Ledakan di Kepala Joya


NAMANYA Joya. Usianya sekitar empat belas tahun kala itu. Ia seorang gadis cantik juga cerdas. Saat itu, seharusnya ia sedang menikmati masa remaja yang penuh warna. Bermain, punya banyak teman, atau barangkali terjebak dalam sebuah kisah cinta monyet. Seperti kebanyakan remaja seusianya. Namun, sesuatu terjadi. Lebih tepatnya banyak hal terjadi dan harus dilewati Joya seorang diri. Masalah datang bertubi-tubi, memenuhi kepala kecil Joya, selayak udara yang ditiupkan ke dalam balon terus menerus hingga balon itu membesar. Semakin besar. Dan akhirnya, meledak.

Akhir pekan lalu, aku mengajak Zahra, anak semata wayangku untuk menginap di rumah Ibu. “Zahra sudah rindu sama neneknya,” jawabku ketika Ibu bertanya kenapa tidak biasanya aku datang selarut itu. Namun, sepertinya Ibu mencium aroma kebohonganku. Ya, di malam yang basah itu, aku memang pergi dari rumah setelah bertengkar hebat dengan suamiku.

 Seketika raut kecemasan bergelayut di wajah tua Ibu. Telapak tangannya yang keriput membelai lembut kepalaku. Aku yang berbaring seraya mendekap tubuh mungil Zahra tak kuasa menahan air mata. Dan ketika bocah lima tahun itu telah terlelap, untuk pertama kalinya Ibu menguak sebuah tabir rahasia masa lalunya yang begitu pekat.

Konon, dulu Ibu yang seorang yatim piatu ditampung di rumah salah satu saudara jauhnya, yang tak lain adalah ibunya Joya. Keluarga itu memenuhi segala kebutuhan hidup Ibu. Sebagai gantinya, Ibu bantu-bantu di rumah itu. Apa saja ia kerjakan. Dan itu menjadi awal pertemuannya dengan Joya, si gadis malang yang malam itu diceritakan Ibu kepadaku.

Maka kali ini, aku bermaksud menceritakan kembali kisah hidup Joya itu kepadamu. Namun, sebelumnya, kuharap kau bisa mengerti. Aku mengenal Joya semata-mata hanya dari mulut Ibu.

Ibu bilang, saat umur Joya baru genap delapan tahun, ayah dan ibunya memutuskan untuk bercerai. Ibuku tak tahu alasannya apa. Yang ia tahu hanyalah orang tua Joya sering terdengar bertengkar hebat. Teriakan, caci maki, bahkan sumpah serapah menjadi makanan mereka hampir setiap hari. Dan Joya dipaksa menjadi penonton setia drama pertengkaran itu.

Waktu itu, Ibu satu-satunya orang yang bisa menjadi tempat Joya menumpahkan segala kesedihannya. Joya kerap kali mengetuk pintu kamar Ibu di tengah malam buta hanya untuk minta dipeluk. Gadis kecil itu pun akan menangis tersedu-sedu di dalam dekapan Ibu. Dengan penuh perasaan iba, Ibu menyerahkan segenap jiwa dan raganya untuk Joya.

Saat orang tua Joya resmi berpisah, Ibu mendapat mandat agar merahasiakan perceraian itu dari Joya. Joya hanya boleh tahu bahwa ayahnya pergi dari rumah karena harus dinas ke luar kota. Orang tua Joya berpendapat, bahwa putri mereka masih terlalu kecil untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ibu yang masih remaja dan tak mengerti apa-apa hanya bisa menurut saja.

Namun, sepertinya orang tua Joya keliru. Nyatanya masalah baru datang bertubi-tubi setelah itu. Joya yang begitu dekat dengan ayahnya, serta merta merasa sangat kehilangan sosok yang amat disayanginya itu; yang menjadi pelindungnya dari segala amarah sang ibu; yang selalu berusaha memenuhi segala keinginannya. Mulanya, ayahnya rutin menelepon Joya setiap hari. Semakin lama hanya seminggu sekali. Lalu sebulan sekali. Hingga sampailah kisah itu pada saat Joya sama sekali tidak pernah mendapat kabar tentang ayahnya lagi. Nomor telepon ayahnya tidak pernah bisa dihubungi. Akibatnya, Joya berpikir ayahnya begitu jahat: pergi meninggalkan ia dan ibunya begitu saja, tanpa pernah kembali. Seiring berjalannya waktu, kerinduan Joya itu berubah menjadi kekecewaan.

