah pergi ke mall, butik, dan salon—ruang-ruang yang nyaris pembicaraan hakikat “diri” atau “manusia,”—selain mengukuhkan diri jadi individualistik: masyarakat konsumerisme.   

Syahdan, pelan-pelan manusia “dunia baru” menjelma apa yang ditulis Chairil Anwar; Aku ini binatang jalang dari kumpulan yang terbuang…





==============

Bagikan:

Penulis →

Ishak R. Boufakar

Lahir di Kian Darat, 23 Juli. Ibunya bernama Siti Aisyah, seorang penjahit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *