PERSIS seperti namanya yang kultural dan membumi, ibarat doa yang disematkan oleh kedua orang tuanya kepadanya, begitu juga karakternya melekat rekat. Tresno, pria yang hangat jadi rebutan orang-orang kampung, bukan untuk dijadikan anak atau menantu, tetapi karena sikapnya yang baik hati dan ringan tangan kepada siapa pun tanpa pilih kasih dan tanpa pamrih. Sehari-hari pekerjaannya adalah menolong orang dan menyenangkan hati orang, dengan sikapnya itu Tresno jadi punya kesibukan melebihi pekerjaan orang-orang pada umumnya. Tentunya dia punya pekerjaan lain untuk mengurus kambing-kambingnya terlebih dahulu baru membuka tangan kepada orang lain.
Hampir segala pekerjaan yang umum dilakukan di kampung seperti gotong royong, sambatan, kerja bakti, nguli, gali kubur, hingga menggembalakan kambing orang, mereka mintakan tolong kepada Tresno, dan ia nyaris selalu bisa menyanggupinya. Bahkan ada yang sampai hati memintanya untuk melakukan hal-hal yang tak lazim seperti mengeruk kotoran sapi tetangganya, mengambil layangan anak-anak yang tersangkut di pohon, hingga saking baiknya, bahkan dia pernah menggarukkan punggung temannya yang gatal ketika diminta. Tentu yang kegiatan kampung tidak diupah, meski pekerjaan lainnya ada yang diupah ada yang tidak, kalau diminta secara khusus seringnya ia diupah. Semua itu atas dasar permintaan orang-orang, terkesan sepele dan seperti merendahkan di mata orang lain, tetapi Tresno tidak mempedulikannya, itu bukanlah kehinaan baginya. Sebab kebaikan adalah kompas utama dalam hidupnya.
Cara hidup Tresno pun sederhana dan wajar-wajar saja, dia punya dua ekor kambing hadiah dari pak dukuh dan sekarang telah beranak-pinak jadi sepuluh ekor. Kerja keras dan ketelatenan Tresno memang tak ada tandingannya. Meski terlihat sibuk di luar, tetapi Tresno selalu memprioritaskan ibunya dan segala sesuatu yang menyangkut kesehatan ibunya dia jaga dengan sepenuhnya. Tresno hanya lulusan sekolah dasar dan tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolahnya, bapaknya pergi dan tak pernah kembali saat dia umur sembilan tahun, sejak itu dia hidup bersama ibunya sampai sekarang. Dan sejak bapaknya minggat itulah ibunya yang mengurusi segala kebutuhannya, maka sudah sewajarnya yang jadi nomor satu hanya ibunya sekarang.
Karena keterbatasan pendidikan itu juga Tresno jadi tertinggal dari teman-temannya. Meski hanya bekerja serabutan atau seadanya, yang penting baginya adalah untuk selalu berbuat baik dan menolong. Hasil yang tak seberapa itu pun kalah atas keyakinan yang dipegangnya erat-erat, seperti pesan yang sering ibunya katakan dulu, “urep kuwi urup le” [1] dan Tresno pun selalu adem hatinya setelah mendengar kata-kata indah itu.
Sering kali ia dimintai orang-orang kampung dalam hal sambatan, nguli pasar, atau pekerjaan apa pun yang mengerahkan tenaga. Entah sebelum atau sesudah punya kambing pun ia tetap sibuk ke sana kemari membantu orang-orang. Sebagai laki-laki sebenarnya Tresno sudah matang, umurnya 48 tahun, tetapi masih setia melajang, ibunya juga sudah menyuruhnya untuk kawin, tapi ia tetap kekeh. Katanya masih pingin mengurus dan menemai ibunya ditambah tidak punya pekerjaan tetap, tetapi yang sebenarnya adalah tidak ada perempuan di kampung yang tertarik padanya dan ketika ia ingin melamar seorang perawan pasti ditolak, wong sudah jaka tua, muka pas-pasan, tidak jelas juga hidupnya. Memang siapa perempuan yang mau dan berani bertaruh kehidupan berkeluarga seperti itu?
Tresno jadi teringat semua perbuatan baiknya yang ternyata tak pernah dianggap orang selain hanya memanfaatkan dirinya. Ia hanya dianggap baik oleh orang-orang, tetapi ketika akan diminta anaknya mereka menolak, begitu juga puterinya. Tresno yang malang, namun tak pernah terpikir untuk putus asa. Ia mencoba peruntungan lain dengan turut melamar pekerjaan sebagai buruh di sebuah pabrik, layaknya bekerja normal seperti orang-orang kampungnya itu.
Ia mendengar jika ada sebuah pabrik ikan sarden yang tak jauh dari kampungnya sedang butuh 80 orang untuk dipekerjakan di sana.Tanpa pikir panjang dan bertanya-tanya dia mencoba melamar pekerjaan di pabrik itu, tentu saja dalam rangka mewujudkan harapannya dan agar “agak” dianggap memenuhi keinginan orang-orang. Karena baru kali ini ia menjalani pekerjaan yang terpaksa. Atau lebih tepatnya “dipaksa keadaan,” maka untuk sekali ini ia coba mengalah.
Tresno segera datang ke pabrik ikan itu dan mengatakan kalau dirinya akan melamar pekerjaan di sana. Tetapi kalimat satpam menjegalnya dan membuatnya bingung, “Berkas-berkas bapak mana?” Tresno yang tidak pernah menahu apa-apa soal pekerjaan formal berusaha tetap di tempat dan bertanya balik kepada si satpam.
“Maaf, berkas apa ya, Pak?”
“Ya berkas lamaran kerja seperti surat lamaran, CV, KTP, Ijazah, dan segala yang diminta perusahaan, Pak.”
“Bagaimana itu pak, bukannya tinggal daftar saja ke sini ya, Pak?”
“Ini perusahaan pak, perusahaan itu ada aturannya.”
Si satpam awalnya menjelaskan dengan sabar, namun ujung-ujungnya dibuat kesal olehnya dan akhirnya diusirlah Tresno. Ia disuruh bertanya saja kepada temannya, setelah paham dan melengkapi berkasnya baru boleh kembali lagi. Maklum, orang yang biasa disibukkan dengan membantu dan menolong orang-orang di kampung itu dipaksa bekerja ke perusahaan yang tak pernah menahui sebelumnya. Ya memang seperti anak-anak, banyak tanya ia.
Setelah bertanya sekadarnya dan dibantu ala kadarnya oleh pak dukuh, Tresno mangut-mangut saja menyimak. Begitu selesai dan paham maksud pak dukuh ia mulai mengumpulkan berkas-berkas dan persyaratan yang diminta sekaligus menulis CV. Sekembalinya ke pabrik sambil membawa stopmap Tresno jadi percaya diri. Tak hanya itu, atas saran dari pak dukuh juga untuk memakai pakaian yang rapih dan sewajarnya orang mau melamar pekerjaan.
“Kalau melamar pekerjaan itu harus berpakaian rapi dan pantas, biar enak dilihat. Jangan berpakaian kayak orang mau nongkrong di warung.”
“Oh ya, Pak, akan saya ingat besok,” sahut Tresno santai.
Maka datanglah Tresno kembali ke pabrik, si satpam yang tengah berjaga menyapa dan memberi senyum sambil mengatakan, “Bagaimana pak sudah lengkap berkas-berkasnya?”
“O sudah beres semua, Pak. Ini, monggo dicek lagi,” jawab Tresno trengginas.
“Oh ya sudah, ditinggal dulu di sini ya, Pak. Besok akan dipanggil lagi. Sudah ada nomor teleponnya tho?”
“Ada pak, ada. Lho ndak langsung kerja, Pak?”
“Ya diseleksi dulu, kalau bapak lolos, baru bisa kerja di sini.”
“Owalah ribet juga ternyata, padahal saya orang baik-baik lho pak.”
“Ya bukan cuma urusan baik saja, Pak, kebijakan dari perusahaan memang seperti itu. Harus diseleksi dulu.”
“Lho, kan cuma kerja per-ikan-nan pak, kenapa harus ribet sekali?”
Si satpam pun sudah mulai kesal lagi dan mempersingkat tanya jawab yang merepotkan dengan menyuruhnya pulang untuk menunggu panggilan berikutnya. Hari demi hari dihitung sabar oleh Tresno, tetapi hingga memasuki minggu ke empat dari waktu ia melamar tak kunjung ada panggilan. Tak bisa harus menunggu terus-terusan karena ia harus selalu siap untuk melakukan kebaikan, Tresno memutuskan untuk mendatangi pabrik ke sekian kali.
Setibanya di pabrik, seseorang dari HRD mengatakan jika dirinya tidak bisa diterima di pabrik itu karena ijazahnya SD. Sang HRD mengatakan kalau minimal syaratnya harus ijazah SLTA/sederajat.
“Lho apa bedanya pak, teman saya lulusan SLTA sama bodohnya seperti saya?”
“Begini pak, memang syarat minimal dari perusahaan mengatakan demikian. Jadi nggak ada hubungannya dengan teman bapak.”
“Lho tapi saya orang baik lho pak. Apa bapak tidak membaca CV saya di lamaran itu?”
Ternyata segala hal yang pernah dilakukan Treno ditulisnya di CV dengan berlembar-lembar kertas. Sang HRD juga heran, soalnya belum pernah ada yang seperti ini. Bayangkan saja, dari mengurusi kambing pak dukuh, sambatan, nguli, mengambil layang-layang, sampai menggaruk punggung temannya yang gatal ditulis semuanya. Ia ingat kata-kata pak dukuh, bahwa CV itu termasuk pengalaman pekerjaan yang pernah dilakukan, tetapi yang dipahami Tresno adalah semua yang pernah dilakukan ditulis semuanya. Jadi berkasnya kelihatan tebal.
Eyel-eyelan yang tak ada hasilnya itu membuat Tresno akhirnya memahami satu hal, bahwa orang baik pun ternyata bukan jadi syarat utama untuk dapat diterima bekerja di suatu perusahaan/pabrik. Ia memikirkan itu berhari-hari dan menyadari sesuatu pula antara pabrik dan orang-orang di kampungnya ternyata punya satu kesamaan, “Mau untungnya saja.” Bedanya kalau di pabrik ia dibayar, meski tetap saja tak sebanding dengan pekerjaannya, dan hanyalah buruh rendahan. Tresno yang sempat galau akhirnya kembali lagi pada pekerjaan semula, menggembala kambing dan tetap melakukan kebaikan di manapun. Ia tetap yakin jika kebaikan adalah mutiara yang harus dijaga selamanya, meski sering ia dimanfatkan orang-orang kampungnya. Di hatinya ia tetap baik dan tidak ada dendam kepada lainnya.
Akibat energi dan konsenstrasinya yang dihabiskan ke pabrik itu, kini kambing-kambingnya jadi kurus dan tidak terawat. Tresno yang baik dan polos, ia tidak memperoleh apa-apa selain kebaikannya makin benderang.
Keterangan:
[1] Hidup itu menyala/memberi manfaat bagi sekitar.
=============