Ibu kemudian bercerita, ia ingin sekali mengatakan yang sebenarnya terjadi. Namun, Ibu terlalu takut. Lagi pula, ibunya Joya tiba-tiba saja begitu sering terdengar menanamkan benih-benih kebencian di benak Joya. Alih-alih menjaga perasaan Joya seperti saat di awal perceraian, ia malah menceritakan semua keburukan mantan suaminya itu kepada Joya.

Tak disangka, tak diduga. Setelah  lama menghilang, tiba-tiba ayah Joya datang membawa seorang wanita yang diperkenalkannya kepada Joya sebagai Mama.

Kala itu wajah Joya yang mulai beranjak remaja terlihat semakin kusut. Seolah banyak benang bergulung-gulung memenuhi kepalanya. Ia mencurahkan kebingungannya kepada ibuku. Ia bilang, “bagaimana mungkin aku punya dua ibu?” Mendengar itu ibuku hanya bisa mengelus dada yang ikut terasa sesak melihat beban berat yang harus ditanggung Joya seorang diri.

Tak lama setelah tahu mantan suaminya sudah menikah lagi, bak dibakar api cemburu ibunya Joya pun memutuskan untuk mengakhiri masa janda. Ia menikah dengan seorang lelaki yang sama sekali tidak pernah dikenal Joya.

Ah, tentu saja itu bukan hal mudah bagi Joya. Seolah tanpa permisi, tiba-tiba ada orang asing datang dalam kehidupannya, bahkan harus tinggal serumah bersamanya. Kata ibuku, saat itu Joya semakin sering mendatangi kamarnya hanya untuk menangis. Sesekali ia memukul-mukulkan tangannya ke dinding sambil meracau tak karuan. Banyak hal ditanyakan Joya kepada ibuku: kenapa Om itu tinggal di rumahku? Kenapa Om itu tidur di kamar Ibu? Kenapa Ibu menyuruhku menghormatinya? Kenapa Ibu selalu marah setiap kali aku bertanya tentang semua ini? Lagi-lagi ibuku hanya bisa membisu, tak mampu menjawab semua pertanyaan itu. Kelak, kebisuan itulah yang membuat ibuku menyesal seumur hidupnya.

“Sudah! Itu bukan urusan anak kecil! Urusanmu sekolah saja yang benar.” Ibuku berdiri berkacak pinggang memperagakan gaya bicara ibunya Joya, ketika Joya kembali berusaha mencari jawaban dari semua kekacauan itu. Saat itu, katanya, ibuku melihat mata Joya menatap tajam mata ibunya. Seolah sedang menantang, ingin melawan. Ibuku menduga benih-benih pemberontakan mulai tumbuh di kepala Joya.

Setelah kejadian itu, keadaan di rumah itu semakin mengerikan. Ayah tirinya ternyata sangat temperamental. Ia bahkan berani berlaku semena-mena kepada Joya, yang dianggapnya sebagai pengganggu. Alih-alih membela, ibu Joya malah ikut mendukung sikap suami barunya itu.

Sejenak, ibuku menghentikan ceritanya. Matanya berkaca-kaca, dan tak lama ia mulai terisak. Menangis. Mungkin, mengingat semua rangkaian kejadian itu seolah membuka luka lama yang selama ini berusaha dipendamnya.

Setelah sedikit terlihat tenang, ibuku melanjutkan kembali kisahnya. Dengan suara parau dan terbata-bata ia bercerita: di suatu masa, tiba-tiba sikap Joya kepada ibuku berubah begitu saja. Joya mulai tertutup. Joya lebih sering mengurung diri di kamarnya.

Puncaknya, Joya menolak ketika disuruh ibunya berangkat ke sekolah. Padahal saat itu ia sudah kelas tiga SMP dan sebentar lagi harus mengikuti UAN. Sebelumnya, sudah seminggu Joya bolos dengan alasan kepalanya terasa sakit. Joya pun mengeluh merasa mual. Namun, setelah diperiksa, dokter bilang kondisinya baik-baik saja.

Seketika ibunya murka, menganggap Joya hanya mengada-ada. “Mau jadi apa kamu kalau malas sekolah begini, heuh?” Joya diseret paksa dari atas tempat tidur. Melihat kejadian itu, ibuku segera bersimpuh memeluk Joya yang tersungkur di lantai, berusaha melindunginya.

Ibu Joya mendengkus, lalu meninggalkan kamar dengan langkah mengentak kasar. Sementara itu, di dalam dekapan ibuku tubuh Joya gemetar hebat. Dadanya naik turun dengan cepat. Wajahnya basah oleh air mata dan keringat.

Semenjak kejadian itu, Joya semakin sering terlihat duduk melamun dengan tatapan kosong sambil memeluk lutut di tempat tidurnya. Hanya berteman suara kipas angin di langit-langit kamar yang tak pernah berhenti menderu-deru. Ia enggan keluar kamar bahkan hanya untuk sekadar makan sekali pun. Ibuku pikir, Joya masih terlalu kesal kepada ibunya. Ibuku lalu berinisiatif mengantarkan makanan ke kamar. Namun, Joya sama sekali tak pernah mau menyentuhnya. Hingga dua hari berikutnya, wajah Joya mulai terlihat pucat pasi. Pandangannya kosong. Bibirnya kering. Saat ibuku menyentuh tangannya, hanya ada dingin di situ.

Merasa khawatir, ibuku lalu melaporkan semua itu kepada ibu Joya. Namun, ia masih menganggap anaknya hanya sedang cari perhatian. Setelah ibuku merajuk, akhirnya ibu Joya mau beranjak ke kamar anaknya. Dan, Oh, apa yang terjadi? Joya berteriak histeris ketika melihat ibunya muncul dari balik pintu. Bertubi-tubi Joya melemparkan barang-barang yang ada di sekelilingnya ke arah sang ibu. Dalam sekejap kamar itu porak-poranda. Joya mengamuk, terus berusaha melukai ibunya sendiri.

Singkat cerita, semakin hari kondisi Joya semakin tak terkendali. Gadis yang manis itu telah menjelma seperti hantu. Kelopak matanya menghitam, barangkali sepanjang hari ia tak pernah terpejam. Rambut yang lurus tergerai berubah awut-awutan. Kamarnya dipenuhi bau tak sedap sebab Joya hanya mau pipis dan buang air besar di sana. Ia tak mengizinkan siapa pun masuk ke kamarnya.

Seluruh kejadian itu terjadi begitu cepat. Mengejar seisi rumah tanpa memberi izin untuk berpikir barang sejenak. Belum sempat memahami apa yang sebenarnya terjadi kepada anaknya, tangan takdir ternyata lebih dulu menampar ibu Joya dengan sangat keras. Tamparan itu membuat ibu Joya amat terluka. Luka yang akan terus menganga sepanjang hidupnya. Joya, gadis kecil yang malang itu, telah memilih sendiri cara untuk melepaskan segala beban yang mengimpitnya.

Tatkala mengisahkan bagian cerita ini, tangis ibuku meledak, bahunya berguncang hebat. Sambil sesenggukan ia berkata, saat itu, di pagi yang basah dan muram itu, ia melihat tubuh Joya berayun pelan di tengah kamar. Selembar gorden berwarna pink yang seharunya menjuntai menutupi jendela kamar, telah terikat dengan angkuh di tangkai kipas angin, sementara ujung satunya lagi melilit erat di leher Joya, membuat lidahnya terjulur. Matanya pun mendelik dan berair. Tak jauh dari situ, kursi belajar Joya terbaring pasrah di lantai. Mungkin, kursi itu pun tak sanggup menerima kenyataan harus menjadi satu-satunya saksi bisu dari tragedi itu.

“Ibu rasa,” kata wanita paruh baya di hadapanku itu dengan tatapan yang menusuk tepat di kedua mataku. “kau pasti tak mau jika Zahra harus bernasib sama seperti Joya ‘kan?” Ibu mengakhiri ceritanya.

Aku terenyak. Rasanya ada godam yang menghantam kepalaku berkali-kali, bertubi-tubi. (*)




Bagikan:

Penulis →

Teni Ganjar Badruzzaman

Ibu rumah tangga yang gemar menulis dan membaca cerita. Cerpen dan cerita anaknya dimuat di berbagai media massa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *